Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Check and Balances sebagai Fatamorgana

6 Februari 2022   02:44 Diperbarui: 6 Februari 2022   17:11 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Istana Negara IKN baru di Kalimantan. Sumber: Nyoman Nuarta via Kompas.com

Apa yang saya khawatirkan dengan diluncurkan RUU IKN menjadi UU dalam sidang Paripurna DPR baru-baru ini, menuai keriuhan dan penolakan di kalangan kelompok dan elite masyarakat.

Dalam artikel saya 22 Desember 2021 yang lalu dengan judul "Bola Panas RUU IKN" menjadi kenyataan. Bola panas itu terus menggelinding, bahkan akan sampai ke Mahkamah Konstitusi.

Berbagai hal yang terjadi jika RUU IKN disahkan, tanpa melalui proses yang transparan, tanpa melibatkan partisipasi masyarakat secara signifikan, dan substansi yang tidak komprehensif, akan menjadi bola liar dan di "goreng" menjadi makanan empuk bagi mereka yang masih berpikiran kritis untuk melihat Indonesia kedepan.

Pengamatan saya, yang diundang sebagai narasumber dari Aspek Kebijakan Publik,  anggota Pansus RUU IKN yang membahas RUU tersebut, sepertinya sudah tidak ada beban lagi. Mereka itu bekerja ingin secepatnya selesai karena sudah merupakan keinginan Presiden, dan sesuai dengan arahan Ketua Umum partai masing-masing, kecuali partai yang menolak (PKS).

Awalnya saya menduga Partai Demokrat menolak. Karena anggota Pansus dari Fraksi Demokrat, sangat tajam mengkritisi RUU IKN yang sedang dibahas. Ternyata PD ikut rombongan arus besar P3 (Persaudaraan Partai Politik)  untuk menggolkan RUU itu.

Alasan sudah merupakan keinginan Presiden Jokowi, juga diakui oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas yang juga Ketua Umum PPP, Suharso Monoarfa  pada Kata Pengantar Naskah Akademik alinea pertama yang berbunyi:

"Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang[1] Undang tentang Ibu Kota Negara telah diselesaikan. Penyusunan Naskah Akademik ini merupakan tindak lanjut dari Arahan Presiden untuk menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara. Arahan tersebut selaras dengan Pidato Kenegaraan Presiden di Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia pada 16 Agustus 2019 dan Pengumuman Pemindahan Ibu Kota Negara oleh Presiden pada 26 Agustus 2019 di Istana Negara."

Artinya suatu kebijakan nasional yang sangat penting yang dirumuskan dalam suatu UU, landasan utamanya adalah "Arahan Presiden". Biasanya Bappenas itu bekerja dengan landasan perencanaan yang kuat yang tetap mengacu pada RPJP dan RPJM  yag ditetapkan dengan UU dan Peraturan Presiden.

Dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, pada Pasal 7 ayat (1) huruf a s/d g tidak ada satu norma yang mencantum arahan Presiden, atau Pidato Kenegaraan pada Sidang Tahunan MPR  sebagai jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.

Seharusnya Pemerintah membungkus dulu arahan Presiden dan Pidato Kenegaraan Presiden itu dalam dokumen Peraturan Presiden sehingga aspek legalistik nya jelas.

Dari dua RUU yang kontroversial yaitu RUU Cipta Kerja dan RUU IKN ini, tidak dapat dihindari kesan bahwa anggota DPR itu hanya menjalankan kebijakan dan arahan Ketua Umum Partainya (simak yang dikatakan Misbakhun Fraksi Golkar pada acara membahas IKN di Kompas TV sabtu malam/5-02-2022). Dan Ketua Umum Partainya menjalankan kebijakan dan keinginan Presiden, atau keinginan bersama kedua belah pihak. Apakah itu sejalan dengan keinginan masyarakat, tidak menjadi perhatian utama mereka.

Memang saat ini menjadi anggota DPR sangat dilematis.  Siapapun yang akan menjadi anggota DPR tidak dapat menghindari lingkungan seperti itu. Kecuali partainya beroposisi. Jelas kadernya  akan menjadi oposisi di legislatif. Lantas, apakah masih syah disebut Dewan Perwakilan Rakyat? Syah donk, karena bunyi UU nya begitu. Kita bangsa yang lebih senang casing dari pada isinya.

Pertanyaan- pertanyaan yang berkembang setelah UU IKN diresmikan DPR, juga merupakan pertanyaan yang sama sewaktu saya sebagai narasumber RDPU Pansus RUU IKN. Mulai dari apakah tepat saat sekarang ini pindah ibu kota dalam suasana Pandemi Covid-19 yang masih tinggi. Apakah tepat menggunakan APBN yang sudah sangat terbatas dan diprioritaskan untuk menangani Covid-19.

Bagaimana aspek legalitas dari bentuk badan yang bernama Badan Otoritas. Kenapa di RUU IKN dipaksakan 2024 harus pindah, waktu tinggal 2 tahun.

Bagaimana pengamanan aset Pemerintah Pusat di DKI Jakarta untuk tidak jatuh ketangan pihak lain.

 Apakah tidak menimbulkan persoalan Global, karena rusaknya Kalimantan sebagai paru-paru dunia.

Bagaimana nasib masyarakat adat di Kaltim, yang saat ini  tersisa 30%. Bisa "hilang" mereka seperti orang Betawi di Jakarta.

Bagaimana melibatkan partisipasi masyarakat secara lebih masif dan dengan substansi riel kedepan tantangan dan hambatan yang akan dihadapi.

Bagaimana sistem pemerintahannya yang beririsan dengan UU Pemerintah daerah dan UU lainnya.

Bagaimana persoalan infrastruktur dan sistem jaringan digitalisasi yang secure dan  menjangkau luas.

Pertanyaan-pertanyaan itu tidak terjawab dalam UU IKN tersebut.  Akibatnya sudah dapat diduga. Berbagai tokoh dan elite masyarak ( akademisi, tomas, purnawirawan TNI, mantan Pejabat, LSM, aktivis)   akan mengajukan Judicial Review ke MK. Bagaimana dan sampai dimana ujung Putusan MK, kita tunggu saja waktunya.

Kesimpulan

Check and balances  sebagai negara Demokrasi antara DPR dengan Pemerintah semakin jauh dari harapan masyarakat.  90% Ketua Umum Partai sudah membuat ikatan persaudaraan partai yang kuat karena sudah masuk dalam komunitas oligarki, bahkan merupakan bagian dari oligarki itu. 

Siapapun Presidennya tidak bisa melawan oligarki itu. Melawan akan goyang pemerintahannya, melalui kaki-kakinya di DPR. Bagi Presiden yang paling aman bekerjasama secara mutual ( simbiosis mutualisme). Kalau sudah dalam persaudaraan, partai kecil pun pasti ada bandrolnya. 

Jadi mereka tidak ambil pusing dengan  20% parliamentary threshold . Yang bisa mengubah hanya melalui Pemilu yang jujur dan adil. Jangan pilih partai  yang sering membohongi rakyatnya, jangan pilih anggota DPR yang menjadi anggota legislatif sebagai lahan lapangan kerja, tidak punya integritas, dan tidak membela kepentingan rakyat.  Bagaimana cara menemukannya? Telusuri track record nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun