Setelah sekian tahun berkelana meninggalkanmu, rasa rindu tak pernah memudar.
Dari rahimmu telah lahir ratusan ribu bahkan jutaan manusia yang hidup dan berkarya di berbagai bidang, tidak hanya mengabdi untuk tanah kelahiran, tetapi juga mendarmabaktikan diri di berbagai tempat, termasuk ke berbagai penjuru dunia.
Sebagai contoh. Dari satu sekolah bernama Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero yang kini berganti nama menjadi Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK), sudah melahirkan lebih dari 1.900 imam (pastor/romo) yang lebih dari 500 orang di antaranya mengabdi sebagai misionaris di puluhan negara di lima benua.
Belum lagi alumni awam (non-pastor). Belum lagi dari sekolah-sekolah lain, dari berbagai jenjang pendidikan, yang membentang dari Labuan Bajo di barat hingga Larantuka di Timur, termasuk pula di pulau-pulau terdekat seperti Adonara, Solor, dan Lembata.
Flores, dataran seluas lebih dari 13.500 meter yang semula disebut Nusa Nipa (Pulau Ular) bukan dalam arti sesungguhnya, sesungguhnya memancarkan keharumah seperti nama yang kau sandang hingga hari ini.
Flores, Nusa Bunga. Dari bahasa Portugis, "cabo de flores" yang berarti "tanjung bunga."
Flores sesungguhnya indah dan kaya. Indah alamnya yang beranekaragam dari gunung-gunung berapi aktif dan tertidur seperti Gunung Ia di Ende, Gunung Egon di Maumere, Gunung Ile Ape di Lembata, Gunung Rokatenda di Palue, Gunung Ebulogo di Nagekeo, sampai Gunung Inerie di Ngada.
Lembah, sawah, dan pantai di mana-mana. Beberapa dari antaranya sudah dikenal ke mana-mana. Kawasan Taman Nasional Kelimutu tempat danau tiga warna berada adalah salah satu contoh.
Taman laut 17 pulau di Riung, utara Kabupaten Ngada, yang tak kalah indah seperti Taman Laut Bunaken di Manado.
Ada juga satwa langka yang sangat dilindungi bernama varanus komodoensis yang mendiami Pulau Komodo dan Pulau Rinca di Kabupaten Manggarai Barat.
Kehadirannya bersama bentangan alam pegunungan, pantai dan laut yang memukau, menjadi daya tarik tersendiri yang membuat pemerintah tak bisa tidak mengambil langkah strategis untuk menjadikan kawasannya sebagai satu dari sangat sedikit destinasi wisata premium di Tanah Air.
Belum lagi budaya dan kesenian. Tarian perang yang sekaligus menjadi permainan rakyat yang bernama Caci, tarian Ja'I yang mengandalkan kelenturan kaki, hentakan tarian Gawi, Sodh'a hingga Rokatenda yang membius banyak orang.
Bahasa bermacam-macam. Bahasa Lamaholot di Flores bagian timur, bahasa Sikka, Ende/Lio, Nagekeo, hingga Ngada di bagian tengah, sampai bahasa Manggarai di bagian timur.
Keanekaragaman itu tidak membuat kita terpecah. Justru memperkaya dan mengikatsatukan kita dalam semangat kebersamaan.
Orang Lio, Ngada, Nagekeo, Manggarai, Ende, Sikka, hingga Lembata boleh membanggakan kekayaan mereka. Tetapi, satu dan yang lain tidak pernah merasa lebih. Satu adalah saudara bagi yang lain.
Ingat Flores, aku teringat akan begitu banyak kekayaan. Dari sana aku belajar banyak hal. Tentang hidup selaras alam, semangat persaudaraan, dan toleransi.
Banyak kenangan pribadi yang tertambat di sana. Dari orang tua yang melahirkan, keluarga dan kenalan terdekat yang membentuk ikatan persaudaraan, alam yang menghidupkan, hingga ruang belajar baik formal maupun nonformal, sejak keluar dari rahim ibu, belajar aksara tingkat dasar hingga menengah. Semua aku habiskan di atas pangkuanmu, Flores!
