Sayangnya, gawang Syahrul Fadil yang menggantikan Nadeo Argawinata sejak menit ke-24 terkoyak jelang bubaran. Menit ke-83 Sebastian Rasmussen berhasil mencatatkan namanya di papan skor untuk memperkecil ketertinggalan.
Paceklik gol di paruh kedua terus berlanjut hingga lima menit tambahan waktu. Upaya dari Indonesia tetap tak membuahkan hasil.
Indonesia yang tetap mendominasi, memiliki sejumlah kesempatan baik melalui aksi individu, kerja sama, maupun percobaan dari luar kotak penalti, tetap tidak mampu memaksa Anthony Pintus memungut bola dari dalam gawangnya untuk ketiga kalinya.
Jelas, sebagaimana terlihat di laga-laga sebelumnya, penyelesaian akhir masih menjadi salah satu pekerjaan rumah terbesar yang perlu diselesaikan Shin Tae-yong dan tim pelatih.
Banyak komentar pedas dari warganet usai laga. Menyoroti "finishing" para pemain Indonesia. Hal ini terus dibayangi salah satu pengalaman paling miris yang terjadi di pertandingan sebelumnya. Cerita Witan Sulaeman dan gawang kosong Thailand masih terus membayang.
Apakah bayangan gelap ini bakal tersaput di laga "hidup-mati" nanti?
Kedua, soliditas dan koordinasi antarlini. Di balik gol-gol penting yang dicetak dengan cara dan melalui proses ciamik, terselip berbagai kekurangan dari permainan Indonesia.
Dari berbagai aksi individu yang menuai decak kagum ada sisi lain yang perlu diperhatikan sebagai sebuah tim.
Dua laga terakhir menunjukkan rentannya Indonesia sehingga bisa dibobol dalam posisi memimpin. Saat-saat kritis ketika fokus dan konsentrasi mulai berkurang karena fisik yang mulai menurun, lawan justru bisa mengambil kesempatan.
Begitu juga ketika asyik menekan, Indonesia mudah kehilangan koordinasi sehingga terbuka celah yang bisa dimanfaatkan lawan.
Ada kritik pedas dari netizen Tanah Air usai laga kali ini. Itu terkait aksi individu para pemain Indoensia yang dianggap terlalu individualistis. Bermaksud menunjukkan skill yang dimiliki tetapi kemudian terbaca sebagai upaya mempertontonkan egoisme.