Tempat ini sungguh menyajikan panorama alam yang asri. Sejak dibuka untuk umum pada 2008 silam, curug ini masih menyimpan daya tarik tersendiri hingga hari ini.
Saat bertandang ke sana, kondisinya cukup sepi. Sebab, saat itu bertepatan dengan mudik Lebaran. Orang-orang tentu lebih memilih ke kampung halaman atau bertemu sanak saudara untuk merayakan Idul Fitri bersama.
Momen tersebut sungguh pas untuk menyesap udara segar sepuasnya. Sambil memandang lukisan Sang Pencipta dalam rupa tumpahan air raksasa dari ketinggian sekitar 40 meter.
Menariknya, perjalanan sampai ke titik terakhir tidak menjanjikan pengalaman yang mulus. Jalannya tidak terlalu lebar, sehingga butuh kewaspadaan tingkat tinggi.
Jalanan yang masih berupa tanah dan bebatuan, tetapi aman dilalui, akan melewati area perkebunan teh yang luas.
Perkebunan teh dikelilingi gunung yang indah, serta udara yang sejuk, adalah upah tak ternilai yang diterima usai melewati perjalanan yang panjang dan sedikit melelahkan.
Cukup susah menemukan arti dari nama yang disandang secara tepat. Kabarnya, Sadim berasal dari kata "Satu Dim" artinya satu meter. Entah apa maksud dari kata itu, hingga kini masih menjadi tanda tanya.
Terlepas dari itu, yang pasti setiap pengunjung yang datang ke sini tidak akan pulang dengan rasa kecewa.
Udara sejuk sangat cocok untuk mengisi paru-paru warga Jakarta yang saban hari begitu susah mendapatkan pasokan udara bersih.
Pepohonan yang rindang yang ditingkahi deretan bunga terompet yang cantik memberi kesan asri dan teduh. Kedamaian dan ketenangan batin jelas didapat dengan mudah.