Apa yang membuat Kupang terdengar akrab di telinga? Daging asap khas yang disebut se'i adalah salah satunya.
Ya, daging yang dimatangkan dengan asap panas dari jarak tertentu menggunakan kayu khusus, yakni jenis kayu pohon kesambi (schleichera oleosa).
Daging dipotong tipis, ditutupi daun kesambi, dan dipanggang. Kemudian diiris lebih tipis lalu dimakan dengan beberapa jenis sambal. Salah satunya adalah sambal lu'at yang berkomposisikan cabai rawit, terasi, bawang, daun ketumbar, daun bawang, tomat, dan perasan jeruk nipis.
Se'i diambil dari bahasa Rote, salah satu kabupaten sekaligus wilayah paling selatan di Indonesia, yang berarti daging yang diiris tipis memanjang.
Mulanya  se'i menggunakan daging rusa. Lantaran pasokannya makin sedikit, bahkan sudah menjadi langka dan rusa masuk dalam kelompok hewan yang dilindungi, maka kemudian beralih ke daging babi, sapi, bahkan belakangan juga dari ikan.
Kupang, yang merupakan kota sekaligus ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak sebatas terkenal dengan se'i dan makanan laut lainnya. Sekali lagi, tidak hanya bisa dibanggakan karena kuliner.
Salah satu daya tarik lain yang patut diperhitungkan adalah pesona alam. Di balik iklimnya yang panas dan gersang, Sang Pencipta mengimbanginya dengan banyak pantai yang indah.
Kota Kupang terletak di pesisir Teluk Kupang yang sekaligus menjadi batas utara. Di sisi timur berbatasan dengan Kabupaten Kupang. Selat Semau dan Kabupaten Kupang adalah batas terjauh di sisi barat. Sementara sisi selatan berbatasan dengan Kabupaten Kupang.
Daerah ini memiliki topografi yang menggabungkan daerah pantai, dataran rendah, dan perbukitan.
Sedikitnya ada 10 pantai yang ada di kawasan Kupang dan sekitarnya, mulai dari Pantai Lasiana, Pantai Pasir Panjang, Pantai Oesapa, Pantai Namosain, Pantai Tablolong, Pantai Kolbano, Pantai Nunsui atau Batu Nona, Pantai Oetune, Pantai Neam, hingga Pantai Manikin.
Sebagai orang yang pernah hidup selama beberapa tahun di sana, saya sudah hampir menjelajahi semua. Memang jarak antara satu pantai dengan pantai yang lain tidaklah dekat.
Ada yang harus ditempuh dengan waktu lebih dari dua jam seperti Pantai Oetune di Oebelo, Amanuban Selatan, yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Seribu kenangan
Dengan tanpa mengabaikan keindahan pantai-pantai lainnya, Pantai Lasiana, sesungguhnya menyimpan banyak cerita bagi saya.
Pantai ini terletak di Desa Lasiana, Kelapa Lima, Kupang Tengah. Ia berjarak 12 km ke arah timur dari pusat Kota Kupang.
Pemandangan alam sungguh menyegarkan mata, dengan sejumlah pohon kelapa dan pohon lontar yang masih tegak berdiri sebagai pelindung di siang yang terik.
Ombaknya tidak terlalu besar sehingga para pengunjung bisa melakukan aneka kegiatan di sana. Berenang dan memancing, misalnya. Â
Airnya yang tenang dan bersih sungguh menjadi pilihan yang cocok untuk merendam tubuh.
Pasir putih nan halus yang cukup bersih menjadi pilihan bagi anak-anak dan remaja untuk bermain sepak bola pantai.
Bila tidak ingin berkegiatan seperti di atas, para pengunjung bisa sekadar berjalan menyusuri bibir pantai sambil memandang ke laut lepas.
Juga, bakal tergoda meniti jalul pemecah ombak yang berbentuk seperti huruf J yang semula dimaksudkan untuk mencegah abrasi.Â
Memang harus berhati-hati untuk menyusuri jalur dengan bebatuan berwarna corak hitam yang tersusun cukup rapih. Pada titik tertentu bisa berhenti untuk mengambil foto.
Kabarnya, pantai landai ini memiliki luas sekitar 3,5 hektar yang dihiasi puluhan pohon kelapa dan ratusan pohon lontar. Tempat ini mulai dibuka sebagai obyek wisata umum sekitar tahun 1970-an.
Dalam rentang waktu yang cukup lama itu, ribuan orang tentu sudah dan sering bertandang ke sana. Tak terhitung berapa banyak lagi yang akan ikut menikmati keindahannya dari dekat.
Seiring berjalannya waktu, tempat ini terus diperindah dan dilengkapi aneka fasilitas, mulai dari penginapan, sarana MCK (Mandi Cuci Kakus), hingga tempat makan berupa warung-warung kecil yang menyediakan makanan dan minuman ringan.
Bila ke sini, saya hampir tidak pernah absen mencoba es kelapa muda, jagung bakar (bila pada musimnya), dan pisang epe atau gepeng.
Yang disebutkan terakhir terdengar cukup aneh, namun sesungguhnya sudah bisa ditemukan di berbagai tempat.
Dalam bahasa Makassar, epe berarti jepit. Sebuah pisang jenis raja, dibakar, lalu dijepit hingga pipih. Ya, saat disajikan denga taburan susu, coklat, atau keju bentuknya sudah tidak utuh lagi, melainkan berubah jadi gepeng.
Aneka jajanan itu memang paling nikmat disantap sambil menikmati keindahan Pantai Lasiana. Lebih nikmat lagi, bila bersama orang-orang tersayang.
Saat masih berkenalan dan berstatus pacarana, saya dan wanita pujaan yang saat ini dengan bangga saya perkenalkan sebagai istri, hampir rutin meluangkan waktu ke tempat itu.
Kami memang sengaja ke sana untuk mengambil waktu berdua. Sama-sama penyuka pantai dan segala sesuatu yang terkait dengannya.
Kemudian setelah menikah, memiliki anak, dan meninggalkan kota itu, kami tetap menempatkannya sebagai salah satu tempat yang wajib dikunjungi saat pulang.
Kunjungan terakhir kami ke Pantai Lasiana terjadi pada akhir November 2021. Berbeda dengan kunjungan-kunjungan sebelumnya, kedatangan kami saat itu bukan untuk nostalgia atau melepas rindu.
Pertama-tama dan terutama kami perlu ke sana untuk mengantar ayah dari istri yang terserang stroke. Selain  menjalani pengobatan medis, ia butuh diterapi dengan berjalan-jalan di pantai. Sesekali, kami menguburkan bagian tubuhnya yang sakit dalam gunungan pasir.
Entah telah terbukti secara ilmiah atau tidak, kabarnya, dengan membenamkan tubuh penderita dalam pasir yang hangat, akan membantu menghidupkan saraf-saraf yang mati.
Terapi pasir juga berlaku untuk penderita reumatik, penyakit kulit, hingga sekadar untuk relaksasi.
Terapi pasir hitam sebagai metode pengobatan alternatif sesungguhnya tidak hanya diyakini oleh segelintir orang. Di kalangan masyarakat pesisir, baik di Aceh, Bengkulu, Jawa Barat, Bali, hingga Jepang masih meyakini khasiat dari terapi pasir ini.
Kandungan biji besi dalam pasir hitam dianggap bisa mengurangi rasa sakit.
Setelah menjalani terapi singkat, ayah mertua selalu memberikan kesan positif.
"Lumayan Nak, badan lebih segar, dan tangan (yang terserang stroke) lebih enteng." Begitu jawabnya, bahkan secara spontan tanpa ditanya.
Pantai itu terbuka untuk siapa saja. Cukup ramai pada akhir pekan dan hari-hari libur, lantaran menjadi destinasi favorit para keluarga dan masyarakat dalam kelompok-kelompok tertentu.
Pengunjung hanya perlu membayar tarif Rp5.000 untuk orang dewasa dan Rp2.000 untuk anak-anak.
Angka ini baru saja ditetapkan pengelola setempat sejak tahun 2020, setelah sebelumnya mematok harga tiket yang sangat murah.
Harga tersebut jelas tidak sebanding dengan pengalaman yang didapat.
Selama beberapa minggu di Kupang, kami hampir setiap pagi mengajak ayah ke Pantai Lasiana, kecuali bila malamnya ia tidak bisa mendapatkan tidur dengan kualitas yang baik.
Biasanya, setelah membenamkannya di pasir yang hangat selama kurang lebih 20-30 menit, ia tak lupa meminta kami menuntunnya ke laut. Ia ingin dimandikan dengan air laut. Sontak wajahnya berseri-seri. Tak lupa ia meminta kami mengabadikan momen tersebut.
Dalam hati kecil, kami pun ikut senang. Tak lupa bersyukur pada Tuhan. Ia telah menciptakan Pantai Lasiana yang indah itu, tempat saya boleh menambatkan seribu kenangan di sana.
Bila Anda ke Kupang, mampirlah ke Pantai Lasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H