Saat masih berkenalan dan berstatus pacarana, saya dan wanita pujaan yang saat ini dengan bangga saya perkenalkan sebagai istri, hampir rutin meluangkan waktu ke tempat itu.
Kami memang sengaja ke sana untuk mengambil waktu berdua. Sama-sama penyuka pantai dan segala sesuatu yang terkait dengannya.
Kemudian setelah menikah, memiliki anak, dan meninggalkan kota itu, kami tetap menempatkannya sebagai salah satu tempat yang wajib dikunjungi saat pulang.
Kunjungan terakhir kami ke Pantai Lasiana terjadi pada akhir November 2021. Berbeda dengan kunjungan-kunjungan sebelumnya, kedatangan kami saat itu bukan untuk nostalgia atau melepas rindu.
Pertama-tama dan terutama kami perlu ke sana untuk mengantar ayah dari istri yang terserang stroke. Selain  menjalani pengobatan medis, ia butuh diterapi dengan berjalan-jalan di pantai. Sesekali, kami menguburkan bagian tubuhnya yang sakit dalam gunungan pasir.
Entah telah terbukti secara ilmiah atau tidak, kabarnya, dengan membenamkan tubuh penderita dalam pasir yang hangat, akan membantu menghidupkan saraf-saraf yang mati.
Terapi pasir juga berlaku untuk penderita reumatik, penyakit kulit, hingga sekadar untuk relaksasi.
Terapi pasir hitam sebagai metode pengobatan alternatif sesungguhnya tidak hanya diyakini oleh segelintir orang. Di kalangan masyarakat pesisir, baik di Aceh, Bengkulu, Jawa Barat, Bali, hingga Jepang masih meyakini khasiat dari terapi pasir ini.
Kandungan biji besi dalam pasir hitam dianggap bisa mengurangi rasa sakit.
Setelah menjalani terapi singkat, ayah mertua selalu memberikan kesan positif.
"Lumayan Nak, badan lebih segar, dan tangan (yang terserang stroke) lebih enteng." Begitu jawabnya, bahkan secara spontan tanpa ditanya.