Bagaimana bentuk pengelolaan IKN yang ideal? Banyak pilihan dengan mengacu aturan penyelenggaraan pemerintahan yang sudah ada dalam UU tentang Penyelenggaraan Pemerintahan.
Pentingnya IKN baru
Dari NA, cukup alasan untuk adanya IKN baru bagi Indonesia, dan sudah lama direncanakan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Walaupun berbagai alasan dan latar belakang yang diuraikan masih dapat diperdebatkan dasar argumentasinya.
Persoalan mendasarnya, apakah tepat dan mendesak, saat sekarang ini dibahas RUU IKN. Pemerintah dan DPR harus dapat menjelaskan rasionalitasnya dengan bahasa mudah dimengerti oleh masyarakat, dengan melakukan sosialisasi yang substansif. Berapa besar biaya yang tersedot baik dari APBN, swasta, maupun sumber lain yang dapat menjadi perangkap utang baru.
Isu lain yang sensitif, terkait asset milik negara yang ada di DKI. Mekanisme yang diatur dalam RUU itu ada dua cara, pemindahtanganan dan pemanfaatan oleh BUMN, atau dijual dengan tender. Mekanisme tender ini sangat rawan dan berpotensi terjadinya pat gulipat.
Isu penting lain yang kita mintakan dibahas mendalam adalah yang tercantum pada Pasal 3 draft RUU IKN, ayat (2) berbunyi: "Pemindahan status Ibu Kota Negara dari Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ke IKN [...] dilakukan pada semester I (satu) tahun 2024 dan ditetapkan dengan Peraturan Presiden".
Pasal 3 ayat (2) jelas terkesan dipaksakan. Karena hanya memerlukan waktu 2 tahun IKN harus pindah ke Kaltim. Banyak obstacle yang dihadapi, mulai dari dukungan anggaran, persiapan lahan yang harus matang, situasi politik menjelang Pemilu, kondisi ekonomi, kesiapan manusia (SDM), mobilitas manusianya, dukungan transportasi, dukungan jaringan internet, semuanya itu masih merupakan list negative.
Belum lagi pemerintah harus meyakinkan dunia, tentang Kalimantan sebagai paru-paru dunia yang akan terganggu dengan pembukaan lahan yang ratusan ribu hektar. Apakah hal itu tidak menyulitkan Indonesia dalam dunia global?
Sudah saatnya Pansus RUU IKN DPR RI untuk berpikir ulang, mendalami semua faktor secara mendalam. Libatkan partisipasi masyarakat secara luas, karena ibu kota negara merupakan simbol negara, simbol kesatuan dan persatuan Bbangsa, dan harus merasa dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia, bukan saja oleh segelintir elite dan kelompok kepentingan.
Tidak perlu kesusu atau keburu-buru. Banyak contoh negara yang mempersiapkannya puluhan tahun. Yang penting keinginan yang dasarnya baik untuk menyelesaikan persoalan DKI Jakarta yang daya pikulnya semakin rentan, proses persiapannya berkelanjutan. Jangan sampai ganti presiden ganti arah dan ganti lokasi.Â
Harus ada jaminan itu bagi siapapun penyelenggara negara. Jaminan keberlanjutan itu dapat dipastikan akan dapat berjalan, dengan hanya satu syarat: PROSESNYA MELIBATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT.Â