Para pendukung tidak kehilangan gairah setelah langkah tim kesayangannya dihentikan Prancis. Tabuhan gendang dan pekikan dari sisi lapangan tidak mengendur.
Pelatih Maroko, selalu menekankan tentang mimpi. Baginya, mimpi itu gratis dan tidak ada seorang pun yang bisa melarang.
Kekuatan itulah yang membuat mereka sanggup mengubah diri dari  tim yang tidak diperhitungkan menjadi "pembunuh" raksasa.
Regragui memang kecewa mimpi besar mereka untuk membawa trofi Piala Dunia 2022 ke Afrika tak berpelukan dengan kenyataan. Namun, mereka sudah menunjukkan sisi lain yang tak boleh diremehkan. Kekuatan mimpi.Â
"Sesuatu yang menyentuh saya adalah ketika saya melihat foto anak-anak karena sepak bola membuat orang bermimpi. Kami membiarkan anak-anak bermimpi, kami menjaga mimpi itu tetap hidup," tandas Regragui menukil bbc.com.
Pria kelahiran Prancis tetapi lebih mencintai Maroko itu akan terus memelihara mimpi warga Maroko dan para pendukungnya di seluruh dunia.
"Kami telah membuat pencapaian yang fantastis tetapi kami ingin melakukannya lagi. Jika kami dapat terus mencapai semifinal atau perempat final secara reguler, suatu hari kami akan menjuarai Piala Dunia."
Akhir sebuah era?
Sebelum itu, baiklah kita kembali sejenak pada laga kali ini. Memang laga tearkhir Maroko tidak berakhir indah, baik dari sisi hasil akhir maupun penampilan. Manajer dan para pemain Maroko masih sempat bersitegang dengan wasit usai laga. Mereka sepertinya kecewa atas keputusan sang pengadil pertandingan.
Dari sisi Kroasia ini menjadi Piala Dunia terakhir bagi beberapa pemain yang selama ini menjadi tulang punggung Kroasia menjadi kekuatan elite dunia.
Kesempatan pamungkas bagi dunia melihat para pemain seperti Luka Modric beraksi di pentas akbar itu. Modric yang sudah berusia 37 tahu menandai penampilan ke-162 bagi negaranya dengan medali perunggu.