Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Persoalan yang Tersisa dari Keputusan MA

11 Maret 2020   00:44 Diperbarui: 11 Maret 2020   08:23 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana pelayanan di Kantor BPJS Kesehatan Cabang Utama Samarinda Jalan Wahab Syahranie, Rabu (4/9/2019). Sumber: Kompas.com/KOMPAS.com/ZAKARIAS DEMON DATON

Pasal yang spesifik hanya pada pasal 17 ayat (3) Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak.

MA sudah pada kesimpulan bahwa 3 variabel ( sosial, ekonomi, kebutuhan dasar hidup yang layak), belum memungkinkan pemerintah untuk menaikkan iuran dimaksud. Parameter apa yang dipakai Majelis Hakim terhadap ketiga variabel tersebut, harapan kita pada amar putusan dapat diperoleh penjelasannya.

Tetapi ada yang luput dari kacamata para hakim, yakni terkait tarif JKN berdasarkan kelas rawat inap. Hal ini tertuang dalam pasal 23 ayat (4) dan (5) UU SJSN. MA sebagai gerbang penjaga UU, tidak memasukkan pasal 23 ayat (4) dan (5) sebagai pertimbangan.

Apa bunyinya; Pasal 23 ayat (4) Dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas pelayanan di rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar. Ayat (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.

Jadi terkait tarif yang menjadi dasar rujukan Perpres 75/2019, adalah pasal 23 ayat (4) dan (5), yang langsung membuat tiga kelas perawatan untuk dasar tarif yaitu kelas 1, 2, dan 3.

Penentuan tarif berdasar 3 klaster kelas tersebut sudah melanggar UU SJSN. Jadi soal ini sejak awal Perpres JKN sudah menabrak UU SJSN. Sebab, UU itu hanya menyebutkan jika pasien sakit memerlukan rawat inap, maka haknya adalah kelas standar.

Dan apa yang dimaksud dengan kelas standar pada ayat (5), UU SJSN memerintahkan kepada pemerintah untuk dirumuskan lebih lanjut dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Sampai detik ini definisi atau batasan rawat inap kelas standar belum dirumuskan pemerintah.

Runyamnya, Mahkamah Agung juga terjebak dengan Perpres 75/2019, dan mengutip katagori kelas rawat inap 1,2, dan 3, yang tidak ada ketiga kelas tersebut dalam UU SJSN.

Saya berpendapat, Majelis Hakim MA, tidak cermat. Sehingga ikut menabrak UU SJSN, sama dan sebangun dengan pemerintah dalam Perpres 75/2019.

Pemikiran sederhana saya, sebaiknya keputusan Majelis Hakim MA, tanpa mengurangi rasa hormat kepada para Hakim Agung, menganulir dulu pengkategorian kelas 1,2, dan 3, dan memerintahkan pemerintah untuk menetapkan hak peserta untuk mendapatkan pelayanan di kelas standar.

Kemudian baru menetapkan besaran iuran dengan mengacu pada pasal 17 ayat (3), dengan memperhatikan 3 viriabel sosial, ekonomi, kebutuhan dasar hidup yang layak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun