Tim nasional sepak bola Thailand baru saja mengunci gelar Piala AFF 2022. Gol tunggal Theerathon Bunmathan ke gawang Vietnam di pertengahan babak pertama lebih dari cukup mengantar armada Alexandre Polking ke tangga juara.
Tim Thailand yang dijuluki Gajah Perang unggul agregat 3-2 setelah di leg pertama di kandang Vietnam bermain sama kuat.
Bagi Thailand kemenangan ini sungguh istimewa. Terjadi di hadapan pendukung sendiri yang memadati Thammasat Stadium, Senin (16/1/2023).
Indonesia dan para pendukungnya dibuat iri. Betapa tidak. Negara seluas 513 ribu km persegi dengan penduduk sekitar 69 juta jiwa sudah tujuh kali naik podium juara.
Separuh dari 14 kali penyelenggaraan sejak 1996 di Singapura menjadi milik mereka. Sementara negara terbesar di kawasan baik dari sisi geografis maupun demografis hanya bisa berbangga dengan status enam kali runner-up.
Langkah Indonesia ke tangga juara hampir selalu kandas di hadapan Thailand. Tengok saja perjalanan enam kali itu. Pada 2000 di Thailand kalah 1-4 dari tuan rumah. Dua tahun berselang di saat menjadi tuan rumah bersama Singapura, menyerah dari negara yang sama melalui adu penalti 2-4 usai bermain imbang 2-2.
Selanjutnya, dua tahun kemudian giliran Singapura yang memberi Indonesia pil pahit. Negeri Singa menang agregat 5-2.
Setelah menanti enam tahun atau tiga kali penyelenggaraan, harapan untuk menggapai klimaks kembali pupus. Malaysia menjadi batu sandungan yang memenangi partai final dengan skor agregat 4-2.
Indonesia baru bisa ke final lagi enam tahun berikutnya. Apes kembali terjadi di tangan Thailand yang menang agregat 3-2.
Terakhir saat Singapura menjadi tuan rumah pada 2020, Indonesia lagi-lagi belum bisa "pecah telur" mengalahkan Thailand. Gajah Perang untuk kesekian kalinya menumbangkan Indonesia di partai pamungkas turnamen dua tahunan itu dengan skor agregat 6-2.
Pemandangan itu sungguh memilukan bagi negara dengan jumlah penduduk berkali lipat lebih banyak. Saat Thailand sudah jauh di depan dan mantap menatap putaran final Piala Dunia 2026 sebagaimana ambisi Madam Pang, lalu Vietnam, Singapura, dan Malaysia telah mencicipi rasanya sebagai jawaraAFF, Indonesia masih sebatas mimpi.
Dari sisi prestasi, posisi Indonesia tidak lebih baik dari Kamboja, Brunei Darussalam, Laos, Myanmar, bahkan negara bungsu Timor Leste yang sama-sama belum pernah merasakan manisnya menjadi juara.
Bahkan, sepak bola beberapa negara itu sudah berkembang. Sebut saja Kamboja dan Filipina, juga Myanmar.
Ketika mereka mendekat, Indonesia justru masih sibuk berbenah. Mirisnya, kasak-kusuk itu lebih terkait hal-hal yang seharusnya menjadi infrastruktur atau landasan yang sudah selesai dibangun.
Sayangnya, hingga hari ini Indonesia masih terus mencari fondasi bernama sistem itu. Formula terkait pengelolaan sepak bola berjenjang, kepemimpinan yang bersih, iklim yang sehat, hingga rantai regenerasi dan suksesi di tingkat pengambil dan pengatur pertandingan, masih menjadi mimpi.
Tengok saja kesibukan hari-hari belakangan ini. Setelah tim nasional tersingkir dari Piala AFF 2022, kalah agregat 0-2 dari The Golden Stars Vietnam yang sudah dua kali jadi juara ASEAN dan mampu berbicara di level atas, sepak bola nasional masih ramai menggunjingkan keputusan kontroversial Rapat Komite Eksekutif (Exco) PSSI.
Ketika tragedi Kanjuruhan yang menelan lebih dari 100 korban jiwa belum juga tuntas, kita masih berkutat mencari sosok pemimpin ideal.
Sementara petaka terkelam di sepak bola Indonesia itu baru akan menjalani sidang perdana lima tersangka dengan 140 saksi pada Senin (16/1/2023) dan keputusan yang kemudian memantik pro dan kontra mengharuskan kompetisi Liga 2 Â dan Liga 3 musim 2022/2023 dihentikan.
Liga 1 dan 2 Vakum
Disebutkan dalam keputusan itu, Liga 1 tetap berjalan, namun tidak ada degradasi. Dampak logis dari dihentikannya kompetisi di bawahnya.
Perwakilan Indonesia di kompetisi AFC akan ditentukan dengan skema demikian. Play-off yang mempertemukan jawara Liga 1 musim sebelumnya versus musim terbaru.
Jelas, keputusan terbaru itu bagai palu yang menghantam keras. Banyak pihak tersentak, tidak hanya para pihak yang secara khusus berkecimpung di dunia sepak bola dalam negeri.
Pukulan pamungkas untuk membuat iklim sepak bola Tanah Air jatuh tersungkur ke titik nadir. Rentetan peristiwa yang membuat sepak bola Indonesia kehilangan harapan. Â Apakah ada sisa yang bisa diandalkan dan dibanggakan? Tidak.
PSSI memiliki alasan tersendiri di balik keputusan bak petir di siang bolong itu. Melansir pssi.org, sebagian besar klub Liga 2 memang menginginkan kompetisi dihentikan.
Sebabnya, tidak adanya kesesuaikan konsep pelaksanaan lanjutan kompetisi antara klub dan operator serta ketidakmungkinan menyelesaikan kompetisi sebelum Piala Dunia U-20 2023.
Hal tersebut juga diperkuat oleh rekomendasi tim transformasi sepak bola Indonesia pasca-tragedi Kanjuruhan. Sarana dan prasarana timt-tim peserta belum memenuhi standar keamanan.
Di samping itu, terkait pula Peraturan Kepolisian Negara Nomor 10 Tahun 2022 tentang Pengamanan Penyelenggaraan Kompetisi Olahraga.
Hanya disebutkan secara singkat begini. "Mengamanatkan proses perizinan yang baru dengan memperhatikan periode waktu pemberitahuan, pengajuan rekomendasi dan izin, hingga bantuan pengamanan" tanpa penjelasan lebih rinci.
Tragedi di Malang, dihentikannya Liga 2 dan Liga 3, kemudian berbuntut pada kompetisi kasta tertinggi.
Tidak ada degradasi karena tidak ada alasan untuk promosi. Klub-klub yang terlanjur di Liga 1 tidak punya alasan untuk diseleksi karena tidak ada kompetisi yang menampung mereka yang terseleksi. Sebuah pemandangan yang menggelikkan!
Kita bisa melontarkan banyak pertanyaan untuk menguji rasionalitas di balik keputusan itu. Apakah keputusan itu memang berdasar dan masuk akal? Apakah memang itu adalah keputusan terbaik?
Jawabannya pun akan panjang. Kita bisa menemukannya dengan mudah.
Saya hanya ingin menggarisbawahi dampak dari keputusan tersebut. Tentu akan sedikit banyak ikut menjawab pertanyaan di atas.
Ketika negara-negara di kawasan seperti Vietnam dan Thailand memiliki kompetisi berjenjang, Indonesia hanya punya satu.
Thailand memiliki Thai League 1, Thai League 2, Thai League 3, Thai League 4, berikut FA Cup, League Cup, dan Thai Champions Cup. Kompetisi di Vietnam pun tak kalah banyaknya, mulai dari V.League 1, V.League 2, Second Division, Cup, Super Cup, U-21 Championship, U-19 Championship, Thien Long Tournament dan sebagainya.
Tidak mengherankan bila tidak hanya di level senior, di berbagai kelompok umur pun kita terseok-seok ketika meladeni mereka.
Dampak dari monokasta sepak bola Indonesia jelas multidimensi. Banyak, bahkan semua pihak ikut terpukul. Mulai dari klub, para pemain, pelatih, sponsor, kepercayaan publik, hingga nasib sepak bola Indonesia.
Klub jelas vakum. Tidak ada pemasukan dari sponsor dan tiket pertandingan. Klub akan berurusan dengan para sponsor yang sudah, sedang, dan akan bekerjasama, berikut segala konsekuensi bisnisnya.
Begitu juga para pemain, pelatih, dan pihak-pihak terkait lainnya. Dapur mereka terancam tak ngebul. Tenaga dan investasi lainnya yang sudah dialokasikan tiba-tiba terputus. Akan ada gelombang pengangguran baru dari klub-klub Liga 2 dan Liga 3.
Masyarakat yang melihat hal ini akan merasa risih. Kepercayaan publik pada para pengelola ikut tergerus. Apakah ada alasan kuat bagi masyarakat di republik ini untuk tetap menaruh kepercayaan?
Liga 1 pun akan kena getah. Dengan hanya bergulirnya kompetisi di antara klub-klub papan atas itu tidak otomatis membuat mereka menjadi primadona. Mereka bolah menjadi pusat perhatian baik dari penggemar maupun media, namun di baliknya ada konsekuensi besar yang harus ditanggung.
Kompetisi tak ubahnya dagelan. Formalitas belaka. Mereka bertanding hanya untuk menyelesaikan agenda yang sudah ditetapkan. Mereka bertarung hanya untuk sekadar memenuhi perjanjian komersial yang sudah diteken.
Persaingan menuruh. Iklim kompetisi tak lagi bergairah. Klub-klub tak perlu risau bila sampai harus menelan pil pahit. Kalah berkali-kali pun tak jadi masalah sebab mereka tidak akan terdepak. Tidak ada alasan yang lebih kuat bagi para kontestan untuk bertarung habis-habisan.
Bila itu terjadi, akan jadi apa sepak bola kita? Bagaimana kualitas para pemain Indonesia nantinya? Bagaimana nasib bibit-bibit muda?
Sudah pasti iklim yang menyedihkan seperti itu hanya akan menghasilkan tim nasional dengan kualitas memprihatinkan.
Kompetisi yang dijalankan seadanya seperti ini level permainan timnas kita tetap terbelakang dibanding Vietnam dan Thailand. Kita masih kalah kelas dari kedua negara yang sudah bisa berbicara di level Asia bahkan mulai menjangkau level dunia.
Bisa dibayangkan hasilnya bila keputusan di atas benar-benar terlaksana setahun ke depan.
Ratu adil
Dalam situasi sepak bola Indonesia yang terkulai lemah, kita menanti datangnya penyelamat dalam diri Ketua Umum PSSI dan pengurus.
Yang akan datang itu diharapkan bisa membenahi keadaan dan mewujudkan cita-cita luhur dari segenap insan sepak bola dalam negeri. Mengangkat derajat sepak bola Indonesia agar lebih kompetitif, bersih, adil, aman, dan menjanjikan. Menjadikan sepak bola sebagai industri yang steril dari mafia skor dan pengatur pertandingan.
Saat ini tengah terjadi "pertempuran" untuk menjadi orang nomor satu, dua, dan seterusnya di induk olahraga sepak bola Indonesia. Perang wacana antarkubu mengemuka. Publikasi dengan segala bumbu membuatnya semakin laris dan terlihat manis dikonsumsi.
Sesungguhnya polesan di depan kamera itu jangan sampai mengaburkan substansi. Kata-kata manis yang diumbar jangan sampai hanya bertujuan mencari simpati sesaat.
Indonesia butuh sosok yang benar-benar serius bekerja. Tokoh yang paham dan kompeten, serta punya visi dan misi jelas dan terukur untuk kepentingan sepak bola.
Ia tidak ubahnya Ratu Adil dalam mitologi Jawa yang datang sebagai juru penyelamat, pemberi keadilan, dan kesejahteraan.
Siapakah dia?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H