Mohon tunggu...
Charles Brahmanta
Charles Brahmanta Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Dengan karya tulis saya akan diingat,melalui sebuah tulisan akan mampu mengungkap tabir kebenaran. Facebook : Charles Sandy Friz Twitter : Charles Friz IG : charlessandyfriz

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Dialog Antarumat Beragama Diperlukan dalam Merumuskan RUU Pesantren

1 November 2018   02:12 Diperbarui: 2 November 2018   19:34 1201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(nasional.kompas.com)

Bicara agama sebenarnya agak sensitif karena urusan dengan Tuhan tidak bisa dicampuradukkan dengan hal apa pun.Yang mana setiap Agama punya aturan masing-masing dan itu wajib dipatuhi oleh umatnya.

Sudah seharusnya Negara memberi perlindungan dan mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan agama. Jangan sampai dengan adanya aturan tertulis justru dijadikan alat untuk melakukan intervensi terhadap agama Katholik dan Kristen.

Melalui tulisan ini saya memberi penjelasan secara singkat tentang RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Pesantren dan sekolah minggu itu menggambarkan dua hal yang jelas-jelas berbeda. Dan hal itu tidak bisa diatur dalam satu Undang-Undang.

Kita tahu kondisi kaum minoritas sekarang seperti apa, jangan sampai dengan adanya RUU tersebut justru memperlebar jarak antarumat beragama, serta berharap pihak pemerintah dan pihak-pihak terkait agar tidak masuk ke ranah agama tertentu.

RUU Pesantren dan Pendidikan Kegamaan khususnya pasal 69 dan 70 banyak menuai protes dari berbagai pihak. Perlu diketahui Negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk  untuk memeluk dan beribadah sesuai kepercayaannya, seperti yang tertuang pada Pasal 29 ayat 2 UUD 1945.

Pasal yang dipertanyakan oleh PGI dan KWI tentang Sekolah Minggu.

Dapat dikatakan RUU Pesantren dan Pendidikan Kegamaan masih banyak yang kurang komprehensif. Dan itu tidak berlaku untuk satu agama tertentu tapi harusnya menyeluruh dan diperlukan dialog.

Khusus untuk Sekolah Minggu dan katekis itu merupakan proses interaksi  dalam bentuk pendidikan yang dilakukan oleh gereja di seluruh Indonesia. Sumber anggaran Sekolah Minggu dan katekis berasal dari gereja dan partisipasi para umat.

Sekolah Minggu dan Katekis merupakan pelayanan ibadah bagi anak-anak dan remaja. Sedangkan proses pembelajaran antara Pesantren dan Sekolah Minggu jelas berbeda.

Sekolah Minggu merupakan pendidikan non-formal yang diberikan gereja kepada anak-anak dan remaja. Pesantren merupakan pendidikan formal kalau diatur secara khusus tidak ada masalah.

Kalau pelaksanaan dua hal tersebut harus minta izin ke pemerintah, jelas terasa aneh. Sebab Katholik dan Kristen punya cara tersendiri untuk mendidik umat mulai tingkat anak-anak sampai remaja.

Alangkah baiknya pasal 69 dan 70 itu dihapus saja karena dapat dikatakan sangat merugikan bagi Agama Kristen dan Katholik. Dengan adanya kedua pasal tersebut dapat menimbulkan polemik hingga konflik antarumat beragama.

Bisa dibayangkan jika setiap umat yang akan beribadah hingga pelayanan kepada Tuhan harus lapor ke negara, bagaimana repotnya pemerintah mengatur karena begitu banyak Sekolah Minggu.

Perlu diketahui Sekolah Minggu bukan sekolah formal, itu merupakan pendidikan untuk anak-anak agar lebih paham akan keimanan. Jadi tidak ada ketentuan jumlah murid berapun tetap dilaksanakan.

Apa jadinya kalau Sekolah Minggu harus dipaksakan mengikuti Perpu? Siapa yang akan bertanggung akan pendidikan agama mulai anak-anak hingga remaja.

Berharap pemerintah membuka pintu dialog terhadap para pemuka agama. Apabila dirasa sangat merugikan sebaiknya dihapus saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun