Mohon tunggu...
Chaycya Oktiberto Simanjuntak
Chaycya Oktiberto Simanjuntak Mohon Tunggu... Jurnalis - Suka menulis dan traveling

a writer and traveler.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok dan Fenomenanya di Indonesia

9 Mei 2017   19:22 Diperbarui: 9 Mei 2017   20:01 1349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

WARGA terbagi tiga kubu di Indonesia sejak Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden 2014 lalu. Warga yang seyogianya satu, yakni Warga Negara Indonesia (WNI) terpecah menjadi tiga kelompok. Yang satu kelompok yang menyatakan diri sebagai Jokower (pendukung Jokowi), dan satu pendukung Prabowo. Satunya lagi? kelompok netralis mengarah ke apatis, tapi ini sekelompok kecil.

Kemajuan teknologi informasi membuat kita saling terhubung secara global lewat jaringan sosial media. Tinggal buat akun, pasang poto profil, maka terkoneksilah kita kepada sesiapa pun mahluk manusia di muka bumi ini. Lantas apa hubungannya dengan Pemilu 2014 lalu? Ada. Karena sosial media itu menjadi rumah saling diskusi, saling serang, saling memaki, saling perang kata-kata antara masing-masing pendukung, dengan penonton kelompok netralis yang apatis tadi.

Edan memang pengaruh pesta demokrasi sebagai bagian dari kedewasaan berpolitik ini. Dampaknya, orang di ujung sana, bisa secara bebas menjudge tokoh atau orang yang berseberangan dengannya, seolah dia paling tahu karakteristik dan sifat si orang tersebut daripada keluarga satu rumahnya. Segala informasi yang dibagikan di sosial media ditelan bulat-bulat, tak perduli itu hoax atau tidak. Soal benar atau tidak, nanti dulu, yang penting itu bisa jadi bahan untuk menyerang. Tak ada sortir, dan bablas.

Ujungnya? Yang tadinya bersahabat bisa jadi musuhan, yang tadinya bersaudara, bisa putus ikatan, dan yang tadinya berpacaran dan sudah mau tunangan, akhirnya putus hubungan. Hanya karena ketidaksamaan dukungan.

Parahnya lagi, kampanye massive itu akhirnya membawa-bawa 'sesuatu hal yang tak harusnya pantas',  SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Yang satu teriak kafir, yang satu teriak PKI, yang satu teriak kecebong, Ah sedih!!! dimana logika berkampanye sehat melakukan pembiaran terhadap pendukung seperti itu.

Selesai pemilihan, bukannya makin mereda. Kembali ada fenomena baru, masih dari tema yang sama, pesta demokrasi, yakni Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Sebenarnya pelaksanaannya hampir serentak di seluruh Indonesia, tapi yang satu ini, yakni Pilkada Jakarta, sejak jauh hari sudah menjadi perhatian yang seksi dari berbagai kalangan. Bahkan, akibat informasi dari jaringan sosial media, euforia pelaksanaannya pun turut dirasakan berbagai sudut dan kelompok masyarakat di negeri ini.

Pilkada sih sebenarnya biasa saja, tapi calonnya yang luar biasa menguras perhatian. Ada tiga calon kala itu, yakni Agus Harimurti Yudhoyono-Silviana Murni, Basuki 'Ahok' Tjahaya Purnama-Djarot Saiful Hidayat, dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.  Pilkada putaran pertama, pasangan Agus-Silvi koid, dan dua pasangan calon lainnya maju ke putaran kedua.
Namun, saat proses pelaksanaan Pilkada ini, sangat banyak sekali isu-isu yang digoreng menjadi berita, sehingga membentuk opini masyarakat.

Masing-masing isu menjatuhkan pribadi para calon. Salah satu yang paling populer adalah kasus penistaan Agama yang dilakukan Ahok, dan menjadi fenomena di Indonesia untuk jangka waktu yang lama. Adalah Buni Yani yang pertama sekali mengunggah video yang menjadi sumber tuduhan Ahok melakukan penistaan agama dengan mengutip salah satu nats dari Alquran, yakni Surat Al Maidah ayat 51 saat kunjungannya ke Pulau Seribu.

Hanya karena satu potongan kata, ia dituduh dan diseret ke pengadilan, tak hanya itu dilarang bepergian ke luar negeri. Padahal saat itu status Ahok adalah sebagai Gubernur DKI Jakarta yang menggantikan Joko 'Jokowi' Widodo yang kini menjadi presiden kita. Ahok menjadi incumbent dalam Pilkada DKI 2017 ini. Isu ini digoreng, beberapa kelompok radikal di negeri ini berusaha meng-cut-nya lewat berbagai aksi, mulai dari aksi 411, 212, dan yang terbaru angka Levi's 505. Mereka menuntut Ahok dimakzulkan. Berbagai teriakan lantang kafir, kafir dilarang memimpin, hingga teriakan-teriakan SARA yang mendiskreditkan menjadi tontonan sehar-hari di berbagai media layar kaca maupun cetak.

