Ibarat peribahasa Sudah jatuh tertimpa tangga pula, itulah yang dirasakan Ahok sebagai manusia yang normal. Â Sudah dirundung berbagai cobaan, mulai dari labelisasi si Cina kafir, tak layak memimpin, hingga penista agama. Semua kesalahan ditimpakan padanya. Semua gara-gara Ahok. Tuduhan itu berbanding terbalik dengan apa yang ia perbuat guna memajukan Jakarta, ibu kota provinsi yang juga menjadi sentralisasi/ibu kota negeri ini. Ahok menjadi fenomena di Jakarta lewat aksinya yang nyata memerangi para koruptor dengan memotong jalan koruptor, menjadikannya transparan, melindunginya, dan memanfaatkan keuntungan dari perusahaan swasta yang dulunya masuk ke kantong para pejabat korup, kini dibuat terlihat lewat pembangunan berbagai fasilitas umum supaya bisa dinikmati bersama masyarakat dari berbagai golongan. Salah satu prestasinya adalah menggusur lokasi prostitusi Kalijodo menjadi Ruang Terpadu Publik Ramah Anak (RTPRA), tempat dimana berbagai kalangan mulai anak-anak hingga lansia bisa menikmati fasilitas dan menyalurkan hobi mereka. Â Ada juga simpang susun Semanggi yang akan segera diresmikan. Intinya, selama Ahok menjadi gubernur, keuangan pemerintahan DKI sehat, bahkan surplus, pegawai negeri bekerja cepat dengan birokrasi terarah, dan masyarakat mendapat tempat untuk curhat langsung dengan gubernurnya di Balai Kota. Ahok telah menghilangkan sekat antara pejabat dan rakyat yang melarat perhatian. Ia merangkul mereka dengan gayanya yang apa adanya. Marah ya marah, tertawa ya tertawa, tapi yang penting cepat tanggap.
Melihat fenomena Ahok saat ini, khususnya terkat putusan hakim, saya melihat negeri ini masih tebang pilih terkait penanganan hukum yang adil. Masih melihat fakta mayoritas dan minoritas padahal masih menjadikan Dewi Themis sebagai lambang hukum bagi peradilannya. Dewi Themis itu adalah lambang Justice for All. Ya, keadilan bagi semua. Namun nyatanya? saya awam melihatnya itu mustahil di negeri ini. Semut di seberang lautan kelihatan, sementara gajah korengan yang nyata-nyata ingin merusak falsafah Bhinneka Tunggal Ika di negeri ini tak kelihatan. Lambang hanya tetap menjadi lambang saja. Tak terpakai pada praktiknya.
Kelak akan kuceritakan pada anak-anakku, negeri ini pernah mengalami kemunduran hukum, kemunduran moral dan kemanusiaan, dimana ORANG yang berjuang untuk kebaikan salah satu bagian di negeri, yang semangatnya menular ke berbagai daerah di Indonesia, dianggap menista, dan dinyatakan bersalah. Kelak akan kutuliskan juga, bahwa neraka sebenarnya, dan iblis yang nyata, pernah ada di Indonesia, berjubahkan kemunafikan. Ahok hanyalah tumbal 'politik' yang sangat jahat di negeri ini. Keringatnya dan wajah tak kenal lelahnya yang harusnya dipuji, namun hanya dihargai lewat tuduhan dan hukuman tak masuk akal. Ingatlah wahai negeri, orang yang kamu teriaki China dan kafir itu lebih Indonesia daripada kamu yang mengelu-elukan kebencian berlafaskan takbir. Tapi apa perbuatanmu terhadap Indonesia? Turut membangun atau malah jadi perusak? jadi pahlawan atau pecundang? kamu yang lebih beradab atau biadab? biarkan waktu yang membuktikan. Salam kompasiana (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H