Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Elon Musk dan Centang Biru Seharga 8 USD, Penanda Era Baru Media Sosial?

3 November 2022   09:28 Diperbarui: 5 November 2022   08:09 829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah Anda pengguna setia Twitter? Bagaimana sambutan Anda pada Elon Musk berikut perubahan yang dibuat usai mengakuisisi sosial media berlogo si burung biru muda itu dengan mahar fantastis Rp628,5 triliun?

Seperti kita tahu, setelah resmi menjadi pemilik baru, orang terkaya di dunia itu langsung melakukan sejumlah gebrakan.

Ia memecat tiga pejabat eksekutif. CEO Parag Agrawal, CFO Ned Segal, dan Chief Legal Officer Vijaya Gadde. Bos Tesla dan SpaceX itu seperti tak peduli dengan kompensasi hampir 200 juta USD itu.

Tidak sampai di situ. Anginn perubahan terlihat semakin kencang sebagaimana yang telah dihembuskan dalam cuitan-cuitan sebelum menjadi pemilik sah.

Membuka borok akan keberadaan 33 persen akun spam atau bot. Juga rencana melonggarkan moderasi.

Selain itu, ada satu terobosan mutakhir yang tengah menjadi buah bibir. Biaya berlangganan. 

Ya, siapa saja sudah bisa mendapat centang biru pada akunnya, barang yang cukup mahal bagi kebanyakan orang. Status yang selama ini ingin dikejar para pengguna agar bisa menyaingi orang-orang penting dan berpengaruh yang memiliki privilese dan jalan ninja tersendiri.

Sekali lagi, siapa pun bisa mendapatnya tanpa harus terlebih dahulu menjadi orang terkenal. Syaratnya cukup merogoh kocek 8 USD atau Rp 125.000 sebagai biaya berlangganan bulanan.

Cuitan Elon Musk: https://twitter.com/elonmusk
Cuitan Elon Musk: https://twitter.com/elonmusk

Apakah rencana pria bernama lengkap Elon Reeve Musk FRS bakal mendapat sambutan positif? Apakah Anda salah satu yang ingin memanfaatkan kesempatan memiliki akun bertanda centang?

Sepertinya bila memang pada akhirnya terlaksana, perubahan itu tidak tanpa konsekuensi. Ada harga yang harus dibayar. Di satu sisi, diminati dan menjadi daya tarik tersendiri. Di sisi lain, justru ditanggapi dingin. Malah bisa menjadi bumerang.

Mari kita bermain dengan dua kemungkinan itu.

Memerangi "bot" dan "troll"

Setelah mengeluarkan uang dalam jumlah besar, si tajir melintir kelahiran Afrika Selatan itu tentu tidak asal melakukan perubahan.

Naluri bisnis yang sudah membuatnya menjadi orang paling makmur di planet ini mendorongnya untuk melakukan sesuatu pada mainan barunya.

Dalam cuitannya yang pendek dan terkesan terputus-putus, Elon sesungguhnya mengungkapkan dengan sedikit gamblang latar belakang di balik setiap perubahan itu.

Soal pemberlakukan layanan platform premium yakni Twitter Blue untuk setiap pengguna yang ingin mendapat centang biru, Elon ingin mengurangi ketergantungan pendapatan hanya dari iklan, menstimulus para konten kreator di Twitter, dan mewujudkan misi mulia: mengatasi masalah "bot" dan "troll."

"Bot" yang cukup melekat dengan platform media sosial seperti Twitter merupakan akun anonim yang digerakan otomatis oleh algoritma, bukan oleh jari-jari manusia. Dengan bantuan "bot" banyak akun tak dikenal lahir dan meramaikan topik tertentu hingga menjadi topik tren.

Sebaliknya, "troll" dibuat dan dijalankan oleh pengguna riil yakni manusia dengan tujuan tertentu. Biasanya, mengusung misi destruktif yakni melakukan agitasi, provokasi, bahkan serangan langsung kepada pengguna lain. Kehadiran "troll" untuk memancing amarah, memecah perhatian, dan menimbulkan efek buruk.

Cara ini acapkali dipakai untuk tujuan politis dan paling mudah kita temukan saat musim kampanye. Bahkan sudah semakin lumrah dan benderang.

Sengaja menghembuskan isu tertentu di jagad maya agar terlihat seksi, entah yang terkait pemerintah, para politisi maupun kelompok tertentu. Saat ada bahan untuk digoreng maka gerombolan "bot" dan aksi "troll" akan merajalela. 

Dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhannya tak pernah sepi dan kelihatan masih awet terpelihara. Tidak terkecuali di antara kita.

Risiko

Masih dari postingannya soal rencana tersebut. Tarif tersebut tidak berlaku sama di setiap negara. Angkanya akan berbeda-beda tergantung kemampuan mayoritas warganya.

