Agenda pertandingan Piala Dunia 2022 menyisahkan dua pertandingan terakhir. Sebelum partai final akan diselenggarakan perebutan tempat ketiga.
Duel mempertemukan Kroasia versus Maroko di Stadion Internasional Khalifa pada Sabtu (17/12/2022) dimulai pukul 22:00 WIB. Partai ulangan fase Grup F, Â Rabu (23/11/2022) lalu yang saat itu berakhir dengan skor kaca mata.
Tentu, tensi, situasi, dan orientasi kali ini berbeda. Kedua tim menghadapi laga ini dengan rasa sesal dan kecewa yang belum sepenuhnya lesap usai disingkirkan Argentina dan Prancis. Laga pelampiasan dan pelipur lara setelah gagal melangkah ke partai pamungkas.
Tidak ada piala yang diperebutkan, selain medali perunggu. Konsekuensi berat malah harus siap ditanggung. Luka sakit hati gagal ke final bisa bertambah perih bila kembali menelan kekalahan.
Apakah dengan demikian perebutan tempat ketiga tidak lagi menarik dan penting? Tidak sesederhana itu, kawan!
Pertama, secara historis, perebutan tempat ketiga di Piala Dunia selalu terjadi dari edisi ke edisi. Kecuali edisi 1930 yang pemenangnnya ditentukan berdasarkan penampilan keseluruhan dan edisi 1950 yang mengambil format "round-robin".
Selain itu, selalu rutin digelar sejak 1934 yang dimenangkan Jerman (3-2 Uruguay) hingga 2018 di Rusia yang menjadi milik Belgia (2-0 Inggris).
Sepanjang itu banyak catatan menarik yang bisa dikedepankan. Jerman (termasuk Jerman Barat) menjadi pemegang rekor finis ketiga terbanyak. Empat kali finis di posisi ini (1934, 1970, 2006, dan 2010).
Di posisi kedua ada Polandia, Prancis, Swedia, dan Brasil yang dua kali pulang sebagai nomor tiga.
Di sisi berbeda, Uruguay menjadi negara paling apes dalam perebutan posisi ketiga. Tiga kali bertarung, tiga kali pula gagal. Itu terjadi pada 1954 (kalah 1-3 dari Austria), 1970 (kalah 0-1 dari Jerman Barat), dan 2010 (kalah 2-3 dari Jerman).
Argentina dan Spanyol adalah tim pemenang Piala Dunia yang belum pernah terlibat dalam pertandingan perebutan posisi ketiga. Namun, Spanyol pernah finis di posisi keempat pada 1950 dalam format "round robin" kalah dalam perhitungan poin keseluruhan dari Swedia yang menempati posisi ketiga.
Kedua, pihak penyelenggara menyadari pamor perebutan tempat ketiga tidak sedahsyat final. Atensi dunia dan para penonton tentu lebih tertuju pada partai pamungkas.
Apalagi digelar dalam waktu berdekatan sehingga orang-orang akan lebih memilih mempersiapkan diri ke stadion final ketimbang ke lokasi perebutan posisi ketiga.
Karena itu, panitia mengambil pilihan logis dan ekonomis dalam urusan stadion. Memilih stadion dengan kapasitas lebih kecil dengan asumsi penonton yang datang mayoritas dari kedua tim yang bertanding.
Ternyata, anggapan ini tidak selalu tepat. Menempatkan perebutan tempat ketiga pada prioritas rendah tidak sepenuhnya akurat.
Piala Dunia 1994 menjadi bukti. Pertandingan antara Swedia versus Bulgaria yang digelar di Stadion Rose Bowl itu banjir penonton. Rekor baru pun tercipta dengan kehadiran 91.500 penonton untuk pertandingan yang berakhir 4-0 untuk kemenangan Swedia.
Contoh di atas bisa jadi sebuah anomali. Tidak terjadi di setiap atau sebagian besar Piala Dunia. Pada edisi kali ini, pihak penyelenggara pun tidak optimis bakal mengukir catatan tersendiri.
Stadion Internasional Khalifa dipilih sebagai tempat Maroko dan Kroasia bertarung untuk memberi kemenangan dan hiburan bagi para penggemarnya. Kapasitas stadion itu hanya 40 ribu kursi, separuh dari Stadion Lusail yang menjadi venue final antara Argentina kontra Prancis sehari berselang.
Tarian terakhir Modric
Ketiga, bagi para penonton pilihan menonton perebutan tempat ketiga bisa terjerumus dalam dua ekstrem. Kecewa karena laga membosankan alias tidak menarik. Berdecak kagum karena mendapat sajian yang sungguh menghibur.
Sepanjang penyelenggaraan pertandingan perebutan tempat ketiga, dua hal tersebut kerap terjadi. Tim-tim peserta akan memanfaatkan laga ini sebagai kesempatan bagi para pemain yang belum mendapat menit bermain. Prioritas bukan pada kemenangan, tetapi keadilan bagi para pemain.
Di sisi berbeda, duel perebutan tempat ketiga pernah menghadirkan laga-laga sengit dan menarik. Hujan gol dan rekor pun bisa tercipta.
Pertarungan yang berlanjut hingga babak perpanjangan waktu seperti saat Prancis menggasak Belgia 4-2 pada 1986. Ini menjadi skor terbesar di turnamen itu. Â Juga banjir sembilan gol saat Prancis menggasak Jerman barat 6-3 pada 1958.
Tentu masih segar dalam ingatan duel Turki menghadapi tuan rumah Korea Selatan pada edisi 2022. Di balik kemenangan Turki 3-2 untuk memupus harapan Kesatria Taeguk, terdapat rekor dunia.
Gol pertama Turki melalui Hakan Sukur masuk dalam lembaran sejarah Piala Dunia. Eks pemain Galatasaray dan Inter Milan saat itu membobol gawang Lee Woon-jae saat pertandingan baru berjalan 10,8 detik. Sejarah baru pun tercipta di Daegu World Cup Stadium, 29 Juni 2022.
Apakah ada sejarah yang akan tercipta saat Kroasia menghadapi Maroko?Â
Mesi tanpa piala, hemat saya, duel ini akan tetap menarik atensi. Bagi Maroko lolos semifinal dan bertarung untuk tempat ketiga adalah prestasi membanggakan. Negara Afrika pertama yang sanggup melakukannya. Menempati posisi ketiga bisa menjadi klimaks bagi Achraf Hakimi dan kolega. Mereka bisa pulang dengan kepala tegak usai menorehkan kenangan indah di panggung besar Piala Dunia.
Kroasia yang edisi sebelumnya menjadi runner-up tidak ingin meraih hasil jauh lebih buruk. Â Bagi beberapa pemain senior Kroasia seperti Luka Modric, Domagoj Vida, Ivan Perisic, dan Dejan Lovren, Qatar bisa menjadi panggung dedikasi terakhir mereka.Â
Usia mereka yang sudah lewat kepala tiga tidak memungkinkan lagi tetap berada dalam kondisi yang sama saat edisi berikutnya digelar. Bukti bakti terakhir mereka akan ditunjukkan di laga ini.
Bisa jadi ini menjadi tarian terakhir bagi para senior itu. Kesempatan terakhir bagi dunia untuk melihat goyangan dan ketangguhan Modric yang berupaya menggendong Kroasia agar tidak dua kali menelan pil pahit beruntun.
Uang
Keempat, selain sejarah, tradisi, ambisi, dan formalitas, ada faktor penting lain yang membuat laga yang bisa dianggap tidak penting ini tetap krusial.
Itu adalah uang. Faktor finansial yang membuat FIFA dan negara peserta sangat sulit berkata tidak.
FIFA tetap kebagian fulus dari satu laga ini yang didapat dari hak siar dan sponsor yang angkanya tidak sedikit. Paket siaran dan sponshorship sudah diteken jauh-jauh hari, tidak terkecuali melibatkan pertandingan ini.
Begitu juga bagi peserta. Pemenang tempat ketiga akan membawa pulang sekitar 27 juta USD (Rp 423 miliar) dan 25 juta USD (Rp 392 miliar) bagi posisi keempat.
Jumlah tersebut memang lebih sedikit dibanding dua finalis. Sang juara akan diguyur bonus 42 juta USD (Rp 659 miliar) dan 30 juta USD (Rp 470 miliar) untuk runner-up.
Namun, angkanya lebih tinggi dibanding tim peringkat kelima hingga kedelapan yang kebagian 17 juta USD (Rp 266 miliar).
Pengeluaran FIFA untuk hadiah memang begitu jor-joran. Terus mengalami peningkatan dari edisi sebelumnya. Ada lonjakan 50 juta USD sejak Piala Dunia 2014.
Hal ini tentu tidak lepas dari pendapatan yang diraup. Sebuah potret lumrah dari industri sepak bola masa kini yang bergelimang uang.
Meski tidak sedikit suara kontra yang keberatan dan menentang pertandingan antara dua tim pesakitan, rupanya godaan uang masih terlalu kuat sehingga FIFA bakal bergeming setidaknya hingga edisi berikutnya, 2026 di Amerika Utara.
Bagi Anda, adakah alasan lain yang membuat duel Maroko kontra Kroasia tetap layak ditonton?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H