Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Takdir Wiranto di Ujung Pengabdian

16 Oktober 2019   00:34 Diperbarui: 16 Oktober 2019   10:07 1043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore itu, sewaktu saya menyetir mobil menuju ke suatu tempat di Depok, membuka radio El-Shinta, yang menyiarkan bahwa terkait penusukan Wiranto, dari hasil survey URL ( Medsos), diketemukan bahwa 40% menyatakan prihatin atas penusukan tersebut, 30% berkomentar nyinyir, penuh kebencian, dan 30% bersikap netral.

Saya termenung dan bercampur kaget, walaupun saya harus berbagi konsentrasi dengan menyetir mobil, karena ada 30% ujaran yang bernada nyinyir, dan tentu dengan nuansa negatif terhadap Wiranto. Angka ini sangat tinggi, terutama untuk pejabat negara, seorang Menteri senior, Jenderal purnawirawan, mantan Panglima ABRI, dan pernah menjadi ajudan Presiden Soeharto.

Sepengetahuan saya, baru kali ini seorang Menteri di tusuk pisau oleh orang tidak dikenal. Tentunya berjarak dekat, yang mengindikasikan bahwa pengawalan terhadap Wiranto longgar.

Longgarnya pengawalan tersebut, karena Wiranto menyesuaikan dengan gaya Presiden Jokowi yang suka blusukan, juga dengan pengawalan sangat longgar, apalagi bagi ukuran seorang Presiden.

Saya dapat membayangkan betapa stress para Paspampres menghadapi masyarakat yang berjubel untuk ingin bersalaman dengan Presiden, bahkan berebutan untuk mendapatkan sesuatu apakah berupa kaos, topi yang dilemparkan Presiden kepada mereka yang mengerumuninya.

Dengan kejadian tersebut, Presiden Jokowi sudah mengeluarkan instruksi kepada aparat keamanan memperketat keamanan pejabat negara sesuai dengan SOP yang sudah baku. Artinya Presiden Jokowi juga sudah berpikir dua kali kalau melakukan blusukan dengan pengawalan yang longgar. Akibatnya, upaya Presiden untuk lebih dekat dengan rakyatnya, sudah makin sulit dan tidak memungkinkan, jika tidak terjaminnya tingkat security lapangan.

Siapapun orangnya, apakah spontan perorangan karena kebencian kepada Wiranto, atau komplotan dan konspirasi tertentu, yang pasti mereka itu sudah berhasil, menimbulkan terguncangnya suasana psikologis masyarakat.

Bahkan para intelektual, pengamat di media mainstream mengulas kejadian penusukan Wiranto dengan berbagai opini, sebagai respon sintesa polisi atas kejadian penusukan Wiranto hari Kamis, tanggal 10 Oktober 2019 di Pandeglang Banten.

Kita memperhatikan di layar televisi, dialog dengan beberapa orang yang diundang TV untuk memberikan pendapatnya tentang kejadian tersebut, dikaitkan dengan informasi dari polisi bahwa penusuk bernama SA, adalah pengikut paham radikalisme dan anggota JAD Bekasi.

Mereka yang dimintakan pendapatnya dalam dialog tersebut, seolah-olah sudah memastikan bahwa kejadian itu semua pekerjaan kelompok JAD dan mempunyai hubungan dengan ISIS.

Susah kita membedakannya apakah yang mereka omongkan suatu fakta atau opini. Intinya berkomentar, soal benar atau salah menjadi tidak penting.

Ada tokoh yang "ditabalkan" sebagai ahli pengamat teroris dan radikalisme, memberikan pendapat bagaimana jaringan radikalisme sudah menjadi bahaya laten bagi Indonesia.  Saya yang mendengar di TV menjadi takut, jangan-jangan ada teroris di tetangga saya. Hanya karena berjanggut panjang, celana komprang, menggantung diatas mata kaki, dan sering pakai sandal jepit. Persis SA yang menusuk Wiranto.

Dahsyatnya Medsos, dimana 30% diantaranya berkomentar nyinyir, dan terkesan membenci Wiranto, ramai subur di gadget para emak-emak, termasuk istri pejabat sipil maupun militer.

Kenyinyiran para istri, telah memakan korban. Seorang Kolonel (Kav) HS, Dandim Kendari dicopot dari jabatannya, dan ditahan selama 14 hari. Karena postingan  nyinyir yang ditulis istrinya tentang kejadian penusukan Wiranto. Pada hal kalau kita baca bunyinya, tidak ada menyebut nama seseorang, sehingga apakah memenuhi syarat untuk dikatakan melanggar UU ITE. Entahlah.

Sikap tegas KASAD Jenderal TNI Andika Perkasa, seorang Doktor pendidikan Amerika, dinilai banyak pihak berlebihan.  Keputusannya menerbitkan surat keputusan pemberhentian dalam jabatan dan hukuman ringan di tahan 14 hari terhadap Dandim Kendari Kolonel (Kav) HS serta mendorong untuk menuntut istrinya (IPDN)  melalui peradilan umum karena melanggar UU ITE, diluar dugaan banyak pihak, karena tidak ada unsur pembinaan sebagai langkah awal terhadap pelanggar disiplin Militer.

