Self-diagnosis- Belakangan ini, self-diagnosis telah banyak dibicarakan di media sosial dan menjadi tren yang cukup menarik perhatian. Adanya romantisasi gangguan kesehatan mental untuk meningkatkan jumlah perhatian dari orang lain kepada dirinya menimbulkan tren self-diagnosis yang banyak diikuti oleh para remaja karena menganggap memiliki gangguan kesehatan mental adalah sesuatu yang menarik, keren, dan mampu membuat mereka merasa berbeda dari orang lain. Hal ini terlihat dari banyaknya cuitan di salah satu media sosial yakni, twitter dimana banyak para remaja melakukan self-diagnosis seperti merasa bahwa dirinya mengidap bipolar.
Hal ini tentu sangat berbahaya, sebab meromantisasi gangguan kesehatan mental menyebabkan seseorang enggan melakukan penanganan secara profesional yang merupakan hal penting yang harus segera dilakukan ketika mengalami gejala gangguan kesehatan mental.
Secara definisi, Hanurawan (2012) menyebutkan bahwa kesehatan mental adalah suatu keadaan kejiwaan atau keadaan psikologis yang menunjukkan kemampuan seseorang untuk mengadakan penyesuaian diri atau pemecahan masalah terhadap masalah-masalah yang ada dalam diri sendiri (internal) dan masalah-masalah yang ada di lingkungan luar dirinya (eksternal).Â
Seseorang yang tidak memiliki kemampuan ini diidentifikasi melalui gejalanya dalam sebuah buku berjudul Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (atau disingkat DSM) untuk dilakukan diagnosis (Sampetoding et. al., 2022).
Kita mungkin mendengar istilah "diagnosis" sebelumnya. Diagnosis adalah label yang diberikan untuk penyakit atau masalah tertentu yang mungkin seseorang miliki.Â
Diagnosis ini umumnya dilakukan oleh seorang profesional di bidangnya untuk kemudian diberikan langkah-langkah penanganan. Akan tetapi, seiring meningkatnya penggunaan internet untuk mendapatkan informasi terkait kesehatan mental, diagnosis tersebut kini bisa dilakukan secara mandiri atau yang dikenal sebagai self-diagnosis.Â
Self-diagnosis atau diagnosis mandiri merupakan proses di mana seseorang mengamati sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri, gejala patologi dan mengidentifikasi penyakit ataupun kelainan berdasarkan pengetahuannya tanpa konsultasi secara medis melalui media-media populer seperti internet, media sosial maupun buku yang telah di bacanya. (Srivastava, 2016).
Dilansir melalui patient.info, Dr Ravina Bhanot menyebutkan bahwa metode self-diagnosis yang paling umum adalah melalui 'Dr. Google'. Pasien akan mencari gejala mereka di Google dan apa pun sesuai dengan kondisi yang dirasakan pasien.Â
Pemenuhan kriteria diagnosis untuk mengetahui gangguan kesehatan mental melalui tes-tes di internet seperti, "Apakah saya depresi" "Apakah saya memiliki DID" dan berbagai tes lainnya juga marak dilakukan untuk meyakinkan diri sendiri bahwa mereka memiliki gangguan kesehatan mental (Bashfort, 2021).
Tren self-diagnosis ini menimbulkan banyak kontra khususnya dari pihak profesional karena banyaknya dampak buruk yang disebabkan oleh temuan internet yang kemudian justru dapat berbahaya bagi kesehatan mental seseorang (Robertson et. al., 2014). Adapun dampak berbahaya tersebut, yaitu:
(1) Self-diagnosis dapat menyebabkan kekhawatiran yang tidak perlu karena kondisi yang disebutkan pada internet tidak selalu benar. Sehingga, kadang kala penyakit mematikan yang seseorang diagnosa ternyata hanya sesuatu yang ringan.
(2) Siapapun bisa menulis di internet sehingga informasi mungkin tidak akurat, menyesatkan, atau bahkan dengan sengaja dimanipulasi . Seringkali, seseorang menuliskan informasi palsu untuk mempromosikan produk dan mendorong orang lain sebagai pembaca untuk membeli 'obat' yang tidak efektif.
(3) Akses informasi yang tidak terbatas di internet dapat memberikan perasaan aman yang palsu kepada seseorang yang berakibat pada penundaan bertemu dengan profesional di saat-saat kritis.
(4) Terlalu percaya pada self-diagnosis dapat menyebabkan seseorang sulit untuk membuka pikiran mereka terhadap diagnosis yang berbeda. Sehingga, berbahaya untuk hubungan pasien dan dokter di masa depan.
(5) Sebagian besar informasi di internet yang berkaitan dengan kesehatan tidak ditinjau oleh dokter sehingga self-diagnosis cenderung tidak akurat . Akibatnya, penanganan melalui self-diagnosis tanpa anjuran pihak profesional dapat menyebabkan bahaya serius seperti overdosis obat-obatan hingga kematian.
Dengan demikian, dapat disimpulkan informasi yang dikumpulkan dari internet memang dapat mengetahui kondisi dengan lebih baik. Namun, self-diagnosis terutama dengan meromantisasi gangguan kesehatan mental tidak dibenarkan karena bisa melukai diri sendiri bahkan cenderung membahayakan kesehatan mental bagi pembacanya.Â
Selain itu, self-diagnosis yang tidak diawasi oleh tenaga profesional dapat membuat seseorang mengonsumsi obat-obatan berbahaya yang tidak perlu dikonsumsi. Sehingga, justru membahayakan kesehatan baik fisik maupun mental.
Lalu, langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan untuk menghindari bahaya tersebut?
Yang pertama, adalah dengan mengunjungi pihak profesional seperti psikolog atau psikiater.
Penanganan profesional melalui layanan kesehatan mempertimbangkan banyak hal, termasuk hal-hal di luar daftar gejala untuk mencapai diagnosis yang tepat. Mereka juga meresepkan penanganan berdasarkan riwayat medis secara lengkap untuk meminimalisir risiko-risiko berbahaya (Clark et. al., 2017).
Kedua, meskipun di internet tersebar banyak informasi terkait kesehatan, kita harus memastikan terlebih dulu bahwa informasi yang diberikan merupakan informasi yang valid dan penulis dari artikel tersebut adalah seorang profesional dengan informasi terkini (Bashfort, 2021).
Ketahui, sumber-sumber yang kredibel melalui pertanyaan berikut:
Siapa yang menulis? Kapan ditulis? Apakah ada referensi? Apakah tulisannya tersebut hanya berupa opini atau sudah melalui penelitian?
Melalui pertanyaan-pertanyaan ini, kita jadi lebih kritis dalam menerima informasi. Namun, penting dipahami juga bahwa self-diagnosis hanya berfungsi untuk mengetahui kemungkinan kondisi yang dialami. Sehingga, self-diagnosis adalah sebuah awal, bukan sebuah akhir dari penanganan gangguan kesehatan mental.Â
Perlakuan yang salah  terutama terkait kesehatan mental akan menimbulkan bahaya yang lebih besar di masa depan. Sehingga, diperlukan tenaga profesional untuk menghindari hal tersebut (Semigran et. al., 2015).
Stop self-diagnosis, cause mental ilness isn't a trend!
Â
REFERENSI
Bashfort, E. 2021. Does self-diagnosis work and what are the dangers?, (Online). (https://patient.info/news-and-features/does-self-diagnosis-work-and-what-are-the-dangers), diakses 31 Juli 2022.
Clark, L. A., Cuthbert, B., Lewis-Fernndez, R., Narrow, W. E., & Reed, G. M. (2017). Three approaches to understanding and classifying mental disorder: ICD-11, DSM-5, and the National Institute of Mental Health's Research Domain Criteria (RDoC). Psychological Science in the Public Interest, 18(2), 72-145.
Hanurawan, F. 2012. Strategi pengembangan kesehatan mental di lingkungan sekolah. Jurnal Bimbingan Dan Konseling, 14(2), 93.
Robertson, N., Polonsky, M., & McQuilken, L. (2014). Are my symptoms serious Dr Google? A resource-based typology of value co-destruction in online self-diagnosis. Australasian Marketing Journal (AMJ), 22(3), 246-256.
Sampetoding, E. A. M., Chuvita, L., Pongtambing, Y. S., Christiana, E., & Ambabunga, Y. A. (2022). Studi Litelatur Penerapan Internet of Things pada Kesehatan Mental: A Literature Review: The Application of IoT in Mental Health. Journal Dynamic Saint, 7(1).
Semigran, H. L., Linder, J. A., Gidengil, C., & Mehrotra, A. (2015). Evaluation of symptom checkers for self diagnosis and triage: audit study. bmj, 351.
Srivastava. 2016. Why the internet cannot diagnose your mental illness, (Online). (https://www.whiteswanfoundation.org/mental-health-matters/understanding-mental-health/self-diagnosing-of-mental-illness), diakses 31 Juli 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H