Bahkan menurut hemat saya tidak perlu lagi membuat instrumen hukum baru berupa Inpres sanksi untuk tidak mendapatkan pelayanan publik, karena akan menimbulkan implikasi keresahan dan kegelisahan di masyarakat.
BPJS Kesehatan perlu melakukan pemetaan terhadap mereka yang menjadi peserta non aktif karena menunggak bayaran iuran JKN yang jumlahnya 12 juta peserta, dan juga ditambah pendatang baru yang dikeluarkan dari markas PBI sebanyak 5,2 juta peserta, sehingga totalnya 17,2 juta peserta non aktif.
Pemetaan dengan mengelompokkan mereka itu pada 2 cluster, yaitu cluster pertama yang memang tidak ada keinginan membayar iuran, padahal secara ekonomi mampu untuk membayar iuran JKN, dan hanya akan membayar jika sakit ( nihil nya willingness to pay).
Alasan yang sering dilontarkan adalah ada yang mengaku tidak pernah menggunakan karena tidask pernah sakit. ada yang beralasan itukan kewajiban pemerintah untuk memberikan jaminan kesehatan. Bahkan ada yang mengatakan JKN itu produk haram.
Berbagai alasan tersebut perlu dicermati oleh pihak BPJS Kesehatan, sehingga strategi kampanyenya menjawab berbagai hal yang mereka ungkapkan, dengan bahasa sederhana, singkat dan mudah dimengerti.
Cluster kedua mereka yang memang tidak ada kemampuan membayar (nihil nya ability to pay). Secara ekonomi mereka ini miskin dan tidak mampu tetapi tidak terjangkau oleh Tim Penjaring PBI Kemensos.Â
Dengan kesadaran tinggi mereka mendaftar menjadi peserta karena ada keluarganya yang memerlukan pelayanan kesehatan, tetapi seiring dengan perjalanan waktu mereka menunggak.
Kedua cluster tersebut tentu treatmentnya berbeda. Bagi cluster pertama, tim BPJS Kesehatan harus bersikap tegas dan memberikan advokasi agar memenuhi kewajibannya, dan implikasinya jika mereka menunggak bagi peserta lainnya yang sedang memerlukan pertolongan pelayanan kesehatan.
BPJS Kesehatan dengan kewenangannya juga dapat memberikan "ancaman" dibebankannya kepada mereka biaya yang lebih besar jika mengelak bayar iuran. Jika perlu "dipermalukan" dengan mengumumkan di media cetak setempat atau di papan publikasi kelurahan/desa.Â
Pola "ancaman" tersebut lebih soft dari pada sanksi untuk tidak mendapatkan pelayanan publik bagi penunggak tersebut.
Untuk cluster kedua, perlu diteliti lebih dalam lagi tingkat kedalaman kemiskinan peserta penunggak iuran JKN tersebut. Libatkan pihak Kemensos untuk memotretnya sesuai dengan kriteria Basis Data Terpadu Kemiskinan.