Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Kemenangan Maroko Tunjukkan Titik Lemah Belgia dan Jepang Batal Kunci Tiket 16 Besar

28 November 2022   00:07 Diperbarui: 28 November 2022   07:43 2488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Selebrasi pemain Maroko usai bobol gawang Belgia di matchday kedua Grup F Piala Dunia 2022: AFP/MANAN VATSYAYANA via Kompas.com

Piala Dunia 2022 adalah panggung akbar yang penuh kejutan. Setelah Argentina dan Jerman ditumbangkan dua wakil Asia yakni Arab Saudi dan Jepang di matchday pertama, kali ini giliran Belgia dan Jepang dipecundangi tim-tim yang di atas kertas kurang diunggulkan.

Dua kejutan terbaru itu terjadi di pekan kedua yang berlangsung pada Minggu (27/11/2022) petang hingga malam hari WIB.

Maroko di luar dugaan membuat generasi emas Belgia tak berdaya. Pertandingan Grup F yang digelar di Al Thumama Stadium itu menjadi milik skuad Singa Atlas dengan kemenangan dua gol tanpa balas.

Beberapa jam sebelumnya, langkah positif Jepang tersandung di hadapan Kosta Rika, tim yang di pertandingan pertama menjadi lumbung tujuh gol Spanyol.

Los Ticos, julukan timnas Kosta Rika ternyata tidak seperti yang diduga. Kekalahan telak beberapa hari lalu tidak membuat mereka otomatis memenuhi prediksi sebagai tim paling lemah di Grup E.

Buktinya, wakil CONCACAF itu justru bisa mengejutkan Jepang, sang "pembunuh" pemilik empat gelar Piala Dunia yakni Der Panzer. Momen dramatis tersebut terjadi di Stadion Ahmed bin Ali, Al-Rayyan.

Pelajaran dari Maroko

Tim mana saja bisa mengalami nasib nahas di panggung besar ini. Bila tidak hati-hati apalagi terlampau jemawa maka bersiap menelan pil pahit.  Itu adalah pelajaran paling dasar dan kasat mata yang harus dicamkan setiap tim dan para penggemarnya.

Hal tersebut jelas tidak tampak sederhana. Semua kontestan jelas bertanding dengan sungguh-sungguh. Kejutan demi kejutan sudah selalu mengiringi perjalanan sepak bola dari turnamen ke turnamen. Oleh sebab itu tidak ada yang menghadapi pertandingan dengan besar kepala.

Lantas, mengapa tim-tim favorit justru bertekuk lutut di hadapan yang kurang dijagokan? Apa yang salah dengan permainan Belgia dan Jepang?

Kedua tim sama-sama mendominasi pertandingan alias memegang "ball possession." Namun, penguasaan bola tidak selalu berbanding lurus dengan gol dan kemenangan.

Menguasai bola tidak otomatis mampu mengukir banyak peluang dan melesatkan banyak gol. Persis itulah yang terjadi dengan Setan Merah dan Samurai Biru.

Belgia yang dihuni para pemain top dan dianggap berada dalam periode emas seperti Thibaut Courtois, Kevin De Bruyne, Eden Hazard, dan masih banyak lagi, ternyata tidak bisa memperagakan sepak bola seperti yang diharapkan.

Secara individu mereka adalah bintang di klub masing-masing. Seperti De Bruyne yang keandalannya di lini tengah Manchester City nyaris membawanya ke panggung Ballon d'Or tahun ini. Begitu juga, tidak ada yang meragukan kualitas Hazard ketika bermain untuk Chelsea. Kedigdayaan Courtois di bawah mistar gawang membuat Real Madrid nekat membajaknya dari Chelsea.

Ketika mereka bersatu, jalan cerita bisa berbeda. Mereka bisa saja tetap menjadi kepingan-kepingan permata yang terpisah-pisah. Tidak mudah bagi pelatih Roberto Martinez untuk menemukan formula dan memadukan mereka menjadi tim yang kokoh, padu, agresif, dan produktif, sebagaimana mereka tunjukkan di level klub.

Menghadapi Maroko, Belgia mampu mendominasi dengan penguasaan bola 67 persen berbanding 33 persen.

Hanya saja, jumlah peluang kedua tim berimbang. Sama-sama melepaskan 10 percobaan. Dari sisi efektivitas, Belgia harus angkat topi pada Maroko.

Hakim Ziyech, Achraf Hakimi, dan kawan-kawan memiliki empat tembakan tepat sasaran, dengan dua dari antaranya berbuah gol. Belgia memiliki tiga "shots on target" dengan tak satu pun berakhir di papan skor.

Hal ini jelas menunjukkan dari sisi efektivitas, Belgia harus belajar dari wakil Afrika itu. Belgia boleh memiliki amunisi dan kedalaman skuad yang mewah, tetapi mereka tidak mampu memperagakan sepak bola atraktif dan efektif.

Dari sisi pola permainan,  Roberto Martinez yang mengandalkan formula 3-4-3 tampak kurang kreatif saat menyerang. Situasi ini berbeda dengan skuad racikan Walid Regragui yang bermain lebih dinamis dan begitu berbahaya dari berbagai sisi.

Maroko yang beberapa kali mengancam dengan pergerakan eksplosif para pemainnya akhirnya menghukum Belgia dengan gol telat di menti ke-73 dan 90+2, masing-masing oleh Abdelhamid Sabiri dan Zakaria Aboukhlal.

Entah mengapa Belgia tidak belajar dari gol pertama Maroko yang terselamatkan oleh  VAR. Tendangan bebas Ziyech yang berhasil mengelabui Courtois dianulir karena Romain Saiss dinilai lebih dahulu berada dalam posisi offside.

Belgia yang tampil buruk di paruh pertama berusaha memperbaiki diri setelah jeda. Penampilan Hazard jauh dari memuaskan. Pesona yang ia tunjukkan di level klub sama sekali tidak terlihat. Keputusan menggantinya dengan Dries Mertens adalah pilihan tepat.

Sayangnya, tidak ada hasil positif yang dipetik sampai Maroko membuka keunggulan.

Patut diakui gol pertama tidak lepas dari kesalahan Courtois. Ia gagal membaca dengan cermat tendangan bebas Sabiri yang bisa mengecohnya di tiang dekat.

Penampilan buruk Belgia harus dibayar mahal dengan gol pamungkas dari Maroko ketika umpan Hakim Ziyech dituntaskan Aboukhlal dengan tandukan mematikan tanpa bisa digagalkan Courtois.

Kemenangan ini membuat Maroko terus membuka harapan ke babak 16 besar. Mereka kini bergerak ke posisi teratas di Grup F dengan empat poin.

Pertandingan tearakhir kontra tim muda Kanada pada awal bulan Desember nanti, akan menjadi tontonan menarik. Kedua tim yang memiliki tipikal permaian cepat akan berjuang untuk kemenangan terakhir di fase grup.

Sedangkan Belgia setelah mendapat ujian di balik kemenangan tipis 1-0 atas Kanada, tidak bisa tidak memanfaatkan laga pamungkas grup kontra Kroasia untuk mendulang poin penuh, bila tidak ingin mimpi generasi emas Belgia untuk berbicara banyak di kesempatan terakhir mereka ini berakhir antiklimaks.

Belgia yang empat tahun lalu mencapai semifinal  Piala Dunia di Rusia dengan materi pemain yang hampir sepenuhnya kembali dipertahankan kelihatan mulai mendekati ujung jalan.

Entah apa yang merasuki mereka sehingga alur serangan terputus-putus, tidak terkonsolidasi, dan tidak berhasil guna. Batshuayi tidak sebagus di laga pertama. Kehadiran Romelu Lukaku yang sepertinya belum sepenuhnya pulih dari cedera tidak lebih dari cameo di saat-saat akhir.  

De Bruyne tidak kelihatan inspirasi, sentuhan, dan pergerakannya seperti bersama City. Pasangan veteran yang mengawal lini pertahanan yakni Jan Vertonghen dan Toby Alderweireld begitu keteteran membendung kecepatan serangan Maroko.

Belgia, terlihat tidak seperti tim yang berada di peringkat dua dunia. Level mereka kali ini tidak terlihat lebih tinggi dari Maroko yang berada 20 tangga di belakangnya.

Blunder Moriyasu

Pemandangan kurang lebih sama terjadi beberapa jam sebelumnya. Jepang menguasai jalannya pertandingan dengan "ball possession" 57 persen. Tiga belas kali melepaskan percobaan hanya tiga tepat sasaran.

Kosta Rika yang tidak dalam posisi bagus untuk menguasai bola hanya empat kali melakukan ancaman dengan satu-satunya "shot on target" yang kemudian berujung gol.

Statistik itu jelas menunjukkan kelemehan Jepang. Selain karena kerja keras dan kerja cerdas Kosta Rika, Jepang yang dominan di semua aspek, ternyata buruk dalam penyelesaian akhir.

Finishing dan sentuhan akhir yang menyedihkan membuat peluang mereka untuk mendapat tiket ke babak 16 besar dari lag aini, sirna.

Tim besutan Hajime Moriyasu tampak frustrasi setelah percobaan demi percobaan tak sangguh meruntuhkan kokohnya benteng pertahanan Kosta Rika yang dijaga kuartet Kendall Waston, Francisco Calvo, Oscar Duarte, dan Bryan Oviedo, dengan Keylor Navas di bawah mistar gawang.

Tembakan Keysher Fuller kemudian menjadi pembeda. Gol semata wayang di menit ke-81 dari satu-satunya "shot on target" yang sanggup dibuat Kosta Rika. Hiroki Sakai, Ao Tanaka, Takefusa Kubo, dan Daizen Maeda tidak dimainkan. Takehiro Tomiyasu yang menjadi pemain pengganti sebelumnya juga tidak dimainkan. Sementara Ito Junya baru diturunkan belakangan.

Pelatih Jepang harus menanggung akibat dari keputusannya melakukan rotasi. Alih-alih memilih kontinuitas, ia justru melakukan lima perubahan.

Ia pun harus membayarnya mahal. Kinerja timnya jauh dari harapan. Membuat mereka membuang peluang emas mendapatkan tiket ke fase "knock out" yang sudah di depan mata.

Selanjutnya, tiket itu harus mereka raih dengan bekerja keras di laga terakhir menghadapi salah satu unggulan, Spanyol.

Strategi Moriyasu yang tidak sesuai harapan itu membuat Kosta Rika bersuka cita. Kemenangan penting skuad Luis Fernando Suarez setelah dipermalukan Tim Matador. Para pemain Kosta Rika merayakan dengan begitu emosional setelah Shuichi Gonda tak mampu menghindari gawangnya dari kebobolan.

Penebusan Kosta Rika di balik penampilan Jepang yang jauh dari kata heroik. Bagian dari kejutan yang membuat Piala Dunia tidak pernah kehilangan daya tarik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun