Secara resmi, UU ini dikenal sebagai Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 (atau UU 7/2017). Undang-undang ini disahkan pada tanggal 20 Juli 2017 setelah sembilan bulan perdebatan di Dewan Perwakilan Rakyat. Jumlah anggota KPU tidak berubah tetap 7 orang demikian juga anggota Bawaslu.
Dalam rangka mewujudkan KPU dan Bawaslu yang memiliki integritas dan kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, maka diperlukan adanya Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Agar Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum, dibentuk Dewan Kehormatan KPU, KPU Provinsi, dan Bawaslu.
Jadi sistem kontrol terhadap penyelenggaraan Pemilu sudah sangat berlapis. Ada Bawaslu yang mengawasi penelenggaraan Pemilu dan sekalian KPU-nya.  Dan untuk kedua organ tersebut juga dikawal oleh Dewan Kehormatan KPU.  Dengan masing-masing  tupoksi yang jelas dan terukur.
Dari perjalanan  panjang KPU dan Bawaslu selama masa reformasi,  ternyata gagal menampilkan Komisioner KPU yang memiliki integritas dan kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu. Ada kesan KPU tidak berdaya atas tekanan kepentingan politik partai maupun kekuasaan, yang  akhirnya terperangkap dengan kasus hukum terkait korupsi dan penyuapan.  Atau juga memang ada komisioner KPU  yang memanfaatkan wewenang yang mutlak tersebut, untuk menyalurkan hawa nafsu untuk menjadi kaya raya dengan jalan pintas.
Jumlah enam orang Komisioner KPU terjerat kasus hukum, bukanlah jumlah sedikit, dan lintas periode.  Sehingga tidak dapat dihindari kecurigaan, dan apatisme mayarakat atas semua produk keputusan KPU, yang mencakup penetapan Penyelenggara Negara yang benar-benar melalui  proses pemilihan yang bersih, jujur, transparan, dan tidak ada kongkalikong di belakang pentas kehidupan masyarakat.
Kalimat "siap mainkan" Â yang diucapkan Wahyu Setiawan, terhadap upaya suap untuk menggolkan anggota DPR PAW tersebut, Â merupakan kalimat yang menggambarkan sudah begitu parahnya integritas Komisioner KPU tersebut.
Apakah dia bekerja sendiri, atau berjamaah bersama Komisioner lainnya, tentu akan terungkap di pengadilan. Karena logikanya sebagai tim yang bekerja kolektif kolegial, tidak mungkin satu orang Komisioner KPU dapat menggolkan keinginan salah satu partai politik jika tidak didukung oleh beberapa Komisioner KPU lainnya. Hal ini perlu didalami lebih lanjut oleh Penyidik KPK.
Saat ini kita tidak lagi dapat menilai, apakah kondisi psikologis para politisi dan elite kekuasaan saat ini masih berjalan normal. Kenapa?. Karena sering berbeda apa yang diucapkan dengan apa yang sedang dihadapi.
Kita baca koran Tempo hari ini (10/01/2020) , pada halaman depan, "Terpojok Suap KPU" Â dua orang dekat Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristyanto dicokok penyidik karena diduga menyuap anggota Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan. Penyuapan dilakukan demi meloloskan pergantian antarwaktu anggota DPR dari partai itu. Mengapa Hasto "bersembunyi" di sekolah kepolisian.
Dan dari berita media lainnya, ada pengakuan Saiful Bahri staf Sekjen PDIP, Â yang telah menjadi tersangka akui sumber duit suap untuk Komisioner KPU berasal dari Hasto.
Di koran Tempo tersebut pada halaman 2 berita utama, Hasto membantah terlibat kasus dugaan korupsi ini dan menyatakan tidak mengetahui ada stafnya yang ditangkap KPK "saya tidak, tahu, karena sakit diare tadi". Â Tetapi mengapa Hasto "sembunyi" di sekolah kepolisian?.