Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Case Fatality Rate, Bagaimana Kecenderungannya?

27 Maret 2020   14:58 Diperbarui: 27 Maret 2020   15:14 896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angka kematian rata-rata (Case Fatality Rate/CFR), merupakan hitungan-hitungan demografi dan epidemiologi  yang sering digunakan oleh para ahli kesehatan masyarakat, untuk melihat berbagai kecenderungan suatu kasus, penyakit atau wabah, sehingga dapat dilakukan intervensi yang tepat sebagai suatu langkah antisipasif perencanaan kesehatan baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Istilah lain disebut juga Mortality Rate. Kalau  angka kesakitan disebut dengan Morbidity Rate,  isitlah-istilah ini akan sering kita  dengar dalam musim wabah covid-19 saat ini.

Mari kita  lihat secara retrospektif  empat hari belakangan ini. Senin, 23 Maret 2020, kasus yang positif terinfeksi covid-19, sebanyak 579 kasus, meninggal 49 orang (CFR, 8,5%) dan yang sembuh 30 orang.

Sudah dapat diduga,  angka terinfeksi tetap tinggi pada hari berikutnya (Selasa, 24 Maret 2020) , bertambah 106 orang (kenaikan 18,3 % dari kemarin), totalnya 685, dan jumlah kematian  menjadi 55 orang, bertambah 6 orang (12%). Yang sembuh 30 orang. Angka  CFR nya 8%, turun dari kemarin 8,5%. 

Rabu 25 Maret 2020 , terinfeksi 790 orang, bertambah 105 orang (kenaikan 15,3% dari hari sebelumnya), meninggal 58 orang, bertambah 3 orang (5,4%),  dan sembuh 31 orang. Angka CFR nya 7,3%, turun 0,7% dibandingkan hari kemarin.

Kamis 26 Maret 2020, terinfeksi 893 orang bertambah 103 orang (kenaikan 13 % dibanding sehari sebelumnya), dan  meninggal 78 orang  bertambah 20 orang (34,5%),  dan 35 orang  sembuh. Dari senin sampai dengan Kamis, angka kesembuhan masih melambat (16,6%), atau 3,9% dari total mereka yang terinfeksi. CFR nya 8,7%, naik lebih dari 1 digit dibanding hari Rabu  kemarin.

Apa makna dari angka-angka yang kita baca 4 hari terakhir. Pertama adalah angka absolut terinfeksi masih tinggi, bertengger di angka 100 orang lebih perhari, tetapi secara persentase akumulasi terinfeksi, setiap hari menurun, dari 18,3% menjadi 13%, dalam kurun waktu 4 hari.  Apakah ini menggambarkan sudah sampai kurva puncak dan hendak melandai, belum bisa dipastikan. Karena kita harus memperhatikan variabel akurasi pelaporannya.  

Menurut Prof. Ascobat Gani, kurva puncak terinfeksi, diperhitungkan mulai turun akhir Maret 2020.  Tetapi beberapa ahli mengatakan lebih lama lagi bisa sampai April 2020, jika upaya-upaya memutus mata rantai virus tidak dilakukan secara ekstrim.

Kedua, yang paling  mengkhawatirkan adalah kurva angka kematian masih bertahan di rata-rata 8,1%. Masih sangat tinggi dibandingkan dengan negara lain yang juga mendapatkan wabah covid-19.  Angka kesembuhan masih sangat lambat hanya bertambah 5 orang dalam 4 hari, bandingkan dengan yang terinfeksi lebih dari 100 orang perhari.

Problem kita saat ini

Jika orang mati, pasti akan mudah diketahui. Karena tidak akan bisa disembunyikan. Artinya akan mudah terlacak dan terdata lebih akurat. Tetapi yang menjadi persoalan adalah sulitnya memastikan berapa sih jumlah penduduk yang terinfeksi. Mengingat sulitnya mendeteksi gejala-gejala awalnya. Disamping menghindar nya masyarakat melapor, karena takut di isolasi dan dijauhi masyarakat.

Contoh masih sulitnya mengedukasi masyarakat, dialami Dinas Kesehatan Kota P.Siantar yang menyatakan bahwa 20 orang anggota DPRD P.Siantar yang baru kembali dari Bali  masuk dalam ODP (orang dengan pemantauan). Anggota DPRD nya ngamuk-ngamuk sewaktu dilakukan Rapat Dengar Pendapat dengan Dinas Kesehatan Pemda Siantar. Bahkan Kabid P2P nya seorang dokter wanita menangis dimarahi. Alasan anggota DPRD tersebut, gara-gara diumumkan ODP, dijauhi masyarakatnya, dikucilkan.  Disinilah letak persoalannya, pemahaman yang salah tentang maksud dan tujuan isolasi atau orang dalam pemantauan.

Analisis saya, dengan semakin bertambahnya jumlah kasus yang terinfeksi setiap harinya, mengindikasikan bahwa data yang akan diperoleh mendekati realita di lapangan.  Oleh karena itu, konsistensi dan kesungguhan tim lapangan dinas kesehatan kabupaten/kota setempat menjadi kunci untuk memastikan angka terinfeksi dan peta penyebarannya.

Kembali ke soal Case Fatality Rate itu, akan menjadi menghantui, jika upaya intervensi yang dilakukan pemerintah melalui social distancing atau sekarang isitilah berubah menjadi physical  distancing  tidak optimal dipatuhi masyarakat. Apalagi  berbagai keterbatasan alat kesehatan, obat-obat vitamin untuk daya tahan tubuh, desinfektan, masih belum dapat teratasi dengan cepat dan merata mengejar cepatnya lari covid-19 memburu manusia.

Hal ini dipertegas Presiden Jokowi tidak membuat kebijakan lockdown. Catat itu. Walaupun hampir semua ahli kesehatan, dokter, IDI dan berbagai pemerhati sosial lainnya menyarankan lockdown pada tingkat wilayah. Presiden Jokowi tetap pada pendiriannya. Terkesan Jokowi lebih mendengarkan para ahli ekonomi di sekelilingnya, pebisnis, politisi yang akan membayangkan ekonomi akan jeblok, dan rezim pemerintahan akan jatuh. Kebijakan pemerintah tersebut,  membuat RS kebanjiran mereka yang tersuspect, tenaga medis kekurangan APD, akibatnya 8 orang dokter tewas terkena serangan virus corona.

Dari pada melakukan lockdown, lebih baik beli obat Avigan dan menyediakan Chloquin dalam jumlah besar untuk mengatasi virus corona yang berselancar di tubuh manusia dan sekitar kita. Jokowi memperbanyak RS untuk isolasi. Wisma atlit Senayan dijadikan RS dadakan, dan sudah diresmikan Presiden. Dapat menampung sampai 3000 pasien. APD diperbanyak dapat dari China, dijemput dengan pesawat Hercules TNI, setelah para dokter berjatuhan sakit dan meninggal dunia.   

Pemakaian Avigan dan Chloroquin ini bukan tidak ada persoalan. Memerlukan kehati-hatian, dan hanya dapat menyembuhkan jika masih gejala ringan. Tetapi obat itu sendiri bukanlah drug of choice yang direkomendasi WHO, karena masih memerlukan uji klinis yang lebih banyak dan lebih luas. Gencarnya Presiden Jokowi mendorong pemakaian Avigan dan Chloquin mungkin sebagai bentuk uji klinis massal melibatkan rakyat Indonesia yang ter-suspect.

Tidak ingin lockdown, hanya physical distancing, kata kuncinya adalah disiplin dan kesadaran tinggi dari masyarakatnya. Untuk kebijakan physical distancing dimaksud, rapid test digencar kan, RS di perbanyak, tenaga medis direkrut, obat Avigan dan Chloquin diluncurkan. Begitulah bentuk kebijakan pemerintah.

Kebijakan untuk bekerja di rumah, ibadah di rumah, belajar di rumah, ternyata masih belum konsisten diterapkan. Perkantoran kementerian masih bekerja seperti biasa, hanya dikurangi dibagi per shift  kehadiran. Kantor perusahaan dan perbankan masih tetap buka. Lalu lintas manusia di Jakarta masih ramai. Terminal bus, stasiun kereta api, pusat-pusat perbelanjaan, walaupun sudah semakin menurun pengunjung tetapi masih tetap ramai. Di pasar Pramuka, orang yang belanja alat kesehatan   obat-obatan masih berjubel, bersenggolan, sebagian besar tanpa masker, masih berlangsung sampai hari ini.

Pekerja-pekerja harian yang mencari peruntungan di Jakarta asal Jawa Tengah, ribuan kembali ke Jawa Tengah melalui bis, karena tidak ada pekerjaan. Gubernur Ganjar teriak-teriak kepada para Bupati untuk melakukan screening  terhadap mereka, karena berpotensi dapat  meningkatkan penyebaran virus corona.

Seminggu ini social  distancing sudah digalakkan, dan saat  ini berganti istilah dengan physical distancing, maknanya sama. Presiden Jokowi menyadari bahwa kebijakan dimaksud tidak berhasil baik, jika disiplin masyarakat untuk tidak berkumpul, berkerumun, dan memadati pasar serta swalayan, tidak dipatuhi.

Ratusan ribu penduduk Bekasi, Tangerang, Depok, Bogor yang bekerja di Jakarta, masih terus bergerak dengan transportasi umum,  dan sulit dipungkiri virus corona itu juga ikut berjalan-jalan mencari tempat yang aman, disekeliling manusia yang berkerumun.

Akibatnya angka kesakitan atau terinfeksi tetap tinggi sebagaimana  diutarakan awal   tulisan ini. Sudah bekerjanya Rapid Test, dan meningkatnya arus pelaporan yang lebih akurat, semakin terlihat secara lebih transparan situasi terjadinya wabah covit-19 di Indonesia. Tidak bisa lagi ditutupi. Pemerintah secara ber lahan mulai jujur kepada rakyatnya. Termasuk tidak cukup tersedianya dana. Sehingga membuka donasi bantuan dari rakyatnya,

Jika kecenderungan kenaikan terinfeksi landai ( dibawah 20%) dan dapat di peta kan, dan semakin cepat langkah intervensi dengan isolasi, obat-obatan, dan observasi yang terus-menerus mengikuti siklus inkubasi virus covid-19,  maka kesembuhan akan dapat ditingkatkan dan angka kematian dapat semakin berkurang.

Tetapi jika angka terinfeksi meninggi semakin tajam ( 30 sampai 40% bahkan lebih ), diikuti dengan CFR nya tinggi, itu berarti strategi social distancing atau physical distancing mengalami kegagalan. Hal  itu berarti masyarakat sudah tidak perduli nyawanya terancam. RS juga akan kewalahan menghadapi suspect yang semakin berat. Korban kematian yang terbanyak adalah kelompok lansia, dengan pengidap penyakit kronik yang sudah dimilikinya.

Mari kita ikuti dulu  kebijakan Presiden Jokowi yang mengandalkan disiplin masyarakatnya untuk menghadapi covid-19, melalui strategi physical distancing dalam seminggu kedepan ini. Jika angka-angka statistik yang disampaikan Juru Bicara Pemerintah setiap harinya seperti analisis diatas, kurva terinfeksi naik tajam, dan CFR naik tajam, artinya semakin banyak kuburan massal yang di digali dibumi ibu pertiwi. Bapak Presiden Jokowi adalah yang paling bertanggung jawab dunia dan akhirat bersama para kabinetnya dan penasehat serta pembisik beliau.

Jika dalam seminggu kedepan ini, tren terinfeksi menurun landai, dan CFR nya menurun landai, berarti kebijakan sudah berjalan dengan tepat, dan disiplin masyarakat berjalan efektif. Kepercayaan masyarakat kepada Presiden Jokowi dan pemerintahannya (mudah-mudahan) meningkat.

Penutup

Artikel ini, adalah tulisan saya ketiga, terkait dengan lockdown terhadap wabah covid-19, dikaji  dari berbagai sudut pandang. Karena Presiden Jokowi sudah putuskan tidak ada lockdown, tentu kita akan hormati, walaupun  mengecewakan banyak pihak dan para ahli kesehatan.

Seharusnya DPR RI berbicara dan memberikan masukan kepada Presiden, dengan mempertimbangkan berbagai  masukan masyarakat. Tetapi karena sedang  reses, sepertinya anggota DPR  sedang sibuk dengan konstituennya serta memeriksa diri (Rapid Test), untuk memastikan bahwa tidak ada virus corona di tubuhnya. 

Apapun cerita, yang perlu diselamatkan adalah diri kita dan keluarga yang dicintai, itu wajar dan manusiawi. Tetapi sebagai wakil rakyat, sudah disumpah untuk membela kepentingan rakyat.

Kita akan bahas kembali, minggu depan untuk melihat bagaimana perkembangan CFR, morbidity rate, dalam seminggu pertempuran melawan covid-19.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun