"Sesuatu yang menyentuh saya adalah ketika saya melihat foto anak-anak karena sepak bola membuat orang bermimpi. Kami membiarkan anak-anak bermimpi, kami menjaga mimpi itu tetap hidup." (Walid Regragui)
Tim nasional sepak bola Kroasia akhirnya mengunci posisi ketiga di Piala Dunia 2022. Tim berjuluk Vatreni sukses memupuskan harapan Maroko untuk menjadi negara Afrika pertama yang sanggup finis di posisi tersebut.
Duel yang berlangsung di Stadion International Khalifa, Sabtu (17/12/2022) malam WIB berakhir dengan skor 2-1 untuk keunggulan Kroasia.
Ketiga gol itu terjadi di paruh pertama. Bek muda yang tengah berada dalam radar banyak klub top Eropa, Josko Gvardiol membuka keunggulan Kroasia saat laga baru berjalan sembilan menit. Ia menyambut tendangan Ivan Perisic sambil melayang di udara. Indah!
Gol sundulan bek tengah itu langsung direspon Achraf Dari dari Maroko dua menit berselang juga dengan tandukan jarak dekat. Gol cantik yang berbau spekulasi dari Mislac Orsic jelang turun minum, tepatnya di menit ke-42 akhirnya menjadi pembeda.
Apakah di balik pertandingan ini ada banyak hal menarik yang patut dicatat? Tentu!
Kedua tim memang belum sepenuhnya "move on" dari kegagalan tampil di final. Namun, baik Vatreni maupun Singa Atlas sama sekali tidak menunjukkan kekecewaan dan penyesalan yang masih tersisa itu di laga terakhir mereka di Qatar.
Pertandingan yang digelar sehari sebelum perebutan trofi juara yang mempertemukan Prancis versus Argentina, tetap tidak kehilangan magnet.
Kedua pelatih, Zlatko Dalic di kubu Kroasia dan Walid Regragui di pihak Maroko tetap mengandalkan sebagian besar pemain utama. Mereka mengkombinasikan kekuatan utama dengan beberapa pemain lain yang tidak memiliki menit bermain yang cukup atau sejak laga pertama hanya menjadi penghangat bangku cadangan.
Jelas rotasi ini sebagai upaya menyiasati kondisi tim terkini plus kesempatan bagi para pemain mendapat pengalaman di panggung besar Piala Dunia.
Zlato Dalic memasukan Josip Stanisic dan Josip Sutalo untuk menemani Gvardiol di jantung pertahanan. Duo Josip itu akhirnya merasakan menit bermain pada edisi kali ini.
Tidak sampai di situ. Lovro Majer dan Mislav Orsic yang selalu diandalkan sebagai pemain pengganti akhirnya naik level sebagai starter. Â Keduanya menemani Luka Modric, Mateo Kovacic, dan Ivan Perisic untuk menjaga keseimbangan di lini tengah dan membantu Andrej Kramaric dan Marko Livaja di lini serang.
Walid Regragui menempatkan Bilal El Khannouss dalam "starting line-up". Ini menjadi momen spesial bagi gelandang berusia 18 tahun kelahiran Belgia. Pemain Liga Pro Belgia Genk itu pun bisa merasakan debut di Piala Dunia dan tim nasional Maroko.
Secara keseluruhan permainan tetap atraktif meski patut diakui Maroko tidak dalam bentuk terbaik seperti terlihat sejak laga pertama. Singa Atlas yang garang saat menerjang pertahanan lawan di satu sisi namun solid ketika ditekan.
Beberapa pemain yang secara individu berada di jalur positif sejak awal sedikit kehilangan sentuhan terbaik. Achraf Hakimi salah satunya.
Terlepas dari itu, pertarungan ini tetap ketat. Kedua tim jelas bertarung untuk menang. Target medali perunggu sebagai harapan terakhir mereka perjuangkan dengan mengerahkan sisa-sisa tenaga dan semangat.
Secara keseluruhan penguasaan bola berimbang. Kroasia sedikit unggul dengan 51 persen berbanding 49 persen. Jumlah "shots" dan "shots on target" juga tak berbeda jauh.
Kroasia mencatat empat tendangan tepat sasaran dari 12 percobaan. Maroko yang tidak tampil seperti sebelumnya hanya bisa mengukir dua sepakan ke arah gawang Dominik Livakovic dari sembilan upaya.
Prestasi Negara 4 Juta Jiwa
Manarik dicatat, Kroasia bukanlah negara besar secara populasi. Jumlah penduduk di negara pecahan Yugoslavia itu sekitar empat juta orang.
Angka tersebut jauh, bahkan sangat jauh dari begitu banyak negara yang hanya menjadi penonton Piala Dunia 2022. Salah satunya adalah Indonesia. Betapa lebar jurang perbedaan antara empat juta dan 270-an juta jiwa!
Tapi itulah kenyataan yang harus diterima. Ketika negara mungil berbentuk bulan sabit di Balkan itu sudah bisa berbicara banyak di panggung dunia, masih banyak negara yang memiliki potensi sumber daya manusia jauh lebih memadai masih sekadar menjadi pengamat dan penonton.
Kroasia sudah tampil di enam edisi Piala Dunia. Dalam waktu singkat sejak memerdekakan diri, mereka sudah bisa mengguncang dunia. Prestasi terbaik adalah runner-up Piala Dunia 2018.
Setelah mencapai final edisi sebelumnya di Rusia, Kroasia masih tetap bisa bersaing dengan sebagian besar kekuatan "generasi emas." Nyaris ke final lagi. Meski gagagal, mereka masih bisa merebut medali perunggu dari Maroko.
Kroasia sudah mengumpulkan satu perak dan dua perunggu. Perunggu sebelumnya didapat pada edisi 1998 di Prancis, menumbangkan Belanda 2-1.
Kroasia kemudian semakin menegaskan dominasi negara Eropa di Piala Dunia. Dalam sejarah perebutan tempat ketiga, hampir seluruhnya jatuh ke tangan wakil Benua Biru.
Kroasia memastikan wakil UEFA sudah 17 kali dari 20 kesempatan tidak pernah kehilangan tempat ketiga. Hanya dua negara dari Amerika Selatan yang mampu merusak dominasi mutlak Eropa yakni ketika Brasil merebutnya pada 1938 dan 1978 dan Chila melakukannya pada 1962.
Kekuatan mimpi
Kita tentu tidak bisa melupakan Maroko. Singa Atlas yang sudah menunjukkan tajinya melalui permainan aktif dan atraktif dengan begitu banyak kisah dari pinggir lapangan.
Posisi ketiga belum menjadi milik mereka. Tetapi mereka sudah menorehkan tinta emas bagi sepak bola Afrika. Akhirnya dari kawasan itu bisa mengutus wakil lebih jauh dari perempat final seperti pernah diukir negara-negara langganan yang kualitas sepak bolanya sudah dikenal dunia yakni Senegal (2002), Kamerun (1990), dan Ghana (2010).
Prestasi Maroko ini tentu menjadi tonggak baru bagi sepak bola di negara itu khususnya dan di Afrika umumnya. Para pemain Maroko menjadi buah bibir dan berada dalam incaran para pencari bakat dari Eropa.
Selanjutnya, negara dan kawasan itu bakal semakin terpacu untuk bisa terbang lebih tinggi. Bukan tidak mungkin, Maroko dan negara-negara Afrika lainnya akan termotivasi melakukannya di Amerika Utara, empat tahun mendatang.
Para pendukung tidak kehilangan gairah setelah langkah tim kesayangannya dihentikan Prancis. Tabuhan gendang dan pekikan dari sisi lapangan tidak mengendur.
Pelatih Maroko, selalu menekankan tentang mimpi. Baginya, mimpi itu gratis dan tidak ada seorang pun yang bisa melarang.
Kekuatan itulah yang membuat mereka sanggup mengubah diri dari  tim yang tidak diperhitungkan menjadi "pembunuh" raksasa.
Regragui memang kecewa mimpi besar mereka untuk membawa trofi Piala Dunia 2022 ke Afrika tak berpelukan dengan kenyataan. Namun, mereka sudah menunjukkan sisi lain yang tak boleh diremehkan. Kekuatan mimpi.Â
"Sesuatu yang menyentuh saya adalah ketika saya melihat foto anak-anak karena sepak bola membuat orang bermimpi. Kami membiarkan anak-anak bermimpi, kami menjaga mimpi itu tetap hidup," tandas Regragui menukil bbc.com.
Pria kelahiran Prancis tetapi lebih mencintai Maroko itu akan terus memelihara mimpi warga Maroko dan para pendukungnya di seluruh dunia.
"Kami telah membuat pencapaian yang fantastis tetapi kami ingin melakukannya lagi. Jika kami dapat terus mencapai semifinal atau perempat final secara reguler, suatu hari kami akan menjuarai Piala Dunia."
Akhir sebuah era?
Sebelum itu, baiklah kita kembali sejenak pada laga kali ini. Memang laga tearkhir Maroko tidak berakhir indah, baik dari sisi hasil akhir maupun penampilan. Manajer dan para pemain Maroko masih sempat bersitegang dengan wasit usai laga. Mereka sepertinya kecewa atas keputusan sang pengadil pertandingan.
Dari sisi Kroasia ini menjadi Piala Dunia terakhir bagi beberapa pemain yang selama ini menjadi tulang punggung Kroasia menjadi kekuatan elite dunia.
Kesempatan pamungkas bagi dunia melihat para pemain seperti Luka Modric beraksi di pentas akbar itu. Modric yang sudah berusia 37 tahu menandai penampilan ke-162 bagi negaranya dengan medali perunggu.
Gelandang Real Madrid yang masih terlihat bugar, belum kehilangan sentuhan dan pergerakan ciamik, dan kecerdasan membaca ruang. Pemain yang punya cita-cita mengakhiri karier di Spanyol itu masih menjadi jantung permainan Kroasia.
"Ini adalah Piala Dunia terakhir untuk beberapa pemain saya karena usia mereka," tandas Zlato Dalic melansir bbc.com.
Apakah dengan demikian akan menjadi akhir sebuah era? Apa jadinya Kroasia tanpa Modric dan rekan-rekan seangkatan?
Dalic tetap optimis. Rantai regenerasi mereka sudah tercipta. Mereka tak perlu risau lantaran ada banyak pemain muda di bangku cadangan yang sudah dan akan mewarisi kepercayaan dan tanggung jawab dari para senior.
"Kroasia tidak perlu takut akan masa depan. Apakah ini akhir dari sebuah era? Saya yakin tidak, kami memiliki Nations League dan Kejuaraan Eropa pada 2024. Saya yakin Kroasia memiliki masa depan yang menakjubkan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H