Sikap Jenderal Andika Perkasa tersebut, memberikan sinyal kepada masyarakat, bahwa TNI khususnya TNI AD, adalah wilayah yang steril dari hiruk pikuknya demokrasi di masyarakat. Bahkan bukan anggota militernya saja, tetapi juga para istri (teman sekasur),  harus ikut kebijakan pimpinan (itu doktrin).

Jika kebijakan dimaksud adalah persoalan internal TNI, dan bukan untuk publik, kenapa KASAD harus melakukan keterangan  pers, menguraikan hukuman yang ditimpakan kepada anak buahnya. Hal tersebut, disadari atau tidak akan merusak moral korsa prajurit, dan akan mereduksi peran pimpinan sebagai pembina terhadap anak buahnya.

Saya membayangkan gara-gara kejadian tersebut, banyak anggota tentara, sibuk memeriksa gadget   para istrinya, apakah ada WA,  SMS, instagram, yang bernada nyinyir. Dan kesibukan para istri untuk mendelete semua pesan-pesan yang serem-serem yang masuk ke gadget nya. Suatu langkah shock therapy Jenderal Andika Perkasa yang berhasil, memberikan rasa takut para bawahan dan istrinya.

Bagaimana sebaiknya masyarakat bersikap

Kita sebagai masyarakat sipil, tidak usah lah terlalu nyinyir juga menyikapi keputusan Jenderal Andika, yang mengacu pada Pasal 2, Pasal 8a dan Pasal 9 UU Nomor 25/2014 tentang Hukum Disiplin Militer. Keputusan tersebut tentu sudah melalui kajian Biro Hukumnya TNI. Biarlah para ahli hukum yang mengkajinya, sebagai bahan studi hukum yang menarik yaitu adanya tanggung jawab renteng dalam  hukum pidana.

Kenapa untuk seorang Komandan Kodim, harus KASAD yang mengumumkannya. Tingkatan komandonya ada 3 tingkat dibawahnya. Cukuplah menjadi urusan Panglima Kodam di wilayah kerja Kodim tersebut. Ini juga kita harus memakluminya karena yang dinyinyiri adalah seorang pejabat tinggi negara, Jenderal Purnawirawan Senior. Mantan Panglima ABRI,  yang tentu sangat dihormati di kalangan Militer.

Jenderal Andika, berusaha menjaga profesionalitas TNI, termasuk kemampuan untuk mengadvokasi para istri, untuk selalu menyesuaikan dan memahami posisi dan tanggungjawab seorang suami sebagai tentara  yang ketat dengan Hukum Disiplin Militer. Hukum  Disiplin Militer itu sangat penting dan sentral, sehingga harus diatur dalam bentuk Undang-Undang yaitu UU Nomor 25/2014.

Bagi Kolonel (Kav)  HS, persoalan sudah selesai. Sang Kolonel sudah menerima hukuman. Dan saat ini dalam proses penahanan 14 hari. Artinya secara Hukum Disiplin Militer sudah dilaluinya. Tidak perlulah ada label-label stigma yang merugikan dirinya maupun Korps Militer.

Para netizen maupun penggiat medsos janganlah membuat komentar, tulisan yang seolah-olah sang Kolonel adalah sang pahlawan, korban kezaliman rezim. Komentar tersebut tidak ada manfaatnya bagi siapapun, termasuk bagi sang Kolonel itu sendiri.

Demikian juga halnya, kita miris mendengar komentar Jenderal Purnawirawan yang senior, menyatakan bahwa sang Kolonel perlu diteliti, jangan-jangan sudah terbawa paham radikalisme. Pendapat seperti ini sangat tidak produktif, dan bahkan bisa mereduksi kredibilitas sang purnawirawan  tersebut.

Kalau seorang istri  tentara dapat menjadi penyebab dipecatnya sang suami dari jabatan, akibat berselancarnya di media sosial yang tidak terkontrol, maka juga ada baiknya Jenderal Andika, mengingatkan para seniornya Jenderal (Purnawirawan), yang saat ini sudah bercabang-cabang kepentingan politik, kelompok, ambisi, untuk menjaga dan turut memelihara moralitas para tentara  untuk tetap berpegang teguh pada Sapta Marga dan Sumpah Prajurit.

Caranya bagaimana?. Mudah saja, kurangi komentar yang tidak produktif, apalagi cenderung menyalahkan. Jaga wibawa dan martabat lembaga TNI. Jika  ada sesuatu masukan, sampaikan langsung kepada Panglima TNI, dan para Kepala Staf. Jangan di ruang publik. Karena di ruang publik saat ini, sudah menunggu para buzzer-buzzer yang haus akan berbagai isu yang siap digoreng, dan berpotensi menjadi hoax yang dibungkus dengan casing pemberitaan yang sudah viral.

