Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Defisit Dana Jaminan Sosial Program JKN, Kenaikan Iuran Suatu Keniscayaan

1 Agustus 2019   21:44 Diperbarui: 2 Agustus 2019   06:00 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas BPJS Kesehatan Kabupaten Bogor sedang melayani seorang warga yang sedang mengurus kartu BPJS Kesehatan, di kantor BPJS Kesehatan Kabupaten Bogor, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Jumat (24/11/2017).(KOMPAS.com / Ramdhan Triyadi Bempah)

Persoalan defisit DJS Program JKN yang dikelola BPJS Kesehatan, sepertinya sudah menjadi penyakit kronis yang tidak sembuh-sembuh. Sudah sempat masuk UGD diinfus dengan cairan "tembakau" (jangan dicoba pasien lain ya, berbahaya) dinyatakan sembuh walaupun masih sempoyongan keluar dari rumah sakit.

Seperti itulah kita mengumpamakan situasi BPJS Kesehatan saat ini. Ratusan juta rakyat sudah dijamin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan melalui Program JKN, tetapi BPJS Kesehatan itu sendiri sejak 2014 menderita penyakit permanen yaitu "defisit".

Sejak pertengahan tahun ini, sudah ada indikasi BPJS Kesehatan akan sempoyongan lagi, karena kambuhnya penyakit "defisit" yang semakin parah. Kondisi tersebut semakin diperburuk dengan adanya temuan BPKP yang poin pentingnya mengakui dengan "ikhlas" dan menyakinkan bahwa pada tahun 2018 ada tunggakan BPJS Kesehatan kepada RS mitra BPJS Kesehatan sebesar Rp. 9,1 Triliun. Dan defisit itu menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menyelesaikannya, karena begitulah bunyi perintah UU SJSN dan UU BPJS. Apa berani pemerintah melanggar UU?

Dari temuan BPKP ada yang segera bisa dieksekusi oleh pemerintah (Kemenkes, Kemendagri, dan Kemenkeu), yaitu SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) kapitasi tahun 2018 yang telah dibayarkan oleh BPJS Kesehatan, sebesar Rp. 2,5 Triliun. Jika Pemda tidak mau membayar karena uang itu riil di tangan pemda, tentu dapat diperhitungkan dari dana APBN yang diperuntukkan ke daerah pada belanja sektor kesehatan.

Temuan BPKP yang lain, adanya RS mitra BPJS Kesehatan (FKTL) tipologi RS-nya tidak sesuai dengan situasi fisik RS yang disyaratkan (misalnya mutu pelayanan, sarana, dan peralatan yang digunakan untuk perawatan Tipe C, tetapi ijin yang dikantongi RS dari Pemda Tipe B). Maka terjadi lebih bayar, sebab paket tarif Ina-CBGs tipe B lebih tinggi dari paket Ina-CBGs Tipe C. Diketemukan ada lebih dari 600 RS, dengan nilai lebih bayar sekitar lebih dari Rp. 800 miliar.

Pihak Kemendagri dan Kemenkes dapat perintahkan agar pemda memerintahkan RS yang bersangkutan membayar TGR temuan BPKP tersebut. Jika uangnya sudah tidak ada, dapat dikurangi dari tagihan klaim RS ke BPJS kesehatan yang belum dibayarkan. Selesai. Dan akan memberikan efek jera bagi RS di masa mendatang.

Demikian juga dalam pengajuan klaim RS, BPKP menemukan terjadinya fraud (up coding dll), yang melibatkan pihak petugas BPJS Kesehatan dan petugas RS, walaupun jumlahnya tidak besar dibandingkan total klaim yang dibayarkan. Pihak BPJS Kesehatan juga dapat memperhitungkannya dari pengajuan klaim yang belum dibayarkan. 

Karyawan BPJS kesehatan yang terbukti terlibat (verifikator dan yang lainnya), langsung saja diberhentikan dengan tidak hormat sebagai efek jera. Dan pihak BPJS Kesehatan mempublikasikannya sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap publik. Ingat BPJS Kesehatan adalah badan hukum publik, dan ownernya adalah peserta (publik).

Demikian juga dengan temuan-temuan data kepesertaan (double NIK), tidak lengkap dan lainnya, bukanlah menjadi tanggung jawab BPJS Kesehatan saja, tetapi juga stakeholder terkait (Kemenkes, Kemensos, Kemendagri), untuk secara terpadu menyelesaikannya. Jangan soal data ini semua telunjuk kementerian mengarahkannya ke BPJS Kesehatan. Kasihan sebab mereka ini juga adalah korban dari data yang "amburadul".

Persoalan berikutnya dari 9 bauran kebijakan yang sudah saya tulis dalam artikel yang lain, (baca):

Berapa besar dapat mereduksi defisit DJS JKN? Apakah jumlahnya dapat menutup seluruh defisit, sebagian besar, atau sebagian kecil?

Bagaimana dengan peserta PBPU yang kepatuhan membayar iuran hanya sekitar 55%? Itu memang tanggung jawab BPJS Kesehatan untuk menyelesaikan. Tetapi tidak mudah dan tidak bisa instan. Harus ada konsolidasi data dengan melakukan verifikasi dan validasi terhadap peserta yang menunggak tersebut.

Ada beberapa kemungkinan karakter peserta PBPU. Boleh jadi mereka itu masuk katagori miskin dan tidak mampu yang harusnya dapat PBI, tetapi terlempar dari PBI (exclusion errors), sedangkan mereka membutuhkan BPJS Kesehatan untuk berobat ke RS. Setelah sembuh, menunggak pembayaran iuran karena memang tidak mampu. Jika seperti ini kasusnya, tentu harus didaftarkan sebagai peserta PBI.

Sebaliknya ada peserta mampu, tetapi menyusup masuk PBI, (termasuk PBI yang dibiayai Pemda), disebut inclusion errors. Peserta ini harus dikeluarkan, dan dipindahkan menjadi peserta mandiri.

Kondisi lainnya, untuk PBPU yang menunggak ini karena memang mentalnya yang sudah rusak. Kemauan untuk membayar (willingness to pay) lemah, padahal punya kemampuan membayar iuran (ability to pay). Peserta seperti inilah yang harus diburu terus oleh BPJS Kesehatan, dengan menggunakan regulasi PP 86 tahun 2013, bekerjasama dengan Kejaksaan.

Kenaikan Iuran Suatu Keniscayaan
Setelah 9 bauran kebijakan mengatasi defisit DJS JKN, dilaksanakan dengan maksimal dan hitungan-hitungan potensi dana yang didapat sudah dilakukan, apakah dapat menutup defisit? Jawabannya jelas tidak. Sri Mulyani secara implisit mengakui hal tersebut, dengan mengatakan dicoba dulu upaya maksimal melaksanakan 9 bauran kebijakan. Hasilnya akan saya lihat, baru kemudian kita mengatasi defisitnya.

Menurut informasi Jumat ini (2 Agustus 2019), Ibu Menko PMK akan mengajak para Menteri terkait dan Dirut BPJS Kesehatan menindaklanjuti hasil rapat dengan Presiden hari Senin 29 Juli 2019, yang intinya tentu menemukan formulasi yang pas untuk mengatasi defisit, termasuk skema menaikkan iuran.

Sebaiknya, rapat Jumat mendatang ini, para Menteri dan Dirut BPJS Kesehatan sudah pada persepsi yang sama dalam menyarankan solusi kepada Presiden. Jika opsinya misalnya Presiden meminta jaminan kepada Menteri terkait dan Dirut BPJS Kesehatan "apakah dengan kenaikan iuran DJS JKN, tidak akan terjadi defisit?".

Para Menteri dan Dirut BPJS Kesehatan harus berani pasang badan untuk menjamin "tidak terjadinya defisit". Dengan catatan besarnya kenaikan sesuai dengan hitungan aktuaria. Sebab memang persoalan defisit itu utamanya adalah kecilnya iuran, khususnya PBI dan perawatan kelas 3. Buktinya apa. Kita lihat saja sejak tahun pertama beroperasinya BPJS Kesehatan sudah defisit. Besar pasak dari tiang kata orang tua kita dulu.

Jika permintaan jaminan dimaksud ditujukan kepada Dirut BPJS Kesehatan, disarankan Pak Fachmi Idris dengan Bismillah, "harus berani pasang badan dan ambil risiko". Tetapi dengan syarat juga, harus didukung para menteri terkait (Menkes, Mendagri, dan Menkeu).

Mudah-mudahan Pak Jokowi yakin dan tidak ragu menaikkan iuran pada rapat berikutnya, yang kita harapkan tidak terlalu lama waktunya. Walaupun bisa saja ada pihak-pihak yang mengkritik kebijakan Presiden. Bapak Presiden harus jalan terus, demi kepentingan rakyat Indonesia untuk menuju Indonesia Sehat.

Cibubur, 1 Agustus 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun