Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dari Raker ke FGD, Ada Apa dengan DPR?

1 Februari 2020   00:47 Diperbarui: 1 Februari 2020   00:53 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Dirut BPJS Kesehatan cepat membaca peta situasi. Beliau tidak membantah, jika akan ditetapkan dengan Peraturan BPJS sebagai suatu diskresi,  sebelum diterbitkan akan melaporkan dulu kepada atasan langsung yaitu Presiden Jokowi. Katup pengaman yang tepat, karena tidak mau memegang bola panas di tangan sendiri.

Pimpinan Rapat memutuskan agar dalam dua hari Kejaksaan, Kepolisian dan BPK memberikan masukan tertulis pada Dirut BPJS Kesehatan, dan selanjutnya akan dibuat Perban (Peraturan Badan) BPJS Kesehatan setelah mendapatkan persetujuan Presiden.

Dugaan saya, Presiden Jokowi tidak akan langsung menyetujui. Presiden akan minta pertimbangan Menko PMK dan Menkeu. Dan sudah dapat diramalkan kedua menteri tersebut tidak menyetujui lahirnya Perban, karena akan mendegradasi wewenang Presiden. Atau mungkin juga meyakinkan Presiden untuk tetap diberlakukan Perpres 75/2019, untuk kepastian penyelenggaraan JKN yang berkelanjutan.

Sebagai latar belakang, mari kita simak pasal yang ditakuti oleh BPJS Kesehatan, untuk tidak melakukan penundaan Perpres 75/2019, dan mengalihkan dana PBI untuk mandri kelas III.

Dalam UU BPJS Nomor 24 Tahun 2011, pada Bagian Ketiga Aset Dana Jaminan Sosial Pasal 43  ayat (1) Aset Dana Jaminan Sosial bersumber dari:a.Iuran Jaminan Sosial termasuk Bantuan Iuran;b.hasil pengembangan Dana Jaminan Sosial;c.hasil pengalihan aset  program  jaminan sosial yang menjadi hak Peserta dari Badan Usaha Milik Negara yang  menyelenggarakan  program jaminan sosial; dan d.sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Ayat (2) Aset Dana Jaminan Sosial digunakan untuk: a.pembayaran Manfaat atau pembiayaan layanan Jaminan Sosial; b.dana   operasional   penyelenggaraan   program Jaminan Sosial; dan c.investasi   dalam   instrumen   investasi   sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Ayat (2) tersebut jelas limitatif, hanya digunakan untuk 3 hal saja yaitu pembiayaan layanan jaminan sosial bagi peserta JKN, dan pembayaran manfaat untuk peserta BP Jamsostek.  Dalam hal pembiayaan pelayanan jaminan sosial tidak ada segmentasi jenis peserta, sebagaimana prinsip SJSN non diskriminatif. Yang kedua untuk dana operasional penyelenggaraan, dan ketiga investasi. Khusus investasi lebih diutamakan pada BP Jamsostek,  karena mengutamakan solvabilitas, sedangkan BPJS Kesehatan mengutamakan liquiditas karena untuk membayar pelayanan di faskes.

Jika kita cermati hasil FGD tersebut,  lebih bersifat basa basi politik, sebab jelas yang dibicarakan yang melanggar UU. UU tidak bisa dianulir dengan diskresi, atau juga dengan Perpres, UU hanya bisa "dianulir" Presiden dengan menerbitkan Perppu. Dengan syarat adanya keadaan yang mendesak dan genting.  Disamping itu sejauh mana keputusan FGD mengikat, sedangkan keputusan Raker lintas Komisi tidak dapat dilaksanakan.

Pertanyaan mendasarnya apakah yang diperjuangkan benar benar kepentingan rakyat miskin atau ada kepentingan politik DPR. Dari sisi Pemerintah sebenarnya sudah jelas kebijakannya, yaitu mereka yang terdata fakir miskin dan tidak mampu iurannya dibayarkan oleh Pemerintah (Pusat dan Daerah), jumlahnya sangat besar 133 juta peserta, sekitar 60% dari total peserta.

Kalau DPR benar-benar membela kepentingan rakyat, yang perlu dilakukan adalah mensupervisi   kementerian terkait yang menangani pendataan  orang miskin apakah datanya sudah akurat, tidak ada _inclusion error_, dan _exclusion error_.  

Jika data sudah akurat, maka persoalan peserta mandiri kelas III yang dikatakan para anggota DPR  diduga orang miskin, dapat otomatis masuk PBI,  demikian juga sebaliknya, bagi yang mampu tetapi ngumpet masuk ke dalam PBI, harus ditarik dan dikeluarkan, silahkan menjadi peserta mandiri sesuai dengan kemampuannya, apakah di kelas III,II dan I. Itu namanya  menyelesaikan masalah pada akar masalahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun