Presiden melalui Menteri Keuangan mengamanatkan BPKP untuk melakukan audit sesuai dengan Surat Menteri Keuangan Nomor S-966/MK.02/2018 tanggal 10 Desember 2018 tentang Permohonan Audit Dengan Tujuan Tertentu atas Aset Dana Jaminan Sosial Kesehatan (DJS Kesehatan) tahun 2018.
Dengan dasar Surat Menkeu tersebut, BPKP bergerak cepat melakukan audit khusus di hampir seluruh wilayah provinsi, dengan mendatangi FKTP, dan FKTL, Kantor-Kantor  BPJS Kesehatan, dan Dinas Kesehatan provinsi dan kabupaten/kota. Menerjunkan 1.800 auditor dan berlangsung selama 3 bulan.
Dari sekian banyak temuan, yang ujungnya adalah ditemukannya nilai defisit DJS yang dikelola BPJS Kesehatan sebesar Rp. 9,1 triliun untuk tahun 2018, yang harus dan menjadi beban pemerintah pada tahun 2019 ini.
Salah satu temuan yang menarik, adalah terkait dengan adanya masalah pada database peserta BPJS Kesehatan. Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau BPKP, Ardan Adiperdana mengatakan pada proses perekaman atau database peserta BPJS Kesehatan, ada 27,4 juta data yang perlu ditingkatkan atau diperbaiki.
Apa maksudnya dengan perlunya diperbaiki data 27,4 juta peserta yang bermasalah. Ardan menjelaskan  "Dalam artian ada 17,17 juta NIK-nya itu tidak lengkap, kemudian 0,4 juta NIK berisi campuran alfanumerik," saat menyampaikan hasil audit itu dalam rapat bersama Dewan Perwakilan Rakyat Komisi IX di kompleks DPR, Jakarta, Senin, 27 Mei 2019.
Selain itu, Ardan juga mengatakan ada 10 juta lebih NIK ganda. Artinya, satu NIK digunakan oleh beberapa orang. Kemudian, ada juga fasilitas kesehatannya masih belum terisi atau null. Tak hanya itu, ada juga 0,13 juta nama tidak berisi special character.
Apa rekomendasi BPKP terkait temuan tersebut. Antara lain menyarankan dalam kepesertaan dan penerima iuran menyarankan untuk mempercepat proses data kepesertaan bermasalah dan pemutakhiran data kepesertaan. Selain itu perlu mengefektifkan upaya ekstensifikasi dan intensifikasi kepesertaan dan kolektibilitas iuran pada segmen badan usaha dan peserta bukan penerima upah.
Bertitik tolak dari temuan dan rekomendasi BPKP tersebut,  jelas memberikan pekerjaan rumah yang berat bagi BPJS Kesehatan. Karena  ada kewajiban Undang-Undang yang harus dilaksanakan sesuai Pasal 10 dan Pasal 13 UU tentang BPJS.  Pasal 10  menyebutkan dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, BPJS bertugas untuk: a. melakukan dan/atau menerima pendaftaran Peserta; b. Dst.
Pada Pasal 13, tentang kewajiban disebutkan;Â Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, BPJS berkewajiban untuk: a. memberikan nomor identitas tunggal kepada Peserta; b. dst..
Pada awal tahun 2013, dalam rangka  persiapan peluncuran BPJS 1 Januari 2014,  DJSN sudah menyadari persoalan nomor identitas tunggal bukan persoalan gampang. Karena mencakup  seluruh penduduk dan kaitannya dengan tugas pemerintah dalam registrasi penduduk,
Maka sesuai dengan tugas DJSN melakukan sinkronisasi kebijakan terkait dengan penyelenggaraan jaminan sosial, dalam sidang Plenonya memutuskan, agar BPJS (Kesehatan dan Ketenagakerjaan), bekerjasama dan berkoordinasi dengan Kemendagri ( Ditjen Dukcapil), untuk memadukan kewajiban pemberian nomor registrasi peserta BPJS dengan program e-KTP yang sedang dilakukan waktu itu. Prinsipnya memadukan NIK yang dikeluarkan oleh Ditjen Dukcapil, sebagai nomor kepesertaan BPJS.
Tetapi  bukan berarti kewajiban BPJS untuk memberikan nomor register tunggal menjadi hilang. Waktu itu DJSN mengingatkan pihak BPJS agar jangan mengabaikan atau tidak melayani bagi penduduk yang tidak memiliki NIK (e-KTP).
Untuk mendukung tugas  kedua BPJS, sesuai dengan amanat UU BPJS, Negara memberikan penyertaan dana untuk kepentingan BPJS, sebesar Rp. 2 triliun. Dalam pelaksanaannya, Kementerian Keuangan memberikan Rp. 1 triliun untuk kedua BPJS ( masing-masing Rp. 500 miliar). Pemerintah mendorong penggunaan dana tersebut untuk pengembangan IT. Kita tidak tahu persis saat ini apakah digunakan sesuai dengan harapan pemerintah.
Kembali soal 27,4 juta peserta yang masih perlu diperbaiki, dengan makna ada diantaranya 17,7 juta  NIK nya tidak lengkap, dan sekitar 10 juta peserta NIK ganda. Secara aturan hukum, merupakan tanggungjawab mutlak BPJS Kesehatan untuk menyelesaikannya sesuai dengan rekomendasi BPKP.
Disamping itu. Perlu juga di tracing, apakah dari data NIK ganda tersebut, ada irisannya dengan data NIK bagi peserta PBI yang bersumber dari APBN maupun peserta PBI yang dibiayai oleh APBD.
Terkait data PBI, regulasi melalui PP 101/2012 tentang PBI, menyatakan bahwa data kepesertaan PBI merupakan tanggungjawab Kementerian Sosial untuk menyelesaikannya. Tidak terkecuali apakah PBI dari APBN maupun APBD.  Sebab pada prinsipnya UU SJSN menyebutkan, penyediaan  dana PBI menjadi tanggungjawab Pemerintah ( maksudnya Pemerintah Pusat).
Persoalan menjadi rumit jika NIK peserta  yang ganda tersebut ( 10 juta  peserta), termasuk didalamnya adalah peserta PBI APBN maupun APBD.  Jika hal ini terjadi, maka akan  merupakan potensi terjadinya kerugian negara ( karena bersumber APBN/APBD), dan bagi peserta non PBI yang membayar iurannya secara mandiri.
Supaya BPJS Kesehatan tidak memikul beban karena masih belum akuratnya NIK yang dikeluarkan  Ditjen Dukcapil Kemendagri,  dan berimbas pada  kerugian peserta dan negara, maka dalam sistem IT nya, BPJS Kesehatan sebaiknya melakukan program Subsitusi data register peserta BPJS Kesehatan.  Antara lain memverifikasi dan validasi data kepesertaan yang punya NIK (e-KTP), termasuk juga data NIK peserta PBI yang dikeluarkan oleh Pusdatin Kemensos.
Bagaimana dengan penduduk yang tidak punya e-KTP, termasuk juga penduduk miskin dan tidak mampu, apakah BPJS Kesehatan menolak kepesertaannya?. Jawabannya tegas dan jelas, sesuai amanat UU SJSN dan UU BPJS, Â Tidak boleh ditolak. Â Caranya bagaimana?. BPJS Kesehatan memberikan nomor register peserta sementara, sampai kemudian peserta itu punya NIK (e-KTP).
Kita berharap, jangan sempat terjadi dilapangan penduduk yang oleh UU diwajibkan menjadi peserta BPJS Kesehatan, menjadi terhalang untuk memenuhi kewajibannya dikarenakan tidak mempunyai NIK (e-KTP).
Lebih ironis lagi, jika orang miskin dan tidak mampu yang berhak dapat PBI, Â tidak mendapat KIS Â disebabkan tidak punya NIK (e-KTP). Karena yang memberikan / mengeluarkan NIK (e-KTP) adalah Pemerintah.
Cibubur, 26 Juli 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H