Mohon tunggu...
Cheria
Cheria Mohon Tunggu... Administrasi - Pelajar

Ingin berkarya melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Keterwakilan Perempuan di Kabinet 'Gemoy' Langkah Maju atau Mundur?

17 November 2024   11:08 Diperbarui: 17 November 2024   12:37 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 sumber gambar:Detik.com

Presiden Indonesia Prabowo Subianto baru saja dilantik 20 Oktober lalu, langsung menggemparkan dengan membentuk kabinet yang super "gemuk." Kabinet yang kini dikenal sebagai "Kabinet Gemoy" ini punya jumlah 53 orang menteri dan pejabat setingkat menteri, yang meliputi 7 menteri koordinator, 41 menteri, serta 5 pejabat setingkat menteri, ditambah 56 wakil menteri. Struktur kabinet ini merupakan yang paling padat sejak masa Orde Baru hingga era Reformasi.

Bahkan ada yang dipecah-pecah menjadi tiga. Tidak hanya kementerian, sekarang juga ada staf khusus, penasihat khusus, utusan khusus, dan berbagai badan yang setara kementerian. Di bawah komando Prabowo-Gibran, kabinet ini mulai menimbulkan pro-kontra, terutama soal representasi perempuan. Pertanyaannya, apakah Kabinet Gemoy benar-benar langkah maju untuk kesetaraan gender, atau malah jadi bukti bahwa kita masih jauh dari tujuan itu?

Sejarah Perjuangan Perempuan di Kabinet

Keterwakilan perempuan dalam pemerintahan Indonesia telah mengalami perjalanan panjang sejak masa kemerdekaan. Salah satu pelopor ialah Maria Ulfah, perempuan pertama Indonesia yang meraih gelar sarjana hukum di Belanda dan menjabat sebagai Menteri Sosial pada kabinet Sjahrir. Selain menjadi menteri, Maria Ulfah juga memegang beberapa posisi penting lainnya, seperti sekretaris perdana menteri, serta aktif dalam organisasi yang berfokus pada hak-hak perempuan. Pengalaman Maria Ulfah mencerminkan peran perempuan yang tak hanya terbatas pada urusan dapur, tetapi juga berperan penting dalam politik dan pemerintahan.

Sejak saat itu, keterwakilan perempuan dalam kabinet pemerintahan Indonesia terus berkembang. Semakin terlihat jelas dalam beberapa tahun terakhir, dalam Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo. Pada 2014, Presiden Jokowi menunjuk sembilan menteri perempuan dalam Kabinet Kerja, yang merupakan jumlah terbanyak dalam sejarah kabinet Indonesia. Sembilan menteri perempuan ini terdiri dari tokoh-tokoh penting seperti Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan), Retno Marsudi (Menteri Luar Negeri), Susi Pudjiastuti (Menteri Kelautan dan Perikanan), dan Yohana Yembise (Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak). Ini menandakan langkah yang signifikan dalam peningkatan peran perempuan dalam pemerintahan Indonesia.

Jumlah Perempuan Antara Kuota dan keterwakilan 

Berbagai konvensi internasional sudah mengamanatkan agar keterwakilan perempuan seimbang. Sayangnya, walau ada beberapa perempuan yang berhasil masuk kabinet, totalnya masih kurang proporsional bukan? Satu hal yang tidak bisa kita abaikan adalah angka keterwakilan perempuan di Kabinet Gemoy. Memang, ada beberapa perempuan yang memegang posisi strategis, tapi kalau kita melihat lebih dalam, angka ini masih jauh dari ideal. Statistik Indonesia 2023 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik pada Februari 2024 lalu mencatat perempuan Indonesia adalah lebih dari 50% dari total populasi, tapi representasi perempuan dalam kabinet belum mencerminkan itu.

Kepemimpinan Perempuan Hanya Simbol atau Punya Kualitas?

Banyak yang berharap kehadiran perempuan di kabinet bisa membawa perspektif baru, lebih sensitif terhadap isu-isu yang langsung menyentuh kehidupan rakyat. Tapi kenyataannya, sekadar jumlah perempuan di kabinet belum tentu menjamin kebijakan yang lebih ramah gender. Ada beberapa kebijakan yang malah memperburuk kondisi perempuan, seperti kurangnya perhatian pada ketimpangan upah dan tingginya kasus kekerasan berbasis gender. Jadi, perempuan di kabinet ini harus bisa memberikan solusi nyata atas masalah yang menghantui perempuan di Indonesia.

Penting juga untuk melihat apakah perempuan di kabinet bisa menyuarakan isu-isu strategis seperti kesenjangan gaji, rendahnya partisipasi perempuan dalam dunia kerja, serta kekerasan terhadap perempuan. Jadi, keberhasilan mereka bukan hanya diukur dari kuota, tetapi juga dari sejauh mana mereka berani membela hak perempuan di berbagai sektor.

Apa Dampak Jangka Panjang Bagi Indonesia

Langkah memasukkan perempuan dalam kabinet seharusnya dilihat sebagai upaya menciptakan pemerintahan yang lebih beragam dan inklusif. Tapi, tidak akan berarti kalau hanya untuk memenuhi angka, tanpa reformasi struktural yang nyata di sistem politik kita. Perubahan yang benar-benar berdampak harus datang dari kebijakan yang pro perempuan, bukan hanya soal keterwakilan. Jangan sampai perempuan hanya jadi "pemanis" dalam kabinet, tetapi harus benar-benar memiliki pengaruh dalam keputusan penting negara.

Di negara Swedia contohnya salah satu negara yang konsisten memperjuangkan kesetaraan gender. Berdasarkan data Global Gender Gap Index 2020 Swedia ditempatkan di posisi ke 4 negara dengan kesetaraan gender terbaik. Indikator yang mempengaruhi index tersebut yaitu : Economic participation and opportunity, Educational attainment, Health and survival dan Political empowerment. (Mind the 100 Year Gap, 2019), sudah ada kebijakan yang memastikan perempuan benar-benar terlibat dalam politik, ekonomi, dan sosial. Indonesia perlu belajar dari negara ini untuk menciptakan kebijakan yang mendukung perempuan sebagai agen perubahan yang sebenarnya.

Kabinet Gemoy membawa harapan baru, tetapi kritik juga tidak kalah banyak. Banyak yang mempertanyakan apakah perempuan dalam kabinet benar-benar punya peran, atau hanya sekadar alat politik. Kabinet ini seharusnya punya visi yang lebih besar dari sekadar memasukkan perempuan; mereka harus aktif menciptakan kebijakan yang memprioritaskan hak-hak perempuan, sekaligus memperkuat posisi perempuan dalam setiap keputusan di pemerintahan. Jangan sampai perempuan yang duduk di kabinet hanya jadi alat untuk "pencitraan," tanpa punya kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan yang berdampak pada perempuan Indonesia. Harus ada evaluasi ketat tentang dampak dari kehadiran perempuan di kabinet ini bukan cuma dalam angka atau posisi mereka, tetapi seberapa besar dampak mereka pada kehidupan perempuan Indonesia.

Maju atau Mundur?

Masuknya perempuan di Kabinet Gemoy bisa disebut langkah maju, tapi masih banyak PR yang harus diselesaikan. Keterwakilan perempuan harus diwujudkan bukan hanya dalam angka, tetapi dalam substansi kebijakan yang benar benar pro kesetaraan. Keberhasilan perempuan di kabinet ini bukan hanya dilihat dari jumlah, tetapi juga bagaimana mereka mampu menciptakan perubahan yang signifikan di dalam pemerintahan Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun