Saya tidak tahu persis, apakah kasus inkonsistensi seperti ini masuk dalam kategori cacat hukum. Tolong para ahli hukum yang menganalisisnya.
Apa langkah pemerintah selanjutnya?
Pemerintah tidak perlu panik. Dirut BPJS Kesehatan juga cooling down saja. Bekerja terus sesuai amanat UU. Buat hitung-hitungan potensi defisit yang mungkin terjadi, jelaskan ke publik dengan transparan.
Utarakan juga implikasi yang terjadi, dan upaya jalan keluar yang pahit dan tidak populer.
Kemenkes, DJSN, dan Kementerian terkait, disarankan melakukan langkah cepat antara lain, rumuskan kelas standar. Ambil salah satu jenis kelas, misalnya kelas 2 itulah kelas standar. Sehingga sesuai dengan UU SJSN.
Karena MA tidak setuju kenaikan tarif, gunakan tarif lama kelas 2 sebagai tarif kelas standar Rp.51.000/POPB. Semua peserta masuk di kelas standar (PBI dan Non PBI). Jika PBI, iurannya Rp.42.000.-/POPB, dan peserta PBPU dan BP (mandiri), single iuran karena kelas standar, yaitu sebesar Rp. 51.000/POPB. Adil dan non-diskriminatif sesuai dengan amanat pasal 2, 3, dan 4 UU SJSN. Tertibkan Perpres JKN yang baru dengan perubahan tersebut. Mudah-mudahan defisit JKN dapat lebih ditekan dengan kebijakan baru dimaksud.
Hanya sekedar masukan, semoga bermanfaat, untuk kepentingan semua pihak.