Tidak tahu dengan cara apa aku mengungkapkan terima kasih. Mungkin tidak akan pernah cukup cara-cara yang aku pakai sebagai balas jasa untukmu.
Yang bisa aku lakukan adalah mengingatmu. Yakinlah, sampai kapanpun namamu tetap harum dalam ingatanku.
Sambil aku berharap agar engkau tetap lestari dalam kemajemukan. Engkau tetap menjadi rahim yang subur bagi generasi-generasi berikutnya.
Sementara itu anak-anak yang sudah, sedang, dan akan terus lahir, tetap menaruh hormat dan tidak pernah kehilangan rasa tanggung jawab untuk tetap memeliharamu sebagai surga nyata di bumi.
Aku tahu, dalam banyak hal engkau seperti dibiarkan bekerja sendiri. Entah karena ketidaktahuan atau kesengajaan yang membuat wajahmu terlihat kusam, bopeng di beberapa sisi, bahkan dianggap sudah tidak perlu lagi dijaga.
Pembalakan hutan serampangan dan penambangan ilegal sepertinya terus menjadi keprihatinan. Sudah banyak upaya yang dilakukan untuk mengedukasi anak-anak yang kau lahir agar tidak sampai bertindak ceroboh dan fatal.
Namun, upaya-upaya tersebut masih harus terus diperjuangkan. Perlu kerja-kerja nyata, konsisten, dan terpadu agar pembangunan Flores berjalan berkesinambungan.
Alam ditata, adat dan budaya dilestarikan, manusia-manusia kian teredukasi dan tumbuh sehat, serta kekayaan alam dimanfaatkan sebijaksana mungkin.
Aku berharap seiring berjalannya waktu berita-berita pedih terkait konflik tanah, perusakan alam, angka kematian ibu dan bayi, gizi buruk, dan gagal panen, tidak lagi terlalu sering terdengar.
Sagat kasat mata hal-hal miri situ. Sebagai bagian dari provinsi dengan angka stunting tertinggi secara nasional, dari tahun ke tahun.
Prevalensi stunting mencapai 37,8 persen. Sebanyak 13 dari 22 kabupaten/kota di NTT punya prevalensi balita stunting di bawah angka rata-rata.
Tahukah, beberapa dari antaranya adalah anak-anakmu. Prevalensi stunting di Kabupaten Manggarai Timur di angka 42,9 persen, Kabupaten Manggarai 33,1 persen, Kabupaten Lembata 31,7 persen, Kabupaten Ngada 29 persen, Kabupaten Nagekeo 28,1 persen, dan Kabupaten Sikka 26,6 persen.
Kabupaten Flores Timur yang berada di posisi teratas prevalensi terendah malah masih berada di angka yang tidak aman, 23,4 persen. Berada di bawah prevalensi provinsi, tetapi masih tinggi secara nasional.
Ketika orang beramai-ramai menyebut, bahkan penduduknya sendiri seperti dengan rela mengamini, sebagai bagian dari Nusa Tetap Tertinggal (NTT), seharusnya semua anakmu bertanya diri, bukan malah terus mengolok-olok diri.
Ketika orang seperti merasa putus asa sampai-sampai menyebut NTT sebagai Nanti Tuhan Tolong, mestinya anak-anakmu bergegas memperbaiki diri.
Dalam banyak hal, sebagai bagian dari NTT yang punya banyak sebutan yang menyayat hati itu, anak-anak Flores seharusnya terdorong untuk berbuat sesuatu.
Melakukan aksi nyata agar label-label tersebut berubah menjadi kebanggaan seperti NTT sebagai Nusa Terindah Toleransi.
Aksi membangun daerah bukan malah pergi menjauh dengan nasib yang makin tidak tentu.
NTT pun terkenal dengan kasus human trafficking (perdagangan manusia). Awal tahun ini, tiga peti mati dikirim dari Malaysia melalui Bandara El Tari Kupang. Dua dari Timor, satu dari Flores.
Tahun ini saja sudah 26 orang yang kehilangan nyawa karena bujuk rayu hujan emas di negeri orang. Bukan kesejahteraan yang didapat tetapi harta benda, bahkan harta yang paling berharga yakni kehidupan, direnggut.
Mereka yang menjadi korban adalah buruh migran. Mereka pergi begitu saja tanpa persiapan yang cukup, tidak seperti saudara-saudari lain yang bisa memetik kesuksesan di negeri orang dan ikut menyumbang devisa bagi negara.
Tragedi kemanusiaan yang terus terjadi semestinya segera diakhiri. Para mafia yang coba mengeruh di air keruh untuk menjaring dan menyelundupkan anak-anakmu sudah seharusnya ditindak tegas. Diberangus hingga ke akar-akarnya.
Sejalan dengan itu, akar persoalan yang tak kalah mendasar pun perlu dicarikan jalan keluar. Ketika mereka lebih tergoda untuk pergi ke luar negeri dengan tanpa berpikir panjang, berarti ada sesuatu yang salah dalam diri mereka. Dalam cara pandang mereka terhadap engkau, Flores.
Apakah engkau sudah tidak menjadi tanah yang menghidupkan? Apakah engkau sudah sedemikian krisis sehingga pantas untuk ditinggalkan?
Apakah tidak ada sesuatu yang baik yang bisa dihasilkan dari alam dan lingkunganmu untuk menopang kehidupan dan menciptakan kesejahteraan bagi anak-anakmu?
Bila harus berkata jujur, jawaban atas semua pertanyaan itu adalah TIDAK. Sekali lagi, TIDAK.
Kesuburanmu belum berkurang. Engkau masih sangat menjanjikan. Hanya pola pikir, kesadaran, dan pilihan anak-anakmu yang perlu diluruskan.
Dengan mendiami Flores sesungguhnya tetap bisa hidup, bahkan melangkah maju. Membangun dari kampung, membangun dari desa, membangun dari pinggiran masih senantiasa aktual untukmu.
Aku salut dengan banyak anak-anakmu yang berhasil menunjukkan dengan gemilang bagaimana hidup, tumbuh, dan berkembang dengan memaksimalkan semua potensi yang kau berikan.
Nando Watu, Kepala Desa di Detusoko Barat, Kabupaten Ende, sudah jauh-jauh hari pulang dengan membawa ilmu yang didapat di Amerika Serikat untuk membangun sebagian dari wilayahmu di Ende sana. Kisah selengkapnya bisa baca di kompas.id (21/10/2019).
Nando dan masih banyak lagi sukses memberikan bukti. Mereka bisa berbangga menjadi orang kampung yang sukses. Mereka bisa berbuat sesuatu agar banyak potensi yang kau berikan tidak sia-sia.
Nando dan orang-orang yang punya visi serupa memanggil dan menyerukan suatu kesadaran penting. Menjadi orang kampung dan tinggal di Flores tetaplah keren. Orang hebat tidak harus berada di kota-kota besar. Untuk menjadi orang sukses tidak harus memiliki paspor.
Nando dan kawan-kawan itu tidak perlu pusing memikirkan jadwal untuk mudik. Mereka tidak perlu tersandera oleh tiket yang mahal yang membuat jutaan bahkan ratusan juta orang selalu berteriak saban tahun.
Tidak hanya para perantau lain, aku pun seharusnya ikut tergelitik. Jangan sampai tinggal diam dan menganggapnya angin lalu.
Dari tanah rantau aku harus terpacu untuk berbuat demi Flores, kampung halaman dan tanah tumpah darahku. Sekalipun aku belum bisa pulang untuk membangun dari dan di Flores, setidaknya dari jauh aku sudah mulai berpikir.
Apa yang bisa aku buat untukmu, Flores?
Aku, putra Flores, harus punya niat dan upaya untuk berbuat sesuatu agar apa yang selalu disematkan kepadamu tidak sampai terdengar sebagai lelucon.
Flores florete date odorem. Flores mekarlah berikanlah keharumanmu, senantiasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H