Sebagai awam, sedih dan miris banget menyaksikan itu semua. Bagaimana bisa praktik berdemokrasi dengan kebebasan berpendapat menjadi kebablasan di negeri ini? Pernyataan-pernyataan yang diorasikan sangat un-educated dan berpotensi memecah belah kerukunan berbangsa dan bernegara. Bagaimana bisa puluhan atau ratusan ribu itu bergerak hanya karena satu orang?  Katanya negara diminta jangan intervensi, kaum radikal dibiarkan bebas turun ke jalanan meski pun teriakan-teriakan yang dilantangkan sangat menekan kaum minoritas. Hingga akhirnya? fenomena kembali terjadi. Intervensi hasutan melalui aksi 'berbuah manis' di pengadilan.  Sidang putusan dengan agenda Putusan Kasus Penistaan Agama dengan Terdakwa atas nama Basuki 'Ahok" Tjahaja Purnama kembali membuat orang-orang yang berseberangan dengannya itu tersenyum bahagia.

Betapa tidak, oleh majelis hakim, menyatakan Ahok terbukti melakukan tindak pidana dalam Pasal 156a huruf a KUHP, yakni secara sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama. Ahok pun divonis hukuman pidana penjara selama 2 tahun. Ini menjadi babak akhir Al-Maidah 51 yang sebelumnya dijadikan sebagai senjata untuk tidak memilih pemimpin non-muslim seperti yang diserukan para pengunjuk rasa buat Ahok.

Ibarat peribahasa Sudah jatuh tertimpa tangga pula, itulah yang dirasakan Ahok sebagai manusia yang normal.  Sudah dirundung berbagai cobaan, mulai dari labelisasi si Cina kafir, tak layak memimpin, hingga penista agama. Semua kesalahan ditimpakan padanya. Semua gara-gara Ahok. Tuduhan itu berbanding terbalik dengan apa yang ia perbuat guna memajukan Jakarta, ibu kota provinsi yang juga menjadi sentralisasi/ibu kota negeri ini. Ahok menjadi fenomena di Jakarta lewat aksinya yang nyata memerangi para koruptor dengan memotong jalan koruptor, menjadikannya transparan, melindunginya, dan memanfaatkan keuntungan dari perusahaan swasta yang dulunya masuk ke kantong para pejabat korup, kini dibuat terlihat lewat pembangunan berbagai fasilitas umum supaya bisa dinikmati bersama masyarakat dari berbagai golongan. Salah satu prestasinya adalah menggusur lokasi prostitusi Kalijodo menjadi Ruang Terpadu Publik Ramah Anak (RTPRA), tempat dimana berbagai kalangan mulai anak-anak hingga lansia bisa menikmati fasilitas dan menyalurkan hobi mereka.  Ada juga simpang susun Semanggi yang akan segera diresmikan. Intinya, selama Ahok menjadi gubernur, keuangan pemerintahan DKI sehat, bahkan surplus, pegawai negeri bekerja cepat dengan birokrasi terarah, dan masyarakat mendapat tempat untuk curhat langsung dengan gubernurnya di Balai Kota. Ahok telah menghilangkan sekat antara pejabat dan rakyat yang melarat perhatian. Ia merangkul mereka dengan gayanya yang apa adanya. Marah ya marah, tertawa ya tertawa, tapi yang penting cepat tanggap.

Melihat fenomena Ahok saat ini, khususnya terkat putusan hakim, saya melihat negeri ini masih tebang pilih terkait penanganan hukum yang adil. Masih melihat fakta mayoritas dan minoritas padahal masih menjadikan Dewi Themis sebagai lambang hukum bagi peradilannya. Dewi Themis itu adalah lambang Justice for All. Ya, keadilan bagi semua. Namun nyatanya? saya awam melihatnya itu mustahil di negeri ini. Semut di seberang lautan kelihatan, sementara gajah korengan yang nyata-nyata ingin merusak falsafah Bhinneka Tunggal Ika di negeri ini tak kelihatan. Lambang hanya tetap menjadi lambang saja. Tak terpakai pada praktiknya.

Kelak akan kuceritakan pada anak-anakku, negeri ini pernah mengalami kemunduran hukum, kemunduran moral dan kemanusiaan, dimana ORANG yang berjuang untuk kebaikan salah satu bagian di negeri, yang semangatnya menular ke berbagai daerah di Indonesia, dianggap menista, dan dinyatakan bersalah. Kelak akan kutuliskan juga, bahwa neraka sebenarnya, dan iblis yang nyata, pernah ada di Indonesia, berjubahkan kemunafikan. Ahok hanyalah tumbal 'politik' yang sangat jahat di negeri ini. Keringatnya dan wajah tak kenal lelahnya yang harusnya dipuji, namun hanya dihargai lewat tuduhan dan hukuman tak masuk akal. Ingatlah wahai negeri, orang yang kamu teriaki China dan kafir itu lebih Indonesia daripada kamu yang mengelu-elukan kebencian berlafaskan takbir. Tapi apa perbuatanmu terhadap Indonesia? Turut membangun atau malah jadi perusak? jadi pahlawan atau pecundang? kamu yang lebih beradab atau biadab? biarkan waktu yang membuktikan. Salam kompasiana (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun