Mohon tunggu...
Chesar Antad Nur Aprilia
Chesar Antad Nur Aprilia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang

Halo, selamat datang selamat membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Maraknya Self-Diagnose di Era Digital

19 September 2022   12:39 Diperbarui: 19 September 2022   18:14 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Chesar Antad Nur Aprilia

Jurusan Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang

e-mail : april9764@gmail.com

Di era digital ini, masyarakat semakin mudah menerima informasi yang beragam dari berbagai platform. Salah satunya informasi perihal kesehatan mental. Tak jarang juga para konten kreator kini gencar juga menyuarakan kesehatan mental yang menjadikan topik ini hangat di tengah masyarakat. Kondisi ini ternyata menyebabkan masyarakat kerap kali mengalami self-diagnose.

Self-diagnosis adalah upaya mendiagnosa diri dengan informasi yang didapat secara mandiri berdasarkan sumber yang tidak resmi atau profesional seperti teman, keluarga, internet, maupun dengan mengambil pengalaman dari masa lalu. (Nareza, 2020, p. 2). Topik seperti anxiety, depresi, bipolar dan kesehatan mental lainnya yang beredar di platform digital, membuat masyarakat sering menyimpulkan bahwa dirinya mengalami gangguan mental tersebut.

Resiko self-diagnose 

Menurut dr. Meva Nareza (2020, p. 5-14) dampak buruk yang dapat terjadi apabila seseorang melakukan self-diagnose adalah :

  • Salah diagnosis

Menetapkan diagnosis harus melalui beberapa tahap. Diagnosis ditentukan berdasarkan analisis yang menyeluruh dari gejala, riwayat kesehatan terdahulu, faktor lingkungan, serta temuan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Mendiagnosis suatu penyakit tidak bisa hanya dengan mencocokkan pada satu informasi kemudian menyimpulkan bahwa semua gejala tersebut ada pada diri kita.

  • Salah penanganan

Jika diagnosis tidak tepat bisa mengakibatkan kemungkinan besar penanganan juga akan keliru di karenakan tiap kondisi penyakit memiliki cara-cara untuk penanganannya. Entah penanganan melalui metode obat atupun terapi.

  • Memicu gangguan kesehatan yang lebih parah

Jika salah mendiagnosis, maka seseorang akan mendapatkan penanganan yang salah atau tidak tepat, yang membuat penyakit yang dialaminya menjadi lebih parah atau ditambah masalah baru (komplikasi). Obat atau metode pengobatan yang lain akan memicu penyakit lain untuk datang, dan memperburuk kondisi yang sebenarnya.

Orang yang melakukan self-diagnose pada kesehatan mentalnya karena membaca suatu informasi pada artikel beresiko mengalami tekanan dan membuat dia berpikir seolah-olah dia mengalami penyakit yang padahal tidak ada padanya atau cyberchondria. Hal ini disimpulkan oleh White, & Horvitz (2009, p. 1) yang mendefinisikan cyberchondria sebagai eskalasi kekhawatiran yang tidak berdasar tentang gejala umum, berdasarkan review hasil pencarian dan literatur di Web.

Bagaimana cara mencegah terjadinya self-diagnose di era digital?

Di tengah mudahnya mendapat pengetahuan dan informasi kerap kali kita akan merasa bahwa informasi tersebut valid tanpa memastikan sumbernya, bisa jadi yang menciptakan informasi tersebut adalah orang iseng yang sebenarnya tidak mempunyai dasar ilmu kesehatan mental.

Berikut adalah cara agar kita terhindar dari self-diagnose di era digital :

  • Bercerita dengan orang terdekat

Bercerita adalah kegiatan yang ampuh untuk mengurangi stress dan kecemasan yang ada pada diri kita. Setelah bercerita kita akan merasa lega walaupun tidak sepenuhnya sembuh.

  • Pintar memilah informasi yang di dapat

Beredarnya informasi yang beragam di era digital menuntut kita harus selektif, terutama tentang kesehatan mental. Kita harus mengetahui sumber dan valid atau tidaknya informasi tersebut, bisa jadi informasi tersebut di tulis oleh seseorang yang yang hanya iseng tanpa landasan ilmu yang menunjangnya.

  • Tidak mencocok-logikan gejala

Terkadang kita menemukan gejala yang kita alami sama dengan gejala penyakit di suatu platform atau sumber informasi lain, tetapi karna tidak diperiksa secara menyeluruh menyebabkan diagnosis yang tidak akurat. Padahal bisa saja kondisi mental itu lebih ringan atau lebih berat dari dugaan kita.

  • Memeriksakan diri ke psikiater atau psikolog

Informasi yang beredar pada dunia digital hanya sebatas gambaran umum suatu pengetahuan, untuk memastikan kebenarannya jika memang sudah parah maka kita harus mendatangi ahli seperti psikolog atau psikiater. Hal ini dikarenakan suatu penyakit tidak bisa di analisis secara asal-asal an.

Dalam mengidentifikasi suatu penyakit terdapat prosedur agar hasil tersebut menjadi valid. Hal ini bukan berarti kita tidak boleh menerima suatu informasi, namun kita harus menyeleksi informasi tersebut dan tidak menyimpulkan sendiri agar terhindar dari kondisi yang lebih buruk. Juga agar mendapatkan rasa nyaman dalam diri kita dengan tidak melakukan self-diagnose.

 

Daftar Pustaka

Akbar, M. F. 2019. Analisis pasien self-diagnosis berdasarkan internet pada fasilitas kesehatan tingkat pertama. INA-Rxiv. DOI : 10.31227

White, R.W., & Horvitz, E. 2009. Cyberchondria: studies of the escalation of medical concerns in Web search. ACM Transactions on Information Systems, 27(4), 1-37.

Azzahro, F.2019. Enabling Self-diagnosis Using Trusted Online Healthcare Platform: A Case Study from Alodokter. In 2019 International Conference on Information Management and Technology (ICIMTech),1,592-595. IEEE.

Ivanova, E. 2013. Internet addiction and cyberchondria - Their relationship with Well-Being.Journal of Education Culture and Society,1(57),4-5.DOI : 10.15503

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun