Seorang komikus Kharisma Jati, pada pertengahan November lalu, membagikan cuitan yang menyinggung di akun Twitternya. Sosok yang ia singgung adalah ibu negara, Ibu Iriana. Dalam cuitannya, komikus tersebut mengunggah foto Ibu Iriana dengan ibu negara Korea Selatan, Kim Keon Hee di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada 15 November lalu dengan keterangan: "Bi, tolong buatkan tamu kita minum." "Baik, Nyonya."
Warganet Indonesia tentu mengecam cuitan tersebut karena guyonan yang dilontarkan tentang ibu negara dianggap menghina ibu negara. Lebih dari seorang ibu negara, menurut warganet, komikus tersebut menghina seorang ibu. Bahkan, Kaesang Pangarep dan Gibran Rakabuming Raka selaku anak dari presiden dan ibu negara juga turut menanggapi setelah Kharisma menghapus cuitannya. Selanjutnya, ia berkata bahwa ia telah menghapus cuitan guyonan tersebut karena banyak pihak yang salah paham.
Salah satu content maker yang cukup dikenal pada jagat maya, Cania Citta, turut mengomentari guyonan tersebut melalui akun Twitternya. "Sebenarnya dia hanya naruh foto dan dialog tanpa nulis nama, tapi somehow banyak yang ngebacanya itu yang kiri nyuruh yang kanan. Interesting," ungkapnya.Â
Setelah menerima banyak argumentasi tertuju kepada cuitannya, Cania menjelaskan alasannya berkomentar. Berdasarkan pernyataannya, ia hanya melihat fenomena ini menarik. Ia melihat banyak orang yang secara kolektif memiliki persepsi seragam, sedangkan baginya, ada banyak kemungkinan interpretasi dari cuitan Kharisma tersebut.
Banyak warganet Twitter yang menyayangkan cuitan Cania yang sebenarnya tidak diperlukan dan hanya memperuncing keadaan. Meskipun begitu, tak hanya Cania, beberapa warganet yang turut menanggapi cuitannya juga setuju dengan ungkapannya. Alasan mereka sama: fenomena ini hanya masalah perbedaan persepsi, apalagi guyonan tersebut juga tidak mencantumkan konteks yang jelas.
Konteks dan Kesamaan Persepsi
Kesamaan persepsi oleh banyak orang (dalam hal ini, para warganet Indonesia) yang disebutkan oleh Cania bisa hadir karena adanya latar belakang yang dipahami secara kolektif. Jika kita menengok kembali ke belakang, pada zaman kolonialisme, orang-orang Indonesia diperbudak hingga berlanjut ke masa penjajahan oleh Jepang. Rasisme yang tumbuh dari peristiwa penjajahan di Indonesia membuat adanya oknum dari negara-negara penjajah, bahkan sampai saat ini, yang masih melabeli orang keturunan Indonesia sebagai bawahan.Â
Dengan demikian, tentunya menjadi miris sekali jika mentalitas yang berusaha kita tinggalkan, menjadi guyonan bagi seseorang yang lahir di bangsa kita sendiri. Dengan adanya latar belakang yang dipahami bersama-sama, maka persepsi yang sama bisa terbentuk. Tanpa adanya latar belakang, Cania dan warganet yang setuju dengannya tentu benar, bahwa interpretasi dan persepsi sangat mungkin beragam.Â
Selain itu, persepsi yang sama juga dapat muncul karena latar belakang standar kecantikan masyarakat Indonesia. Kita semua tahu bahwa masyarakat kita masih mengagungkan warna kulit putih, terutama standar kecantikan Asia Timur yang semakin marak diadopsi sejak Gelombang Korea menguat di Indonesia. Jadi, apakah konteks yang tidak dijelaskan secara eksplisit penting untuk diangkat ketika kita mengetahui standar seperti apa yang saat ini eksis pada masyarakat kita?
Tak hanya itu, dalam cuitannya, Kharisma menyebutkan sapaan 'bi' yang merujuk pada kata 'bibi', yaitu panggilan yang mengacu pada perempuan Indonesia. Ditambah, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V, salah satu definisi dari 'bibi' adalah panggilan kepada perempuan yang lebih tua. Oleh karena itu, wajar jika warganet Indonesia menafsirkan bahwa panggilan tersebut dituju kepada Ibu Iriana.
Sensitivitas dalam Bermedia Sosial
Dalam bermedia sosial, kebebasan berpendapat dimiliki oleh semua pihak. Akan tetapi, sebelum menyuarakan sesuatu, tampaknya warganet masih perlu kemampuan yang lebih baik dalam hal mempertimbangkan sensitivitas dari topik yang akan ditanggapi. Memiliki kepekaan terhadap stereotip dan budaya masyarakat yang mengakar juga tak kalah penting. Ketika kita berpendapat di ruang publik yang membuat tanggapan kita dapat diakses oleh siapa pun, tentu kita perlu menggunakan logika. Namun, dalam beberapa kasus, yang lebih dibutuhkan adalah sensitivitas dalam berkomentar.
Sebelum memberikan tanggapan, melakukan riset yang menyeluruh juga diperlukan, baik tentang latar belakang pihak yang bersangkutan maupun makna implisit yang diartikan oleh mayoritas orang, serta alasannya. Kenaifan yang dibalut dengan penggunaan logika justru hanya melebarkan diskusi ke bagian-bagian lainnya dan akhirnya membuat isu yang sebenarnya dibahas menjadi kabur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H