Presiden Indonesia Prabowo Subianto baru saja dilantik 20 Oktober lalu, langsung menggemparkan dengan membentuk kabinet yang super "gemuk." Kabinet yang kini dikenal sebagai "Kabinet Gemoy" ini punya jumlah 53 orang menteri dan pejabat setingkat menteri, yang meliputi 7 menteri koordinator, 41 menteri, serta 5 pejabat setingkat menteri, ditambah 56 wakil menteri. Struktur kabinet ini merupakan yang paling padat sejak masa Orde Baru hingga era Reformasi.
Bahkan ada yang dipecah-pecah menjadi tiga. Tidak hanya kementerian, sekarang juga ada staf khusus, penasihat khusus, utusan khusus, dan berbagai badan yang setara kementerian. Di bawah komando Prabowo-Gibran, kabinet ini mulai menimbulkan pro-kontra, terutama soal representasi perempuan. Pertanyaannya, apakah Kabinet Gemoy benar-benar langkah maju untuk kesetaraan gender, atau malah jadi bukti bahwa kita masih jauh dari tujuan itu?
Sejarah Perjuangan Perempuan di Kabinet
Keterwakilan perempuan dalam pemerintahan Indonesia telah mengalami perjalanan panjang sejak masa kemerdekaan. Salah satu pelopor ialah Maria Ulfah, perempuan pertama Indonesia yang meraih gelar sarjana hukum di Belanda dan menjabat sebagai Menteri Sosial pada kabinet Sjahrir. Selain menjadi menteri, Maria Ulfah juga memegang beberapa posisi penting lainnya, seperti sekretaris perdana menteri, serta aktif dalam organisasi yang berfokus pada hak-hak perempuan. Pengalaman Maria Ulfah mencerminkan peran perempuan yang tak hanya terbatas pada urusan dapur, tetapi juga berperan penting dalam politik dan pemerintahan.
Sejak saat itu, keterwakilan perempuan dalam kabinet pemerintahan Indonesia terus berkembang. Semakin terlihat jelas dalam beberapa tahun terakhir, dalam Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo. Pada 2014, Presiden Jokowi menunjuk sembilan menteri perempuan dalam Kabinet Kerja, yang merupakan jumlah terbanyak dalam sejarah kabinet Indonesia. Sembilan menteri perempuan ini terdiri dari tokoh-tokoh penting seperti Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan), Retno Marsudi (Menteri Luar Negeri), Susi Pudjiastuti (Menteri Kelautan dan Perikanan), dan Yohana Yembise (Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak). Ini menandakan langkah yang signifikan dalam peningkatan peran perempuan dalam pemerintahan Indonesia.
Jumlah Perempuan Antara Kuota dan keterwakilanÂ
Berbagai konvensi internasional sudah mengamanatkan agar keterwakilan perempuan seimbang. Sayangnya, walau ada beberapa perempuan yang berhasil masuk kabinet, totalnya masih kurang proporsional bukan? Satu hal yang tidak bisa kita abaikan adalah angka keterwakilan perempuan di Kabinet Gemoy. Memang, ada beberapa perempuan yang memegang posisi strategis, tapi kalau kita melihat lebih dalam, angka ini masih jauh dari ideal. Statistik Indonesia 2023 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik pada Februari 2024 lalu mencatat perempuan Indonesia adalah lebih dari 50% dari total populasi, tapi representasi perempuan dalam kabinet belum mencerminkan itu.
Kepemimpinan Perempuan Hanya Simbol atau Punya Kualitas?
Banyak yang berharap kehadiran perempuan di kabinet bisa membawa perspektif baru, lebih sensitif terhadap isu-isu yang langsung menyentuh kehidupan rakyat. Tapi kenyataannya, sekadar jumlah perempuan di kabinet belum tentu menjamin kebijakan yang lebih ramah gender. Ada beberapa kebijakan yang malah memperburuk kondisi perempuan, seperti kurangnya perhatian pada ketimpangan upah dan tingginya kasus kekerasan berbasis gender. Jadi, perempuan di kabinet ini harus bisa memberikan solusi nyata atas masalah yang menghantui perempuan di Indonesia.
Penting juga untuk melihat apakah perempuan di kabinet bisa menyuarakan isu-isu strategis seperti kesenjangan gaji, rendahnya partisipasi perempuan dalam dunia kerja, serta kekerasan terhadap perempuan. Jadi, keberhasilan mereka bukan hanya diukur dari kuota, tetapi juga dari sejauh mana mereka berani membela hak perempuan di berbagai sektor.