Dengan disusunnya Omnibus UU SJSN/BPJS, maka berbagai  persoalan Jaminan Sosial dapat diharmonisasikan. Seperti misalnya irisan persoalan PHK dengan JKP, rekomposisi iuran JHT yang disinergikan dengan JKP dan teratasinya  persoalan kelangsungan hidup yang layak bagi pekerja.Â
Dengan rekomposisi  yang di design dalam model persentase upah bagi PPU (Pekerja Penerima Upah) yang berlaku saat ini, maka  mungkin di awalnya tidak perlu penambahan besaran iuran bagi pekerja dan pemberi kerja.  Sebagai contoh program JKK dan JKm saat ini, besaran iuran yang dibayarkan pemberi kerja,setiap tahun masih surplus, dan dalam UU SJSN tidak boleh ada transfer DJS (Dana Jaminan Sosial) antara program.  Melalui Omnibus SJSN, aturan itu bisa diperbaiki.Â
Banyak hal bisa diperbaiki berbagai kelemahan dan hambatan UU SJSN/BPJS, dengan cara memperbaikinya dengan metode Omnibus Law.  Saya tidak habis pikir, kenapa Pemerintah tidak menempuh  Langkah ini.
Potensi konflik
Lahirnya UU P2SK yang mengambil begitu saja norma pada pasal -- pasal 35 sampai pasal 38 UU SJSN dalam suatu mekanisme Omnibus Law merupakan potensi konflik yang diduga dapat terjadi dalam waktu mendatang ini.
Bongkar pasang pada  pasal-pasal tersebut, terkesan bahwa UU SJSN tidak bersifat Lex Specialist sehingga begitu saja diperlakukan. Omnibus Law ibarat pedang sakti yang dapat membabat semua  rambu-rambu yang ada, dengan mengatasnamakan negara.
DPR tidak menghargai Lembaga Negara yang dibentuknya sendiri yaitu BPJS Ketenagakerjaan dan DJSN, karena merombak begitu saja pasal-pasal JHT itu, tanpa melibatkan dan persetujuan kedua Lembaga itu.
Perlu diketahui dalam Ketentuan Umum UU Â SJSN, yang mendapat mandat dalam penyelenggaraan SJSN itu adalah BPJS dan DJSN. Lembaga pemerintah/ kementerian tidak ada mandat terkait penyelenggaraan SJSN.Â
DPR  dan Pemerintah secara bersama-sama membuldozer BPJS dan DJSN yang ditugaskan mengawal UU SJSN/UU BPJS. Mereka tidak berdaya. Bukan tidak mungkin  pada waktunya BPJS dan DJSN hanya tinggal nama dan legenda, karena ditebas pedang  Omnibus Law.
Sumber konflik berikutnya, adalah bunyi pasal perubahan tentang JHT di UU P2SK. Persoalan model 2 akun tidaklah susah menebaknya. Pemerintah ingin agar Sebagian besar ( 70- 80%)  dana JHT yang menggiurkan itu (Rp. 400 Triliun) tidak boleh di kotak katik oleh pemiliknya ( pekerja), sampai usia pensiun, meninggal dunia, dan cacat total tetap. Jika dia bekerja  usia 20 tahun, pensiun 56 tahun, maka selama 36 tahun JHT digunakan oleh pemerintah.
Pemiliknya (pekerja) boleh mengambil dana JHT melalui akun penunjangnya sebesar 20% , kapan saja jika mengalami PHK. Jelas mereka (pekerja) tidak bisa menerima karena akan lebih kecil.