Jika sudah jadi hoax, ada yang merasa dirugikan, baik perorangan maupun kelompok, lapor ke polisi, jika polisi lambat merespon, polisinya juga  diduga sudah berpihak, dan seterusnya. Jika cepat merespon, polisi   diduga yang dilaporkan adalah mereka yang sudah menjadi target, karena sudah sering nyinyir.

Situasi ini tentu juga tidak terlepas dari profesional polisi dalam menjalankan tugasnya, yang mengedepankan kepentingan ketertiban masyarakat, pengayom dan pelindung masyarakat.

Jika standar tugas tersebut yang dilakukan polisi, yakinlah polisi akan dicintai masyarakatnya.

Kita hanya mengingatkan kepada KASAD Jenderal TNI Andika Perkasa, yang punya tanggung jawab membina dan menjaga moral prajurit TNI AD, dalam segala cuaca, perlu menerapkan metode soft skill. Dibalik ketegasan ada kelembutan. Jika kebijakan yang dilakukan sudah menjadi SOP, laksanakan dengan konsekuen, tentu diawali dengan upaya pembinaan dengan teguran lisan atau tertulis, jangan langsung hukuman copot jabatan, masuk tahanan, sepertinya dalam suasana perang saja.

Dalam zaman modern dan milenial ini, juga akan merambah pada prajurit TNI yang umumnya muda belia. Mereka semuanya juga berselancar dengan gadgetnya. Sejauh mana para komandan lapangan dapat mengendalikan dan mengontrol berselancarnya mereka dengan medsos di gadget tidaklah mudah.

Jenderal Andika, akan kewalahan menerima pengaduan dari mulai yang benar sampai yang hoax, melaporkan istri Komandan Batalyon, Komandan Kompi, Danramil, Komandan Garnisun, Komandan Korem bahkan Panglima Kodam, berselancar dengan gadgetnya memposting hal-hal yang secara subjektif dapat dianggap bernada nyinyir.

Sebaiknya perkuat saja struktur dan kelembagaan Persit, yang Ketuanya istri KASAD, dari pusat sampai ke level Kecamatan dan satuan, agar para istri-istri tentara yang bernaung di Persit punya aktivitas yang produktif, sambil dilakukan upaya-upaya preventif atas pengaruh negatif bermain Medsos, dan dapat membedakan mana yang boleh di posting dan mana yang tidak.

Bangun partisipasi anggota Persit, untuk sepakat membuat komitmen  menopang tugas suami, dan mencegah pengaruh negatif dari lingkungan yang tidak sehat dengan menjalankan fungsi Ketahanan Keluarga. Rumuskan kode etik anggota, dan sanksi organisasi yang sejalan dengan kebijakan Pimpinan TNI.

Jangan Persit itu hadir, hanya kalau ada serah terima jabatan, kedatangan tamu-tamu penting, tumpengan, arisan, dan acara ulang tahun. Harus lebih dari itu, terutama dalam meningkatkan kapasitasnya sebagai Gate  Keeper (penjaga gawang), di rumah terhadap anak dan suaminya, dengan semangat jiwa Sapta marga dan Sumpah Prajurit.

Biarlah Jenderal Andika mempersiapkan pasukan untuk siap perang, menghadapi para pemberontak, pembunuh  dan separatis di Papua/Wamena dan wilayah Indonesia lainnya.

Dari sisi pembangunan SDM TNI, dengan karir Kolonel (Kav) HS yang sudah panjang bahkan pernah menjadi Atase Pertahanan di Moskow, tentu sudah mengeluarkan biaya yang besar. Potensi karir untuk kedepan sebagai generasi penerus para jenderal senior menjadi terhambat karena persoalan yang dapat diselesaikan oleh Pengurus Persit.

Belum lagi dampak politik, dimana para penggiat HAM,  menuding Pimpinan TNI melanggar HAM, dan ada 52 pengacara yang siap membela istri Kolonel (Kav) HS , jika diadili di pengadilan umum karena tudingan melanggar UU ITE. Habis energy terbuang. Pada saat yang sama Wiranto terbaring lemas di RSPAD, dalam perawatan  untuk penyembuhan.

Beberapa hari lagi beliau akan mengakhiri tugasnya sebagai pejabat negara, dan akan menjadi Lansia yang akan terus merenungkan takdir  perjalanan hidupnya yang cemerlang sampai kemudian tersungkur kena tusukan orang yang tidak dikenal. Suatu akhir karir yang tidak diinginkan oleh siapapun.

Kita berharap Wiranto di masa tuanya dan kembali dalam kehidupan sipil tidak dihantui oleh perasaan was-was atas ancaman oleh mereka yang pernah menjadi korban kebijakannya.

Doa kita semoga Wiranto cepat sembuh dan pulih kembali seperti semula.

Cibubur, 15 Oktober 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun