Agen perubahan
Momen krusial dalam hidupnya terjadi dalam situasi sulit itu. Ia berkenalan dengan Baines, anggota Nation of Islam. Sayangnya, indoktrinasi dari organisasi itu membuatnya justru jatuh ke ekstrem lain. Ia sama seperti mereka. Menjadi kaum dengan rasa benci akut kepada orang kulit putih.
Nama Litte ditanggalkan dan diganti X, hasil bujuk rayu Elijah Muhammad, ketua Nation of Islam. Dengan nama baru itu, ia bertindak sebagai "misionaris."
Ia cukup sukses dalam kerja pewartaan itu. Terbukti ia menarik simpati luas dan banyak orang menyebut diri sebagai pengikutnya.
Dalam perjalanan waktu, Malcolm X berbenturan dengan Nation of Islam. Dalam situasi ini, ia memutuskan melakukan ziarah ke Mekkah. Ia mau pergi ke sumber ajaran yang sebenarnya.
Buah dari perjalanan itu sungguh bernilai. Mengubahnya dari seorang kriminal, ekstremis kulit hitam, menjadi aktivis hak asasi manusia.
Ia sampai pada kesadaran inklusif bahwa agama bukan untuk memisahkan satu dari yang lain. Agama bukan untuk membangun tembok dengan balutan kecurigaan dan kebencian. Â Agam bukan sarang rasisme, diskriminasi, dan intoleransi.
Meski sudah berusia lebih dari 20 tahun, Malcolm X masih dan akan senantiasa relevan. Setiap orang, apa pun agamanya, diajak untuk merefleksikan kembali hakikat dan panggilan keagamaannya.
Apakah kita masih pada taraf beragama (sekadar menjalankan ritual) atau sudah mencapai tingkat keimanan (sampai pada penghayatan akan nilai-nilai luhur dalam hidup sehari-hari)?
Malcom ingin mengajak setiap orang, apa pun latar belakangnya, untuk ikut serta menjadi agen perubahan (agent of change) di dalam konteks kehidupan masing-masing.