Lalu seseorang laki-laki menyaksikan kejadian ikut mengomentari “Siapa? Anak Pak Arman Depari ya? Itu orang BNN lho, jangan bawa-bawa nama itu, anak pak arman kaya gini ya? Bisa di tes Urin Juga nih buk, Kalian satu mobil nggak melanggar peraturan? kaya gini ya anak polisi ya?”
Dengan sikap arogan, Sonya merasa kebal oleh hukum, yang mengarah ke nepotisme. Menanggapi hal ini, hukum formal di Indonesia terkadang seperti 'paku' tumpul diatas dan tajam dibawah, seperti contoh beberapa waktu lalu ada kasus seorang nenek lanjut usia yang tak sengaja mencuri kayu, dijerat hukum hingga masuk jeruji besi. Sebaliknya Sonya merasa bahwa apa yang dia lakukan akan membebaskan dia dari hukum karena mengaku sebagai anak jendral Arman Depari.
Media sosial memberi ruang bagi setiap individu untuk ikut dalam berkompetisi menyebarkan informasi atau peristiwa yang terjadi di sekitar mereka. Karakteristik media sosial pun bisa dipergunakan untuk bidang seperti jurnalisme. Berkaitan dengan ini, kasus Sonya juga menjadi viral karena sebuah video amatir yang di unggah oleh seseorang di media sosial. Pemilik akun bisa jadi, dengan sadar mengunggah video tersebut dengan tujuan menjadi bentuk introspeksi diri di kehidupan nyata.
Dengan diunggahnya video ternyata menuai banyak opini publik. Netizen dengan bebas menyuarakan pikiran dan opininya mengenai kasus Sonya sebagai bentuk konsekuensi sosial. Konsekuensi sosial yang diterima Sonya, terjadi karena ia memang melakukan tindakan yang kurang berkenan, yang menjurus ke arah nepotisme dan perilaku sudah diluar batas norma. Bully yang terjadi pada Sonya bisa dikatakan sebagai bentuk ekspresi dari ketidak puasan masyarakat dengan hukum formal yang ada di Indonesia yang tidak mampu menjamah orang-orang tertentu.
Apabila Internet tidak ada, bisa jadi kasus Sonya akan berhenti sampai disitu. Di era cyber pun, tidak mengenal jarak sehingga siapapun bebas memberi opini sekalipun kasus Sonya terjadi di Medan, netizen bisa menanggapinya dimanapun mereka tinggal. Pun bebas bersuara sekarang memang berbeda saat dibawah rezim Orde Baru, masyarakat yang dihantui dengan penguasa. Saat ini, media sosial memberikan semacam kekuatan kepada pengguna untuk menyampaikan opini mereka.
Disisi lain, kasus Sonya juga memberi wawasan tentang fenomena budaya cyber.
Kesimpulan
Teknologi sebagai penanda jaman, sedikit banyak membawa pada berubah, sikap, tindakan. Kasus Sonya menyadarkan kita bahwa sikap generasi muda mulai meninggalkan budi pekerti yang berdampak penindasan seperti cyberbully.
Meski cyberbully merupakan tindakan yang negatif, namun ada hal-hal yang dapat dipetik dari adanya cyberbully yakni Cyberbully dari kasus Sonya menciptakan opini publik, introspeksi diri, memberi efek jera, dan menumbuhkan kreatifitas vernakular seperti meme yang dapat menetralkan kasus yang pelik. Semoga tulisan ini dapat memberikan wawasan baru mengenai Fenomena cyberbully memberikan perspektif baru dalam melihat fenomena media sosial.