Mohon tunggu...
chen siauw
chen siauw Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Sosial

Hobi membaca terutama topik-topik humaniora, dan mencoba menulis untuk menyalurkan ide, gagasan agar berguna bagi yang lain.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rasa yang Hilang

20 September 2022   22:00 Diperbarui: 20 September 2022   22:07 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Publik minggu-minggu ini disuguhi kabar Brigadir J yang meninggal karena "tertembak" (sambil menunggu proses penyidikan dan sampai di pengadilan agar semua jelas dan gamblang ditembak atau baku tembak). Tak kurang Presiden sendiri menaruh perhatian agar kasus ini segera diungkapkan kebenarannya agar masyarakat mengetahui kebenaran sesungguhnya dan citra kepolisian tidak tercoreng.

Penulis mencoba melihat dari sudut pandang yang berbeda, karena dari sisi hukum tentu ada pakar yang lebih memahami dan mampu mengulas tiap detilnya hingga gamblang kasusnya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Rasa salah satunya diartikan  "pendapat (pertimbangan) mengenai baik atau buruk, salah atau benar" Berangkat dari pemahaman ini penulis mencoba melihat 'Rasa" seperti apa yang hilang dalam kasus Brigadir J. dari pemahaman relativisme etis.

Pendapat mengenai baik atau buruk menjadi relatif (relativisme), menurut Wikipedia, relativisme berasal dari kata Latin, relativus, yang berarti nisbi atau relatif. Sejalan dengan arti katanya, secara umum relativisme berpendapat bahwa perbedaan manusia, budaya, etika, moral, agama, bukanlah perbedaan dalam hakikat, melainkan perbedaan karena faktor-faktor di luarnya. Sebagai paham dan pandangan etis, relativisme berpendapat bahwa yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah tergantung pada masing-masing orang dan budaya masyarakatnya. Pemahaman relativisme etis menganggap penilaian baik-buruk dan benar-salah tergantung masing-masing orang sering disebut relativisme etis subyektif. Sementara relativisme etis yang menganggap penilaian etis tidak sama, karena tidak ada kesamaan mayarakat dan budaya disebut relativisme etis kultural.

Relativisme etis subyektif peran perasaan sangat dominan dalam masalah etis dan emosi, karena itu pengaruh emosi dan perasaan dalam keputusan moral harus diperhitungkan. Baik-jahat, benar-salah sangat terkait dengan individu yang bersangkutan dalam menilainya. Karena relativisme etis beranggapan tidak ada kriteria absolut bagi putusan-putusan moral.

Relativisme etis subjektif menekankan kesadaran bahwa manusia itu unik dan berbeda satu sama lain. Karena manusia unik dan berbeda maka dalam menghadapi segala permasalahan hidup punya pendekatan sendiri atau cara sendiri dalam menghadapinya, punya penilaian etis sendiri (menetapkan jahat-baik, benar-salah menurut pertimbangannya sendiri) yang membedakan dengan manusia lainnya. Berbeda dan unik, berbeda dan unik pula dalam hidup etisnya tiap manusia.

Namun perlu disadari bahwasannya meskipun sangat  menekankan keunikan manusia dalam hal pengambilan keputusan etis, relativisme etis subjektif dapat menjadi khilaf untuk membedakan antara norma etis dan penerapannya, serta antara norma etis dan prinsip etisnya. Perlu diingat bahwa norma etis obyektif bisa saja sama, namun eksistensinya bisa berbeda karena situasi hidup yang berbeda.  Meskipun orang berbeda dalam hidup dan pemikiran etisnya, bukan berarti tidak ada norma etis yang sama.

Dalam bukunya A. Mangunhardjana. 1997. Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z. Jogjakarta; Kanisius. Hal. 203-206, menurut  Beckwith dan Koukl ada tujuh kelemahan fatal relativisme yang berdasarkan pandangan subjektif:

Penganut relativisme tidak dapat menyalahkan perbuatan salah orang lain, karena mereka mengatakan tiap-tiap orang berhak menentukan perbuatannya benar atau salah.

Penganut relativisme tidak dapat memprotes mengenai masalah kejahatan, karena mereka menolak adanya standar moral baik maupun jahat.

Penganut relativisme tidak dapat menimpakan kesalahan atau menerima pujian, karena tanpa standar moral eksternal sebagai pengukur, konsep pembenaran maupun penyalahan tidak berarti, jadi tidak ada yang dapat dipuji atau disalahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun