Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Masalah Program Organisasi Penggerak, Bagaimana Solusinya?

29 Juli 2020   01:05 Diperbarui: 29 Juli 2020   01:03 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terlalu spekulatif, menunjuk SMERU terkait dengan pemilahan dan pemilihan lembaga pendidikan organisasi masyarakat. Bagi SMERU tidak ada beban, selesai seleksi habis kontrak. Tetapi implikasi risiko terhadap proses penyelenggaraan POP itu, menjadi tanggung jawab pemerintah. Dikhawatirkan Kemendikbud, tidak memikirkannya terlalu jauh, jika Merdeka Belajar menjadi proses inovasi yang "liar" tanpa norma, etika, bahkan siapa yang dapat menjamin tidak melenceng dari filosofi pendidikan Pancasila.

Kita  mencermati, bahwa proses awal seleksi administrasi dilakukan oleh pejabat Kemendikbud. Disini saja sudah terlihat titik lemah proses seleksinya yang di klaim independen.   Itu yang dirasakan NU dengan bolak balik proposal yang harus diajukan pihak LP Ma'arif PBNU.

Persoalan kedua, jika tim penilai bersifat independen, kenapa Yayasan yang berafiliasi perusahaan konglomerat, diloloskan mendapatkan hibah dari APBN. Sedangkan semangat Yayasan Bhakti Tanoto dan Yayasan Putera Sampoerna, yang didirikan oleh pemilik perusahaan Sukanto Tanoto dan Michelle Sampoerna adalah kegiatan filantropi, membantu kelompok masyarakat yang tidak mampu   dalam bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan.

Kedua perusahaan ini, hakekatnya sudah banyak merugikan lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat. Siapa yang tidak pernah dengar PT.Indorayon Utama di Sumatera Utara (milik Tanoto)  sejak tahun 1989, dengan jejak kerusuhan karena pencemaran lingkungan sehingga menimbulkan konflik horizontal antara masyarakat, dan vertikal dengan aparat keamanan. Pabrik rokok Sampoerna, berapa banyak meraup keuntungan dari rokok yang meracuni paru-paru anak bangsa yang suka merokok sampai hari ini.

Apakah karena double blind review, mereka lolos dan dapat bantuan hibah dari APBN kelas  gajah?. Bayangkan nilai asset perusahaan Sukanto Tanoto itu saja , 2,3 miliar dollar, dan Putera Sampoerna 1,8 miliar dollar. Apakah karena double blind, tidak dapat membaca angka milyaran dollar itu, dan puluhan miliar rupiah sudah disisihkan untuk yayasan filantropinya. Apakah merek butuh dana hibah pemerintah?.

Apalah artinya uang 20 miliar rupiah ( bukan dollar)  bagi mereka yang diperebutkan di kalangan 156 ormas. Jangan-jangan ada pihak lain yang mengincar duit itu, dengan menggunakan nama raksasa Yayasan Tanoto dan Putera Sampoerna.  Keluarga Tanoto dan Putera Sampoerna harus menjelaskan kepada publik  secara langsung.

Persoalan ketiga, adalah para birokrasi di Kemendikbud sebagai penjaga gawang kementerian, lupa sejarah. Lupa atas jasa-jasa dan kerja keras dan semangat yang dibangun oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang terdahulu. Mereka itu silih berganti antara yang berakarkan Ormas NU dan Ormas Muhammadiyah.

Kalau Mas Menteri, ya maklum kalau tidak mengetahui sejarah itu. Disamping banyak belajar di luar negeri, juga selama ini tidak berkecimpung di pendidikan.  Beliau sukses sebagai pengusaha dengan memanfaatkan kemajuan dunia digital.

Kemarahan masyarakat lebih tepat ditujukan pada birokrat di Kemendikbud, yang tidak mempunyai sense of crisis dan sensitifitas  mencermati kehidupan masyarakat, yang sedang tensi tinggi dalam suasana wabah Covid-19.

Sangat tepat lah jika Mas Nadiem menangkap sinyal itu, ganti pejabat strukturalnya mulai dari Dirjennya sampai para Direktur yang terkait. Evaluasi semua skenario implementasi kebijakan yang dilakukan mereka, apakah ada yang menyimpang dari substansi strategis yang diinginkan Mas Menteri.

Persoalan keempat adalah persoalan momentum diluncurkan tahap keempat Merdeka Belajar dalam suasana Covid-19 yang masih mencekam. Ekonomi semakin menurun tajam.   Apakah tidak lebih baik dana hibah yang hampir 600 miliar rupiah digunakan untuk memberikan kemudahan kepada anak didik terutama SD dan SMP  untuk mendapatkan proses belajar dan mengajar secara virtual lebih merata sampai ke pelosok tanah air?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun