Indonesia ini surga bagi Industri farmasi. Betapa tidak, saat ini beredar 14.405 Â jenis obat yang terdiri dari obat merk dagang 11.962 item (termasuk branded generic), dan 2.443 item obat generik ( 17%). Sedangkan industri farmasi Nasional saat ini ada 200 ( yang produksi sekitar 100 unit industri) Â dan 4 diantaranya milik BUMN dan berproduksi penuh, disamping itu ada industri farmasi international (asing), sebanyak 39 unit industri.
Bagaimana Market Sharenya?, ternyata walaupun Industri farmasi asing sebanyak 39 unit industri, niai omzetnya adalah Rp. 17.640 miliar, sedangkan dari 200 industri farmasi nasional omzetnya Rp. 44.638 miliar. Artinya industri asing yang hanya mempunyai industri 39 unit mendapatkan market share 28,33% dibandingkan dengan industri farmasi nasional.Â
Artinya lagi obat yang diproduksi (umumnya obat Paten), harganya sangat mahal. Inilah fenomena industri farmasi di Indonesia, kita belum mampu menyediakan bahan baku sendiri, sehingga tidak bisa menyediakan obat murah untuk rakyat.
Mekanisme alur  obat dalam JKN
Kemenkes dalam rangka melaksanakan UU SJSN dan UU Kesehatan, membentuk Tim Formas yang bertugas menyusun Formularium Nasional (FORNAS), berupa dokumen yang mencantumkan daftar obat terpilih dan dijamin dalam program JKN.Â
Dari Fornas ini Kemenkes menyusun rencana kebutuhan obat (RKO) yang mencantumkan jumlah kebutuhan obat di Faskes untuk 1 tahun. Dilanjutkan dengan penyusunan harga obat dengan hitungan sendiri (HPS) dari RKO tersebut oleh Tim Harga Obat. Hasil kerja Tim Harga Obat di "lempar" ke LKPP untuk proses pengadaan dengan e-catalogue obat. LKPP melakukan lelang dan negosiasi untuk mendapatkan penyedia obat dengan harga yang disusun pihak LKPP.
Hasil lelang dengan e-catalogue disampaikan ke semua Faskes untuk belanja dan penggunaan obat untuk memenuhi kebutuhan Faskes. Kemudian apakah proses berjalan sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan, dilakukan monev oleh Kemenkes, LKPP, dan Badan POM sebagai dasar penyusunan kebijakan berikutnya.
Perlu diketahui bahwa penyusunan Fornas mengalami berkali-kali metamorfosa, fase I tahun 2013 Fornas mencantumkan 519 item obat dan 923 sediaan. Adendum I Â tahun 2013 menambah menjadi 521 item dan 930 sediaan. Adendum II tahun 2013 menambah lagi menjadi 538 item dan 961 sediaan. Â Fase II Fornas 2015 mencantumkan 562 item dan 983 sediaan, dan adendum I 2015 menambah item obat menjadi 571 dan 1018 sediaan.Â
Sampai saat ini dari 14.405 item obat yang beredar, yang masuk dalam Fornas baru 573 item (informasi terakhir tahun 2016 sudah masuk e-catalogue bertambah menjadi 927 item) dan 1018 sediaan, ditambah dengan 327 item yang masuk dalam DOEN. Bayangkan jumlah item  obat JKN yang  disediakan Fornas dibandingkan dengan jenis/item  obat yang beredar di masyarakat.
Menurut data LKPP tahun 2015 jumlah transaksi e-catalogue obat sebesar Rp. 3.307 miliar, naik tajam dibanding tahun 2014 sebesar Rp. 1.198.-miliar. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan peserta JKN untuk obat. Pada tahun 2015 total biaya pelayanan kesehatan peserta JKN yang dibelanjakan oleh BPJS Kesehatan sebesar Rp. 60 triliun. Jika sekitar  hanya 25% untuk Obat JKN (karena obat generik dan item tertentu generik berlogo)  nilainya Rp. 15 triliun.Â
LKPP mencatat transaksi melalui e-catalogue hanya Rp. 3,3 triliun, berarti ada potensi "loss" Rp. 11,7 triliun. Ada dua kemungkinan "loss" tersebut, yaitu Faskes belanja obat tidak melalui e-catalogue dan diterima BPJS Kesehatan,  dan kemungkinan lainnya  belanja obat dibebankan kepada peserta JKN (OOP=Out Of Pocket), sedangkan biaya obat sudah dihitung dalam paket INA-CBGs.