Persoalan defisit DJS (Dana jaminan Sosial) JKN, bukan persoalan yang muncul begitu saja secara tiba-tiba, sehingga semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat heboh tidak karuan. Kepanikan yang di-trigger oleh Menkeu Sri Mulyani Indrawati (SMI).
Ibarat wabah penyakit menular yang akan menjangkit kepada semua penduduk.
Saya termangu-mangu menyimak berbagai komentar, kepanikan, kemarahan kelompok masyarakat, mahasiswa, dan buruh atas rencana kenaikan iuran BPJS kesehatan melompat dua kali lipat untuk kelas I dan II. Serta hampir dua kali lipat untuk kelas III.
Di satu sisi bagaikan pahlawan pejabat Pemerintah khususnya Menkeu dan KSP Moeldoko bicara berapi-api untuk menaikkan iuran BPJS. Secara terbuka disampaikan oleh SMI di Rapat Kerja Gabungan Komisi IX dan Komisi XI DPR dengan Pemerintah beberapa hari yang lalu untuk menaikkan iuran DJS JKN 100%.
Pemerintah seolah-olah berhadapan dengan peserta BPJS Kesehatan, bahkan bagi mereka segmen PPU yang pekerjanya tidak terdampak dengan kenaikan iuran tersebut.
Karena hanya mengiur 1% dari upah, bahkan dibatasi dengan plafon gaji tertinggi 12 juta dari semula Rp 8 juta, tidak signifikan pengaruhnya. Tetapi para buruh dengan gencar turut menolak.Â
Sebab dilandasi keberpihakan buruh terhadap masyarakat, lingkungannya, bahkan juga potensi terjadi semakin menurunnya mutu pelayanan kesehatan JKN, karena kenaikan iuran yang ekstrem tersebut menyebabkan meningkatnya peserta yang gagal bayar iuran.Â
Bahkan menurunkan status kepesertaannya yang semula membayar rawat inap Kelas I dan II, bermigrasi ke Kelas III. Bagi yang mampu, jika ingin berobat rawat inap ke RS, minta pindah ke kelas VIP, hanya membayarkan selisih biaya.
Blunder Menkeu
Saya tidak mengetahui persis dasar perhitungan SMI atas kenaikan iuran sebesar 100% tersebut yang langsung disampaikan pada forum Raker dengan DPR, yang menggemparkan dunia persilatan " defisit" DJS JKN.Â
Bola liar awalnya dilemparkan oleh DJSN yang dalam forum yang sama mengajukan skema kenaikan iuran yang setengah ekstrem, yaitu untuk PBI dari Rp 23.000 menjadi Rp 42.000/POPB, (Klas III), naik 82%, peserta mandiri (Non PBI), kelas III dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 /POPB (naik 64%), kelas II dari Rp 51.000/POPB menjadi Rp 75.000/POPB (naik 47%), dan kelas I dari Rp 80.000/POPB, menjadi Rp 120.000/POPB (naik 50%).
Bola panas yang dilemparkan DJSN langsung disambar Menkeu bahkan untuk kelas II dan kelas I, dinaikkan dua kali lipat. Alasan sangat "sederhana dan logis" yaitu agar BPJS Kesehatan jangan bolak-balik lapor ke pemerintah biaya JKN defisit.