Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dari Raker ke FGD, Ada Apa dengan DPR?

1 Februari 2020   00:47 Diperbarui: 1 Februari 2020   00:53 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Kita ketahui bersama, beberapa waktu yang lalu bagaimana  dinamika yang cukup tajam dalam Rapat Kerja antara Komisi IX DPR dengan Menkes, Direksi BPJS Kesehatan, DJSN, yang ujungnya berakhir buntu. Karena Menkes sudah lempar handuk tidak dapat memenuhi solusi yang sudah dijanjikannya dalam Raker terdahulu.  

Inti perdebatan adalah DPR menuntut janji Menkes untuk menggunakan "surplus" dari kenaikan dana PBI, untuk menbayar selisih kenaikan kelas III mandiri yang menurut anggota DPR Komisi IX adalah juga mereka miskin dan tidak mampu. Jumlahnya cukup banyak sekitar 19 juta peserta, dan akan terus bertambah karena banyak diantaranya  yang membayar di kelas II dan I turun kelas dan hanya membayar untuk tarif kelas III sebesar Rp.42.000.- Hitungan sementara sudah mencapai lebih dari 800 ribu peserta.

Sikap lempar handuk alias menyerah, menyebabkan anggota DPR semakin meradang, dan marah-marah. Kemarahan mereka wajar karena sikap lempar handuk dr.Terawan,  menunjukkan qualitas  kepemimpinan seorang Menteri, sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang anggota  Komisi IX, "baru kali ini saya Raker dengan Menteri yang menyerah, tidak memberikan solusi". Kalau dicermati tanggapan anggota DPR tersebut "sangat tajam" dan menohok sang Menteri.

Kenapa mereka begitu marah. Sebagaimana syair lagu "kau yang berjanji, kau yang mengingkari" itulah yang dirasakan, sehingga bangkitlah sahwat kekuasaan memarahi sehabis-habisnya pemerintah. Anggota DPR menyadari dan memanfaatkan betul wewenangnya untuk berbicara "sesukanya' dalam ruang sidang DPR  karena  dilindungi UU dalam melaksanakan fungsi pengawasan.

Saat ini posisi Menkes dr.Terawan terjepit dan terhimpit. DPR menuntut terus janji Menkes untuk mengeksekusi "melakukan subsidi silang terhadap peserta JKN mandiri kelas III dari dana PBI", yang jelas-jelas  tidak ada diamanatkan dalam Perpres 75/2019. Di sisi lain, Menko PMK, dan Menkeu tetap bersikukuh melaksanakan Perpres 75/2029 tanpa kecuali dan modifikasi.  

Sedangkan Dirut BPJS Kesehatan tidak dapat melaksanakan kebijakan Menkes tersebut, karena tidak sesuai dengan penggunaan Dana Jaminan Sosial yang limitatif sebagaimana diatur dalam UU BPJS. Ada potensi Dirut BPJS Kesehatan melanggar UU  jika mengikuti kemauan Menkes yang didukung DPR. Berat  sekali posisi Menkes dan Dirut BPJS Kesehatan.

Dalam tulisan saya http://www.urbannews.id/opini/pak-menkes-masih-ada-solusi/ , memberikan solusi yang fundamental  yaitu menyelesaikan soal status dan jalan keluar untuk kelas III mandiri, sekaligus perbaikan basis data kesejahteraan sosial sebagai penerima PBI.  Tanpa harus ada pihak yang kehilangan marwah dan martabat diri dan lembaga.

Tetapi apa yang terjadi. Ternyata beberapa hari yang lalu DPR melaksanakan FGD (_Focus Group Discussion_), yang _Live Streaming_ nya beredar di media sosial, dan mnjadi viral. Intinya DPR meyakinkan Dirut BPJS Kesehatan dapat melakukan diskresi kebijakan yang melampui kewajibannya dengan  tidak menarik iuran kelas III mandiri yang sudah dinaikkan, tetapi tetap dengan menggunakan tarif iuran yang lama (Rp.25.500 POPB), untuk 19 juta peserta, total dana sekitar Rp. 3,7 trliun  untuk 1 tahun.

Untuk meyakinkan Menkes dan Dirut BPJS Kesehatan, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad ( dari fraksi Gerindra), mengundang Jaksa Agung, Kapolri, dan BPK, serta wakil dari Komisi III DPR. Pihak Kepolisian akan mengamankan apa yang akan menjadi kebijakan pemerintah. Kejaksaan Agung menyebutkan diskresi dapat dilaksanakan untuk kepentingan umum. 

Tetapi mencontohkan kasus dana abadi ummat di Depag, yang masuk dalasm proses pengadilan, dan merepotkan birokrasi di Kemenag. Ilustrasi tersebut menjadi pisau bermata dua bagi BPJS Kesehatan.

Pihak BPK, mengatakan belum ada pendapat, akan dikaji, sedangkan dari Dewas BPJS Kesehatan kalimat bersayap, tidak tegas, demikian juga DJSN, sikapnya masih  mengambang.

Dirut BPJS Kesehatan cepat membaca peta situasi. Beliau tidak membantah, jika akan ditetapkan dengan Peraturan BPJS sebagai suatu diskresi,  sebelum diterbitkan akan melaporkan dulu kepada atasan langsung yaitu Presiden Jokowi. Katup pengaman yang tepat, karena tidak mau memegang bola panas di tangan sendiri.

Pimpinan Rapat memutuskan agar dalam dua hari Kejaksaan, Kepolisian dan BPK memberikan masukan tertulis pada Dirut BPJS Kesehatan, dan selanjutnya akan dibuat Perban (Peraturan Badan) BPJS Kesehatan setelah mendapatkan persetujuan Presiden.

Dugaan saya, Presiden Jokowi tidak akan langsung menyetujui. Presiden akan minta pertimbangan Menko PMK dan Menkeu. Dan sudah dapat diramalkan kedua menteri tersebut tidak menyetujui lahirnya Perban, karena akan mendegradasi wewenang Presiden. Atau mungkin juga meyakinkan Presiden untuk tetap diberlakukan Perpres 75/2019, untuk kepastian penyelenggaraan JKN yang berkelanjutan.

Sebagai latar belakang, mari kita simak pasal yang ditakuti oleh BPJS Kesehatan, untuk tidak melakukan penundaan Perpres 75/2019, dan mengalihkan dana PBI untuk mandri kelas III.

Dalam UU BPJS Nomor 24 Tahun 2011, pada Bagian Ketiga Aset Dana Jaminan Sosial Pasal 43  ayat (1) Aset Dana Jaminan Sosial bersumber dari:a.Iuran Jaminan Sosial termasuk Bantuan Iuran;b.hasil pengembangan Dana Jaminan Sosial;c.hasil pengalihan aset  program  jaminan sosial yang menjadi hak Peserta dari Badan Usaha Milik Negara yang  menyelenggarakan  program jaminan sosial; dan d.sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Ayat (2) Aset Dana Jaminan Sosial digunakan untuk: a.pembayaran Manfaat atau pembiayaan layanan Jaminan Sosial; b.dana   operasional   penyelenggaraan   program Jaminan Sosial; dan c.investasi   dalam   instrumen   investasi   sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Ayat (2) tersebut jelas limitatif, hanya digunakan untuk 3 hal saja yaitu pembiayaan layanan jaminan sosial bagi peserta JKN, dan pembayaran manfaat untuk peserta BP Jamsostek.  Dalam hal pembiayaan pelayanan jaminan sosial tidak ada segmentasi jenis peserta, sebagaimana prinsip SJSN non diskriminatif. Yang kedua untuk dana operasional penyelenggaraan, dan ketiga investasi. Khusus investasi lebih diutamakan pada BP Jamsostek,  karena mengutamakan solvabilitas, sedangkan BPJS Kesehatan mengutamakan liquiditas karena untuk membayar pelayanan di faskes.

Jika kita cermati hasil FGD tersebut,  lebih bersifat basa basi politik, sebab jelas yang dibicarakan yang melanggar UU. UU tidak bisa dianulir dengan diskresi, atau juga dengan Perpres, UU hanya bisa "dianulir" Presiden dengan menerbitkan Perppu. Dengan syarat adanya keadaan yang mendesak dan genting.  Disamping itu sejauh mana keputusan FGD mengikat, sedangkan keputusan Raker lintas Komisi tidak dapat dilaksanakan.

Pertanyaan mendasarnya apakah yang diperjuangkan benar benar kepentingan rakyat miskin atau ada kepentingan politik DPR. Dari sisi Pemerintah sebenarnya sudah jelas kebijakannya, yaitu mereka yang terdata fakir miskin dan tidak mampu iurannya dibayarkan oleh Pemerintah (Pusat dan Daerah), jumlahnya sangat besar 133 juta peserta, sekitar 60% dari total peserta.

Kalau DPR benar-benar membela kepentingan rakyat, yang perlu dilakukan adalah mensupervisi   kementerian terkait yang menangani pendataan  orang miskin apakah datanya sudah akurat, tidak ada _inclusion error_, dan _exclusion error_.  

Jika data sudah akurat, maka persoalan peserta mandiri kelas III yang dikatakan para anggota DPR  diduga orang miskin, dapat otomatis masuk PBI,  demikian juga sebaliknya, bagi yang mampu tetapi ngumpet masuk ke dalam PBI, harus ditarik dan dikeluarkan, silahkan menjadi peserta mandiri sesuai dengan kemampuannya, apakah di kelas III,II dan I. Itu namanya  menyelesaikan masalah pada akar masalahnya.

Yang diperjuangkan DPR saat ini yang tidak kunjung selesai adalah memaksa 19 juta peserta mandiri kelas III agar iurannya tidak dinaikkan. Selisih kenaikan kelas III dibayarkan dari iuran PBI yang sudah dinaikkan pemerintah. Menurut Menkes dari kenaikan iuran PBI itu ada surplus. Bagaimana dasar hitungannya tidak jelas. Apa landasan UU nya tidak ada.

Berdasarkan laporan BPJS Kesehatan klaim ratio PBI sudah 105%. Belum lagi mereka peserta mandiri yang migrasi ke kelas III dari kelas II dan I, sudah mencapai 800 ribu peserta.  

Apakah DPR sudah punya data yang akurat bahwa 19 juta peserta mandiri kelas III adalah miskin semua, sebagian besar atau sebagian kecil. Soal ini tidak pernah dibicarakan secara tuntas. Seharusnya dibicarakan bersama dengan Komisi VIII DPR yang membidangi Sektor Sosial ( Kemensos), tempat basis data terpadu Kessos berada.  

Karena Menkes sudah menyerah, BPJS Kesehatan masih bertahan, Menko PMK dan Menkeu tetap berpegang dengan Perpres 75/2019, DPR Komisi IX terus menekan dan menyerang bahkan sudah melibatkan Kepolisian dan Kejaksaan Agung serta BPK, sudah saatnya Presiden Jokowi harus turun tangan. 

Lakukan _informal meeting_ dengan Pimpinan DPR di tempat yang tenang di Istana Bogor. Mudah-mudahan ada solusi yang bijak, rasional, dan mengedepankan  keberlanjutan Jaminan Sosial sebagaimana diamanatkan dalam Konstitusi Republik Indonesia, UU SJSN dan UU BPJS.

Cibubur, 1 Februari 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun