Chesar Antad Nur Aprilia
Jurusan Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang
e-mail : april9764@gmail.com
Di era digital ini, masyarakat semakin mudah menerima informasi yang beragam dari berbagai platform. Salah satunya informasi perihal kesehatan mental. Tak jarang juga para konten kreator kini gencar juga menyuarakan kesehatan mental yang menjadikan topik ini hangat di tengah masyarakat. Kondisi ini ternyata menyebabkan masyarakat kerap kali mengalami self-diagnose.
Self-diagnosis adalah upaya mendiagnosa diri dengan informasi yang didapat secara mandiri berdasarkan sumber yang tidak resmi atau profesional seperti teman, keluarga, internet, maupun dengan mengambil pengalaman dari masa lalu. (Nareza, 2020, p. 2). Topik seperti anxiety, depresi, bipolar dan kesehatan mental lainnya yang beredar di platform digital, membuat masyarakat sering menyimpulkan bahwa dirinya mengalami gangguan mental tersebut.
Resiko self-diagnoseÂ
Menurut dr. Meva Nareza (2020, p. 5-14) dampak buruk yang dapat terjadi apabila seseorang melakukan self-diagnose adalah :
- Salah diagnosis
Menetapkan diagnosis harus melalui beberapa tahap. Diagnosis ditentukan berdasarkan analisis yang menyeluruh dari gejala, riwayat kesehatan terdahulu, faktor lingkungan, serta temuan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Mendiagnosis suatu penyakit tidak bisa hanya dengan mencocokkan pada satu informasi kemudian menyimpulkan bahwa semua gejala tersebut ada pada diri kita.
- Salah penanganan
Jika diagnosis tidak tepat bisa mengakibatkan kemungkinan besar penanganan juga akan keliru di karenakan tiap kondisi penyakit memiliki cara-cara untuk penanganannya. Entah penanganan melalui metode obat atupun terapi.
- Memicu gangguan kesehatan yang lebih parah
Jika salah mendiagnosis, maka seseorang akan mendapatkan penanganan yang salah atau tidak tepat, yang membuat penyakit yang dialaminya menjadi lebih parah atau ditambah masalah baru (komplikasi). Obat atau metode pengobatan yang lain akan memicu penyakit lain untuk datang, dan memperburuk kondisi yang sebenarnya.
Orang yang melakukan self-diagnose pada kesehatan mentalnya karena membaca suatu informasi pada artikel beresiko mengalami tekanan dan membuat dia berpikir seolah-olah dia mengalami penyakit yang padahal tidak ada padanya atau cyberchondria. Hal ini disimpulkan oleh White, & Horvitz (2009, p. 1) yang mendefinisikan cyberchondria sebagai eskalasi kekhawatiran yang tidak berdasar tentang gejala umum, berdasarkan review hasil pencarian dan literatur di Web.
Bagaimana cara mencegah terjadinya self-diagnose di era digital?
Di tengah mudahnya mendapat pengetahuan dan informasi kerap kali kita akan merasa bahwa informasi tersebut valid tanpa memastikan sumbernya, bisa jadi yang menciptakan informasi tersebut adalah orang iseng yang sebenarnya tidak mempunyai dasar ilmu kesehatan mental.
Berikut adalah cara agar kita terhindar dari self-diagnose di era digital :
- Bercerita dengan orang terdekat
Bercerita adalah kegiatan yang ampuh untuk mengurangi stress dan kecemasan yang ada pada diri kita. Setelah bercerita kita akan merasa lega walaupun tidak sepenuhnya sembuh.
- Pintar memilah informasi yang di dapat
Beredarnya informasi yang beragam di era digital menuntut kita harus selektif, terutama tentang kesehatan mental. Kita harus mengetahui sumber dan valid atau tidaknya informasi tersebut, bisa jadi informasi tersebut di tulis oleh seseorang yang yang hanya iseng tanpa landasan ilmu yang menunjangnya.
- Tidak mencocok-logikan gejala
Terkadang kita menemukan gejala yang kita alami sama dengan gejala penyakit di suatu platform atau sumber informasi lain, tetapi karna tidak diperiksa secara menyeluruh menyebabkan diagnosis yang tidak akurat. Padahal bisa saja kondisi mental itu lebih ringan atau lebih berat dari dugaan kita.
- Memeriksakan diri ke psikiater atau psikolog
Informasi yang beredar pada dunia digital hanya sebatas gambaran umum suatu pengetahuan, untuk memastikan kebenarannya jika memang sudah parah maka kita harus mendatangi ahli seperti psikolog atau psikiater. Hal ini dikarenakan suatu penyakit tidak bisa di analisis secara asal-asal an.
Dalam mengidentifikasi suatu penyakit terdapat prosedur agar hasil tersebut menjadi valid. Hal ini bukan berarti kita tidak boleh menerima suatu informasi, namun kita harus menyeleksi informasi tersebut dan tidak menyimpulkan sendiri agar terhindar dari kondisi yang lebih buruk. Juga agar mendapatkan rasa nyaman dalam diri kita dengan tidak melakukan self-diagnose.
Â
Daftar Pustaka
Akbar, M. F. 2019. Analisis pasien self-diagnosis berdasarkan internet pada fasilitas kesehatan tingkat pertama. INA-Rxiv. DOI : 10.31227
White, R.W., & Horvitz, E. 2009. Cyberchondria: studies of the escalation of medical concerns in Web search. ACM Transactions on Information Systems, 27(4), 1-37.
Azzahro, F.2019. Enabling Self-diagnosis Using Trusted Online Healthcare Platform: A Case Study from Alodokter. In 2019 International Conference on Information Management and Technology (ICIMTech),1,592-595. IEEE.
Ivanova, E. 2013. Internet addiction and cyberchondria - Their relationship with Well-Being.Journal of Education Culture and Society,1(57),4-5.DOI : 10.15503
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H