Mohon tunggu...
Chep Hadad
Chep Hadad Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Pribadi

" Menulis untuk mengenang, menyenang dan menyatakan " Knowledge is must, but manner is more.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hubungan Antara Fenomena Disruption dengan Perilaku Konsumerisme di Abad 21

1 Juni 2020   15:51 Diperbarui: 1 Juni 2020   16:09 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kecanduan ini merupakan salah satu bentuk konsumerisme dalam hal penggunaan akses internet berlebihan masyarakat Indonesia, budaya tersebut mengindahkan internet sebagai akses mudah tanpa batas. Disruptive technology mungkin tidak cukup dibahas singkat, namun substansi yang saya harapkan dapat ditangkap oleh benak para pembaca.

Seperti yang saya katakan bahwa keterkaitan antara Disruption yang disebutkan sebelumnya memiliki hubungan yang berbanding lurus, dan kini Disruptive technology menjadi bangunan Disruptive Business. Disruptive business tentu saja menjadi perhatian utama Clayton Ketika menghadirkan gagasan Disruption.

Bisnis-bisnis baru haruslah hadir untuk menciptakan iklim ekonomi yang ideal bagi seluruh masyarakat. Bisnis model baru betul-betul ditekankan oleh Clayton merupakan suatu ancaman bagi para incumbent, bukan karena hal tersebut merupakan inovasi pembaruan yang sudah ada, tapi benar-benar baru dan mampu menggantikan yang lama.

Sehingga, bisnis para incumbent yang sudah dijalankan mau tidak mau haruslah menyerah pada kehadiran disruptive business. Apabila prinsip para incumbent hanyalah pada suatu prinsip owning economy ( ekonomi kepemilikan ) saya contohkan seperti ini, seorang pria pengusaha toko baju batik yang berfikir bahwa apabila ingin mendirikan toko batik ia haruslah membangun atau menyewa sebuah ruko dimana harus membayar mahal, menyediakan Gudang, menyewa beberapa karyawan toko bahkan menyediakan lahan parkir yang nyaman. Semuanya didasari pada kepemilikan pribadi. Berbeda dengan disruptive business berdasar pada prinsip Sharing Economy ( ekonomi berbagi ).

Dimana seseorang tidaklah perlu untuk memiliki suatu alat, property ataupun barang untuk menjual produk miliknya. Contoh nya adalah kehadiran yang juga berakar dari Disruptive technology berkolaborasi dengan seseorang yang mendirikan Disruptive business yakni platform jual-beli seperti Tokopedia. Tokopedia merupakan platform digital dimana seorang penjual dapat memasarkan produknya secara luas tanpa harus menyewa ruko, menyediakan Gudang dan lahan parkir. Dari contoh tersebut kita dapat melihat kehadiran disruptive business yang menghadirkan efisiensi dan kemudahan bagi penjual dan pembeli.

Namun, dalam disruptive business ini pula kita menyoroti budaya konsumerisme yang kembali membuktikan hubungan fenomena disruption dengan budaya konsumerisme. Setiap individu yang memiliki smartphone pastilah berbelanja online hamper setiap kali ia melihat iklan-iklan menarik yang muncul untuk mendorong individu tersebut berbelanja. Katakanlah bahwa, kini inidividu-individu dominan memenuhi keinginan daripada kebutuhannya. Penggunaan berlebihan itu didukung fakta yang disampaikan oleh Co-Founder dan CEO Tokopedia William Tanuwijaya, bahwa sepanjang Mei 2019 transaksi perbulan Tokopedia mencapai US$ 1,3 Milliar atau setara dengan Rp. 18,5 Trilliun! Kita dapat membayangkan bagaimana transaksi yang terjadi setiap hari antara penjual dan pembeli saat ini dari platform E-Commerce Tokopedia.

Contoh dari produk disruptive business seperti E-Commerce di atas hanyalah contoh kecil saja dari budaya konsumerisme masyarakat hari ini, masyarakat yang mulai menggunakan jasa Go-Food untuk setiap kali membutuhkan makanan, pada dasarnya banyak sekali yang dapat disebutkan dalam tulisan ini hanya saja saya kira satu contoh kecil dapat membuka mata kita untuk lebih luas lagi melihat hal lain. Hakikatnya dari disruptive business yang berbanding lurus dalam budaya konsumerisme adalah hilangnya prinsip "kebutuhan" menjadi pemenuhan "keinginan".

