Bagaimana dengan peserta PBPU yang kepatuhan membayar iuran hanya sekitar 55%? Itu memang tanggung jawab BPJS Kesehatan untuk menyelesaikan. Tetapi tidak mudah dan tidak bisa instan. Harus ada konsolidasi data dengan melakukan verifikasi dan validasi terhadap peserta yang menunggak tersebut.
Ada beberapa kemungkinan karakter peserta PBPU. Boleh jadi mereka itu masuk katagori miskin dan tidak mampu yang harusnya dapat PBI, tetapi terlempar dari PBI (exclusion errors), sedangkan mereka membutuhkan BPJS Kesehatan untuk berobat ke RS. Setelah sembuh, menunggak pembayaran iuran karena memang tidak mampu. Jika seperti ini kasusnya, tentu harus didaftarkan sebagai peserta PBI.
Sebaliknya ada peserta mampu, tetapi menyusup masuk PBI, (termasuk PBI yang dibiayai Pemda), disebut inclusion errors. Peserta ini harus dikeluarkan, dan dipindahkan menjadi peserta mandiri.
Kondisi lainnya, untuk PBPU yang menunggak ini karena memang mentalnya yang sudah rusak. Kemauan untuk membayar (willingness to pay) lemah, padahal punya kemampuan membayar iuran (ability to pay). Peserta seperti inilah yang harus diburu terus oleh BPJS Kesehatan, dengan menggunakan regulasi PP 86 tahun 2013, bekerjasama dengan Kejaksaan.
Kenaikan Iuran Suatu Keniscayaan
Setelah 9 bauran kebijakan mengatasi defisit DJS JKN, dilaksanakan dengan maksimal dan hitungan-hitungan potensi dana yang didapat sudah dilakukan, apakah dapat menutup defisit? Jawabannya jelas tidak. Sri Mulyani secara implisit mengakui hal tersebut, dengan mengatakan dicoba dulu upaya maksimal melaksanakan 9 bauran kebijakan. Hasilnya akan saya lihat, baru kemudian kita mengatasi defisitnya.
Menurut informasi Jumat ini (2 Agustus 2019), Ibu Menko PMK akan mengajak para Menteri terkait dan Dirut BPJS Kesehatan menindaklanjuti hasil rapat dengan Presiden hari Senin 29 Juli 2019, yang intinya tentu menemukan formulasi yang pas untuk mengatasi defisit, termasuk skema menaikkan iuran.
Sebaiknya, rapat Jumat mendatang ini, para Menteri dan Dirut BPJS Kesehatan sudah pada persepsi yang sama dalam menyarankan solusi kepada Presiden. Jika opsinya misalnya Presiden meminta jaminan kepada Menteri terkait dan Dirut BPJS Kesehatan "apakah dengan kenaikan iuran DJS JKN, tidak akan terjadi defisit?".
Para Menteri dan Dirut BPJS Kesehatan harus berani pasang badan untuk menjamin "tidak terjadinya defisit". Dengan catatan besarnya kenaikan sesuai dengan hitungan aktuaria. Sebab memang persoalan defisit itu utamanya adalah kecilnya iuran, khususnya PBI dan perawatan kelas 3. Buktinya apa. Kita lihat saja sejak tahun pertama beroperasinya BPJS Kesehatan sudah defisit. Besar pasak dari tiang kata orang tua kita dulu.
Jika permintaan jaminan dimaksud ditujukan kepada Dirut BPJS Kesehatan, disarankan Pak Fachmi Idris dengan Bismillah, "harus berani pasang badan dan ambil risiko". Tetapi dengan syarat juga, harus didukung para menteri terkait (Menkes, Mendagri, dan Menkeu).
Mudah-mudahan Pak Jokowi yakin dan tidak ragu menaikkan iuran pada rapat berikutnya, yang kita harapkan tidak terlalu lama waktunya. Walaupun bisa saja ada pihak-pihak yang mengkritik kebijakan Presiden. Bapak Presiden harus jalan terus, demi kepentingan rakyat Indonesia untuk menuju Indonesia Sehat.
Cibubur, 1 Agustus 2019