Pembunuhan merupakan tindakan kejahatan yang berat dan menjadi perhatian di kalangan masyarakat. Tindakan pembunuhan merupakan kejahatan terhadap nyawa orang lain yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang. Tindakan ini berhubungan dengan tuntutan subsider yang dimana setelah masalah tuntutan akan berhubungan dengan keadaan pembuktian. Dalam kasus tindak pidana pembunuhan pelaku memenuhi persyaratan objektif yang berupa kesalahan maka pelaku tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan dan dijatuhi hukuman pidana.
Permasalahan yang dialami oleh Indonesia semakin beragam dan membentuk suatu mata rantai yang saling berhubungan dan akhirnya tidak dapat dipisahkan. Hal ini mengakibatkan timbul cerita tragis tentang nasib anak-anak yang harus terjebak dalam lingkungan tidak sehat akan pergaulan, tekanan hidup, dan pelanggaran norma hukum yang hidup di dalam masyarakat.
Membicarakan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah berhenti. Hal ini disebabkan oleh anak akan menjadi generasi penerus bangsa yang dipersiapkan sebagai pengendali masa depan suatu negara yaitu Indonesia. Perlindungan anak berarti kita melindungi sumber daya manusia menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Ketika seorang anak akan menghadapi hukum, maka mereka harus menghadapi kekuasaan publik yang memiliki kewenangan dalam upaya paksa untuk menjaga ketertiban umum. Pembatasan dan perampasan hak pada anak akan berdampak pada perkembangan anak. Tidak hanya itu, anak yang terkena tindak pidana juga akan kehilangan waktu bersama orang tua dan kehilangan akses terhadap kesehatan baik mental maupun fisik. Perihal hukum dalam masyarakat mengenal istilah justicia conventional yang kerap memiliki akibat pada pemikiran seorang anak yang akan merusak masa depan anak yang melakukan tindak pidana itu sendiri.
Anak-anak yang melakukan tindak pidana dan melanggar norma yang hidup di dalam masyarakat sering kali disebut dengan 'anak nakal'. Namun hal ini mengalami perubahan, semenjak Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem Peradilan Anak yang menggantikan Undang Undang Nomor 2 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, istilah 'anak nakal' berubah menjadi 'anak yang berhadapan dengan hukum'. Dalam Bab 1 Pasal 1 ayat 2 berbunyi "anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi sanksi tindak pidana".Â
Anak yang melakukan tindak pidana dan berkonflik dalam hukum dapat dijatuhi hukuman atau sanksi pidana. Sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat 3 dari Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 yang berbunyi "anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut 'anak' yang telah berumur dua belas tahun, tetapi belum berumur delapan belas tahun yang diduga melakukan tindak pidana".Â
Dari pemahaman Undang Undang tersebut, seorang anak bisa dijatuhi hukuman tindak pidana jika segala persyaratan serta bukti yang kuat dalam pengadilan, maka anak tersebut bisa dikatakan terkena sanksi tindak pidana pembunuhan. Apabila anak masuk ke dalam masalah, sebisa mungkin anak tersebut dijatuhkan terlebih dahulu dari ranah hukum supaya dapat memenuhi hak penjagaan dan perlindungan serta hak-hak anak lain tanpa terkecuali.
Dalam sistem peradilan pidana anak, ada beberapa asas yang harus dipenuhi berdasarkan pasal 2 antara lain perlindungan, keadilan, non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap pendapat anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, pembinaan dan pembimbingan anak, proporsional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir, dan penghindaran pembalasan.Â
Meski berstatus sebagai 'anak yang berhadapan dengan hukum', sewaktu dalam proses peradilan setiap anak berhak mendapatkan hal-hal berikut menurut pasal 2 yaitu diperlakukan secara manusiawi, memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif, memperoleh advokasi sosial, memperoleh kehidupan pribadi, dan lainnya. Dalam proses peradilan, 'anak yang berhadapan dengan hukum' berhak mendapat pengurangan masa pidana, asimilasi, cuti kunjungan keluarga, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, cuti bersyarat, dan hak lain sesuai yang telah dijelaskan pada pasal 4.
Sistem peradilan pidana anak tidaklah sama dengan sistem peradilan pidana biasa sebab wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif dengan upaya diversi. Berdasarkan pasal 1 ayat 6 dijelaskan bahwa keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Sedangkan diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.Â
Proses diversi sendiri menurut pasal 8 dilakukan melalui musyawarah yang melibatkan anak dan orang tua, korban dan orang tua, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial berdasarkan pendekatan keadilan restoratif yang wajib memperhatikan kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggung jawab anak, dan keharmonisan masyarakat. Proses diversi tidak dapat dilakukan secara sembarangan dan memiliki syarat yang harus dipenuhi.Â
Syarat diversi adalah dilakukan ancaman pidana penjara di bawah 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Hasil kesepakatan diversi dapat berupa beberapa bentuk seperti perdamaian dengan atau tanpa ganti rugi, penyerahan kembali kepada orang tua, dan keikutsertaan dalam LPKS paling lama 3 bulan.
Dengan demikian, dalam kaitannya dengan pengenaan tindak pidana pada 'anak yang berhadapan dengan hukum' diupayakan sebuah proses yang dinamakan diversi yang lebih bertujuan untuk mendidik ketimbang memenjarakan, mengingat apabila dipenjarakan maka hal ini akan berpengaruh pada psikis anak itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H