Dan pada akhirnya, dari semua perkembangan peradaban dan kemajuan teknologi itu menumbuhkan budaya konsumerisme pada beberapa masyarakat di belahan dunia termasuk Indonesia. Kini, individu-individu enggan mengutamakan " kebutuhan " hidupnya dan barangkali lupa mempersiapkan bekal masa depan. Menguras tenaga dan materi ( uang ) lebih banyak kepada " keinginan " berakar dari hasrat yang muncul dari kehadiran fenomena Disruption.

Perilaku konsumerisme perlu diantisipasi bagi mereka yang sadar bahwa perilaku tersebut telah melewati batas dan tentunya merugikan. Bagaimana tidak ? perilaku konsumerisme menjadikan individu terlalu elegan dengan kecanduan berbelanja fashion secara online karena trend modis. Setiap orang berbelanja baju mahal berlomba-lomba menguploadnya di akun pribadi sosial media mereka. Hal ini dalam sejarah sangat berbanding terbalik, karena hari ini kelompok menengah kebawah berusaha mencari "keinginan" dari akses yang mudah diberikan oleh fenomena disruption. Kelompok menengah kebawah hari ini terus mencari kemewahan dan menghambur-hamburkan uang mereka, sedangkan para borjuis katakanlah kelompok kaya menghemat uang mereka dan berinvestasi pada kelangsungan hidup masa depan. Dahulu memang para borjuis memakai kulit hewan, emas-emas di pergelangan tangan sampai dikepala, sedangkan para kelompok menengah kebawah menggunakan kain kusam tebal, setidaknya mereka tidak kedinginan. Sekarang, para borjuis menggunakan pakaian sederhana seperti jas yang tidak terlihat mewah namun rapi. Kelompok menengah kebawah sibuk mengikuti trend fashion yang tiada habisnya, mereka mengumpulkan uang mereka untuk membeli pakaian hype jutaan, jaket kulit, sepatu kulit mahal dan barangkali koleksi tas import kelas dunia. Dari perilaku konsumerisme terhadap sandang tersebut ternyata terlihat pula pada budaya konsumerisme kebutuhan pangan. Para borjuis dan bangsawan zaman dulu memang menyukai makan-makanan enak, berlemak dan dalam jumlah besar. Saat ini mereka tidak menghabiskannya untuk makanan berlebih, mereka menyukai makanan yang sehat dari sayur dan buah. Sedangkan para kelompok konsumeris menengah kebawah hari ini lebih senang menghabiskan uang mereka pada restoran cepat saji yang menyediakan makanan penuh lemak dan penyakit mematikan. Amerika serikat memang menduduki peringkat penderita obesitas tertinggi, dan tak lama lagi seluruh dunia akan merasakan hal yang sama. Kandungan dalam makanan cepat saji secara berlebihan akan menyumbat darah pada jantung, meningkatkan gula dalam darah, meningkatkan tekanan darah yang berujung pada penyakit-penyakit mematikan. Budaya konsumerisme dalam hal pangan sudah jelas harus disadari dan segera disudahi bagi mereka yang sadar. Karena fakta dari sejarah terhadap hari ini sangat mengejutkan, dahulu orang-orang mati karena kelaparan, kini orang-orang mati karena kelebihan makanan.

Sehingga, dalam menghadapi fenomena Disruption kita haruslah bijak dan melihat kedepan bahwa pemanfaataan dan langkah visioner adalah hal terbaik daripada tenggelam dalam kenikmatan yang disediakan Disruption. Perilaku konsumerisme adalah penyebab yang harus dihindari dan dibuat antisipasinya oleh mereka yang melihat ini sebagai suatu bencana, seperti dahulu melihat kelaparan. Tragedi ini mungkin sulit berakhir, tapi tidak Ketika dimulai dari anda.

Learn, Adapt, Survive! ( Chep Hadad Alwi Mahmuda ).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun