Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Bola Panas RUU IKN

22 Desember 2021   00:30 Diperbarui: 22 Desember 2021   07:40 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Tanggal 11 Desember 2021 yang lalu, saya diundang dalam kapasitas sebagai pemerhati kebijakan publik dan dosen yang mengajar di prodi Administrasi Publik Universitas Nasional, untuk menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) tentang RUU IKN di Gedung Nusantara 2 DPR, di hadapan Pansus RUU IKN dari sudut perspektif Kebijakan Publik.

Bagi saya, keterlibatan menyusun dan membahas RUU dengan DPR, sudah sering dikerjakan sebagai pejabat pemerintah maupun sebagai Ketua DJSN (pada masanya), antara lain menyusun UU tentang Penanggulangan Bencana, UU tentang Kesejahteraan Sosial, UU tentang Penanganan Fakir Miskin dan UU tentang BPJS.

Kunci dari pembahasan RUU, harus diawali dari Naskah Akademik (NA). Sebab NA itu merupakan acuan, kompas, arah, dan ke mana tujuan yang hendak dicapai suatu UU. Dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang PPP, bahkan sudah lebih terukur dan diberikan koridor outline suatu UU yang akan dibuat.

Karena waktu terbatas, dan kesempatan menelaah hanya satu malam saja, maka pada forum itu ada beberapa catatan penting yang disampaikan sebagai masukan bagi Pansus yang akan bekerja, yang rencananya marathon, dan harus selesai di triwulan I Tahun 2022.

Pada NA, banyak hal sudah dituangkan terkait kenapa perlu adanya UU tentang IKN yang ditinjau dari berbagai aspek, mulai kondisi IKN yang ada sekarang ini (DKI Jakarta), dan rencana kepindahannya di Kalimantan Timur.

Banyak negara yang sudah melaksanakan perpindahan ibu kotanya, yang rata-rata relatif memerlukan waktu yang lama, bahkan berpuluh tahun.

Tetapi, dalam forum itu, saya mengingatkan terhadap 8 asas UU IKN, keseluruhannya sudah relevan, hanya terkait dengan asas kedelapan, yaitu; Kebhinnekaan (Bhinneka Tunggal Ika dan keindahan khas Indonesia), seharusnya langsung saja "Bhinneka Tunggal Ika dan keindahan khas Indonesia". Tanpa lagi menggunakan istilah Kebhinnekaan, karena maknanya tidak sempurna hanya mengedepankan perbedaan. Bhinneka Tunggal Ika, harus dibaca dalam satu tarikan napas, tidak boleh diputus.

Dalam RUU IKN, kita menyoroti bagaimana harus jelas dan terukur irisan regulasi dengan UU lainnya, antara lain UU tentang Pemerintah Daerah, UU Sektor/kementerian terkait (pertambangan, pertanian, kesehatan, pendidikan, perhubungan dan lainnya) yang bersangkut paut dengan cakupan wilayah IKN baru.

Karakter IKN baru, apakah terfokus pada ibu kota pemerintahan saja, sebab RUU IKN pasal-pasalnya lebih banyak mengatur dari aspek penyelenggaraan pemerintahan. Bagaimana dengan sektor perekonomian, perdagangan, kebudayaan, dan nilai-nilai religius keagamaan?

Dalam NA IKN baru sudah direncanakan dalam 6 klaster kegiatan yaitu; Klaster Pemerintahan; Klaster Pendidikan; Klaster Kesehatan; Klaster Riset dan Inovasi; Klaster Hiburan; dan Klaster Financial Centre (mengacu pada arahan Presiden dalam Rapat Terbatas (Ratas) IKN 26 Februari 2020 dalam materi presentasi RTR -- KSN IKN). Tetapi dari keenam klaster itu, hanya Klaster Pemerintahan yang banyak dicantumkan dalam pasal-pasal RUU itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun