Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Rohimah dan Penantian Akhir Perjalanan Panjang RUU PRT

28 November 2022   15:46 Diperbarui: 2 Februari 2023   10:07 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka dibutuhkan, tetapi tidak diakui. Mereka dicari, tetapi tidak dihargai. Mereka berkontribusi, tetapi tidak lebih dari pahlawan tanpa tanda jasa.

Itulah Pembantu Rumah Tangga (PRT). Kehidupan dan panggilan mereka belum juga lepas dari masalah. Belakangan ini mencuat kasus penganiayaan seorang PRT asal Garut bernama Rohimah. Ia disiksa oleh majikannya di Bandung Barat.

Pengungkapannya pun seperti kebetulan. Bermula dari seorang bocah yang melihat ada penampakan seperti "pocong" yang tak lain adalah wanita malang dengan wajah tak wajar itu.

Rohimah dan sang majikan yang keji itu kemudian jadi viral di waktu bersamaan. Berkat sosial media, berbagai potongan video amatir secepat kilat tersebar. Kemudian menjadi konsumsi luas.

Namun, popularitas mendadak itu tidak lantas menyelesaikan masalah. Rohimah boleh saja dibebaskan dari belenggu. Sebagai korban yang terpasung selama ini boleh menghirup udara bebas.

Begitu juga para majikan sudah mendapat sanksi hukum plus hukuman sosial. Apakah penderitaan Rohimah sudah terbayar lunas? Apakah para pelaku sudah mendapat hukuman setimpal? Lebih penting lagi, apakah kasus serupa tidak bakal terjadi lagi?

Potret Rohimah adalah satu dari sekian banyak cerita miris PRT yang menjadi sasaran tindak kekerasan.

Cerita-cerita memilukan itu tidak hanya terjadi di dalam negeri dan dilakukan oleh saudara sebangsa. Tidak sedikit "duta bangsa" yang mengais devisa di luar negeri diperlakukan tak adil oleh majikan mereka.

Ada yang kemudian pulang dalam keadaan tak bernyawa.  Masih ingat Adelina Sau, PRT migran dari NTT yang meregang nyawa di tangan majikannya di Malaysia?

Sumber: https://www.dpr.go.id/
Sumber: https://www.dpr.go.id/

Komnasperempuan.go.id, meneruskan data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), melaporkan sepanjang 2017, terjadi 217 kasus kematian pekerja migran Indonesia di mancanegara, dengan 69 kasus (32 persen) terjadi di Malaysia.

Entah sampai kapan guratan miris PRT dan pekerja migran akan berakhir. Upah rendah, kekerasan fisik, jam kerja yang tidak manusiawi, perekrutan ilegal, sasaran perdagangan orang (human trafficking), tidak mendapat jaminan perlindungan tenaga kerja dan kesehatan, hak libur atau cuti yang tak jelas, korban peradilan sesat, tanpa perlindungan hukum adalah bagian kecil dari daftar pajang masalah mereka.

Selama tidak ada langkah konkret dari pemerintah untuk melakukan perlindungan hukum dan menjamin hak-hak mereka, minimnya persiapan dan pendampingan para tenaga kerja agar lebih profesional dan memiliki keahlian, serta bergerak bebasnya para calo tenaga kerja maka kisah-kisah pilu berikutnya hanya menunggu waktu.

Sebenarnya sudah ada harapan positif melalui Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Namun, statusnya masih sebatas rancangan dan sudah berumur lebih dari 15 tahun di tangan DPR.

Entah mengapa RUU PRT itu belum juga dirativikasi, meski sudah masuk dalam program legislasi DPR periode 2019-2024.

Banyak pihak pesimis dengan upaya dan komitmen pemerintah bagi PRT. Mandeknya RUU PRT sejak 2004 menjadi bukti. Belum lagi, berbagai pro kontra  dan revisi membuat penantian momen ketuk palu semakin tak pasti.

Padahal, kehadiran UU tersebut krusial. Itulah instrumen pengakuan formal akan status mereka sebagai pekerja yang memiliki hak-hak tertentu termasuk perlindungan seperti pekerja pada umumnya.

PRT di Indonesia mayoritas perempuan dan cukup banyak adalah anak perempuan. Mereka pun memiliki hak yang sama seperti pekerja lainnya. Sudah saatnya mereka berada dalam posisi yang layak, diperlakukan secara adil, memiliki posisi tawar yang pantas, dan punya hak dan kewajiban yang jelas.

Keberadaan mereka yang hampir setua usia manusia dan jumlahnya begitu besar baik di Indonesia maupun dunia, peran penting mereka sudah tak diragukan lagi.

Mereka bekerja tidak hanya untuk menjamin kehidupan dan roda ekonomi keluarga. Mereka juga ikut berkontribusi bagi kehidupan dan keberlangsungan rumah tangga individu dan negara.

Kita bisa meminta konfirmasi pada keluarga-keluarga yang mempekerjakan PRT. Begitu juga mencari tahu berapa besar sumbangan mereka pada ekonomi keseluruhan.

Sebuah pengalaman

Selain perangkat dan pengakuan formal, penting pula setiap majikan memiliki sikap dan pandangan yang benar. Para pemberi kerja perlu menempatkan PRT laiknya manusia yang bermartabat.

Jangan sampai karena menganggap diri pemberi kerja, majikan bertindak sesuka hati. Diperlakukan secara tak adil dan tak beradab.

Memang dalam pengalaman sehari-hari tidak semua tindakan mereka bisa menyenangkan hati dan memuaskan. Terkadang mereka melakukan kesalahan, entah sengaja atau tidak. Namun, tetap perlu memperlakukan secara wajar, denga pujian dan penghargaan yang pantas, dengan sanksi yang wajar.

Sejauh pengamatan dan pengalaman saya, memang tidak mudah mendapat PRT sebagaimana yang diinginkan. Setiap pemberi kerja memiliki kriteria tersendiri. Begitu juga dari sisi PRT tidak sepenuhnya sanggup memenuhi keinginan dan harapan pemberi kerja.

Bila itu terjadi, maka sebaiknya dikomunikasikan secara terbuka. Memberikan kepada mereka apa yang menjadi hak mereka. Dengan begitu mereka akan melayani dengan sungguh.

Pertama, memperlakukan mereka dengan hormat. Seperti disinggung di atas, mayoritas PRT adalah perempuan.

Tidak sedikit yang sudah berusia dewasa, bahkan seumuran dengan ibu atau terkadang nenek sang majikan.

Sulit membayangkan bila mereka itu kemudian mendapat perlakuan tak manusiawi. Menjadi sasaran amarah, tong sampah kata-kata tak sopan, bahkan kekerasan fisik.

Memang soal kualitas pekerjaan terkadang tidak bisa dikompromi. Namun, tidak menjadi alasan untuk tidak menaruh respek dengan memanggil namanya dengan sopan, menyapanya seperti anggota keluarga, juga memberikan perhatian yang semestinya.

Memenuhi kebutuhan dasarnya, memberikan makanan yang sesuai, dan membiarkannya tinggal di tempat yang nyaman. Mereka sudah meninggalkan keluarga untuk melayani maka tidak ada alasan untuk merendahkan mereka.

Majikan yang memperlakukan PRT dengan penuh hormat secara tidak langsung akan memberi teladan positif dan menanamkan kepada anak-anaknya tentang nilai kemanusiaan yang luhur itu.

Kedua, saya meyakini, kebaikan akan menular dan akan kembali pada kita, cepat atau lambat.

Bersikap baik pada PRT dengan sendirinya akan membuat mereka merasa dihargai. Memperhatikan saat mereka menghadapi masalah, kala mereka jatuh sakit, mendapat musibah, juga kemalangan lainnya. Mereka juga manusia yang tidak lepas dari problem.

Mereka akan bekerja dengan penuh dedikasi. Kebaikan yang kita tanamkan, niscaya akan berbuah. Buahnya itu langsung kita rasakan dari pelayanan tanpa pamrih. Juga akan dilipatgandakan oleh orang lain.

Ketiga, membayar PRT tidak berarti kita "membeli" mereka. Semua pekerjaan dibebankan kepada mereka karena kita merasa telah menggaji mereka.

Justru dengan cara seperti itu, PRT akan tertimpa masalah. Mereka merasa tidak nyaman, jatuh sakit, bahkan memilih kabur.

Alhasil, pekerjaan rumah tangga terbengkalai. Perjuangan mencari ART dengan segala lika-likunya kembali dimulai dari titik nol.

Keempat, terkadang kita menempatkan PRT itu sebagai manusia super yang sudah tahu segala. Tanpa perlu komunikasi yang jelas, apa yang diharapkan itu dengan sendirinya akan terpenuhi.

Padahal, mereka tetaplah manusia biasa yang butuh komunikasi dengan jelas dan tepat. Tidak hanya soal pekerjaan sehari-hari, tetapi juga kehidupan pribadinya.

Kelima, apresiasi. Penting menunjukkan penghargaan kepada mereka. Lewat kata-kata pujian, bingkisan, uang, atau jatah liburan atau cuti. Dengan cara itu mereka dikuatkan dan mereka akan merasa kerja keras mereka sungguh dihargai.

Hal lain yang lekat dengan apresiasi adalah soal kepercyaan. Memang antara majikan dan PRT tetap memiliki batasan tertentu. Tidak semua hal bisa diterabas, sama halnya majikan tidak bisa seenaknya menerobos hingga batas-batas hak asasi pekerja.

Kepercayaan yang diberikan pun jangan sampai membabi buta. Cukup memperlakukan dia dengan baik maka ia akan tahu bahwa kita mempercayainya. Ini akan terbangun ikatan kepercayaan dan loyalitas yang kuat.

Apakah Anda sudah memperlakukan PRT dengan baik?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun