Di sana hanya tertulis begini.
"FIFA ingin menggarisbawahi bahwa terlepas dari keputusan tersebut, tetap berkomitmen untuk aktif membantu PSSI, bekerja sama erat dan dengan dukungan pemerintahan Presiden Widodo, dalam proses transformasi sepakbola Indonesia pascatragedi yang terjadi pada Oktober 2022."
Dari sini kita bisa menangkap tragedi Kanjuruhan masih meninggalkan bekas. Meski terkesan ironis, lantaran tak lama setelah peristiwa kelam itu, Â FIFA dan PSSI masih terlibat "fun football" yang menuai kecaman tidak kalah hebat.
Selain itu, FIFA seakan ingin mengatakan lupakan dulu mimpi menjadi tuan rumah hajatan kelas dunia. Bereskan dahulu persoalan masa lalu yang hingga kini belum tuntas sepenuhnya.
"Anggota tim FIFA akan terus hadir di Indonesia dalam beberapa bulan mendatang dan akan memberikan bantuan yang dibutuhkan kepada PSSI, di bawah kepemimpinan Presiden Thohir," lanjut FIFA.
FIFA pun masih terus menjalin komunikasi intens dengan PSSI melalui sang delegatus sekaligus sosok yang diharapkan menjadi dewa penyelamat: ketua umum PSSI.
Entah apa yang akan terjadi kemudian, rupanya sulit mengharapkan mujizat apa yang sudah tertulis itu kemudian berubah. Terutama, terkait tuan rumah.
Dampak lanjut
Seperti disinggung di atas, konsekuensi berat akan ditanggung sepak bola dalam negeri, bahkan bakal menyeret banyak pihak ke dalam pusaran persoalan.
Soal ini, seperti sudah tercium akhir-akhir ini, tidak hanya akan terlokalisasi sebagai urusan sepak bola semata. Tetapi akan ikut menyerempet ke urusan-urusan lain. Politik, bila harus jujur.
Bila perang wacana, saling tuding, pesta kemenangan, hingga perlombaan mencari kambing hitam akan segera dimulai, babak baru prahara sepak bola Indonesia pun segera dimulai.