Harga berbeda-beda itu tidak akan mengurangi manfaat yang sama. Di balik status premium, akun tersebut akan diprioritaskan dalam setiap interaksi mulai dari "reply", "mention" hingga "search."

Konten yang diposting tidak lagi terbatas. Materi video dan audio bisa lebih panjang. Iklan akan lebih sedikit.

Elon tidak hanya ingin mendapat untung demi menambal kembali kantongnya. Ia ingin agar status yang selama ini dikejar di Twitter terbuka bagi banyak orang.

Ia mau memberangus stratifikasi yang selama ini, entah sadar atau tidak, sengaja atau tidak, terkonstruksi yang menempatkan akun terverifikasi pada puncak piramida kebanggaan dan prestise.

Siapa saja baik personal, organisasi, dan bisnis hanya perlu menyelesaikan urusan adminstrasi agar mendapat tanda istimewa itu. Hanya dengan uang, centang biru itu bisa didapat.

Apakah sesederhana itu? Tentu tidak. Hemat saya, kelonggaran untuk mendapat label verified tidak serta merta membuat segala sesuatu menjadi mudah.

Tentu untuk sampai pada tahap tersebut tidak hanya bermodalkan biaya langganan. Sejatinya, tanda tersebut menandakan suatu akun asli dan terverifikasi.

Elon sepertinya sadar di balik keputusan tersebut ada bahaya mengintai. Longgarnya proses verifikasi yang seakan-akan cukup bermodalkan uang bakal membuat Twitter semakin menjadi rimba raya tanpa sekat dan berbahaya. "Perang" komentar, postingan, hingga tagar bakal semakin liar.

Orang bakal semakin sulit membedakan identitas ketika banyak akun akan beramai-ramai menyandang status verifikasi. Tidak hanya tokoh publik tertentu yang dikenal dari akun yang terverifikasi, orang dengan nama yang sama pun bisa bermunculan dan mendapat pengakuan. Publik akan dibuat bingung bila ada dua nama yang mirip atau sama, sama-sama terverifikasi.

Lebih penting dari itu, objektivitas dan kepercayaan bakal memudar. Dari dua akun yang mirip bisa saja memuat informasi dengan tingkat kebenaran berbeda.

Orang akan dibuat pusing, gamang, dan terbelah. Ada bahaya misinformasi yang terjadi. Sebab, siapa pun bisa menjadi identitas tertentu dan bebas berkicau.

Semakin sulit meminta pertanggungjawaban dan menemukan akuntabilitas bila tak lagi bisa membedakan nama yang asli dari yang palsu, yang sesungguhnya dari yang abal-abal.

Coba bayangkan, bila nama akun yang benar-benar dikelola Presiden RI sudah begitu mudah kita kenal dari centang biru setelah @jokowi kemudian dipusingkan oleh nama-nama mirip lainnya seperti @jokowidodo2, @jokowidodo atau username lainnya yang sedemikian menjamur.

Tentu, soal ini sudah dipikirkan dan bakal disiati Elon Musk! Caranya ternyata cukup sederhana. Akan ada "tag" di bawah username untuk menunjukkan status pemilik akun tersebut entah politisi, selebritas, atau tokoh penting lainnya.

Penjelasan lanjutan dari Elon Musk: https://twitter.com/elonmusk
Penjelasan lanjutan dari Elon Musk: https://twitter.com/elonmusk

Apakah dengan itu urusan benar-benar selesai?

Era baru?

Memang rencana tersebut masih sekadar wacana. Bila benar terlaksana jelas akan berdampak.

Saat ini jumlah pengguna Twitter di dunia umumnya dan di Indonesia khususnya masih kalah banyak dari Facebook, Instagram, bahkan TikTok.

Melansir datareportal.com (15/2/2022), per awal 2022 ada 18.45 juta user Twitter di Tanah Air. Angka tersebut kalah banyak dari Facebook (129.9 juta), YouTube (139 juta), Instagram (99.15 juta) hingga sang idola baru milik ByteDance yakni TikTok yang sudah memiliki 92.07 juta user.

Apakah dengan angka yang kecil itu perubahan yang dibuat akan menggenjet pertumbuhan Twitter?

Patut diakui, meski tidak memiliki pengguna sebanyak platform sosmed lainnya, Twitter sesungguhnya memiliki segmen dan daya tarik tersendiri.

Elon dengan percaya diri mengakui itu dalam kicauan terbarunya. "Twitter is simply the most interesting place on the Internet. That's why you're reading this tweet right now. "

Dari sisi pengguna, saya melihat dan merasakan daya tarik yang belum tergantikan oleh platform lain. Salah satunya, nuansa kebebasan yang berbeda di antara Twitter dan Instagram khususnya.

Di Twitter kita bisa bebas berkicau. Isi hati dan apa pun yang ingin disampaikan bisa ditumpahkan dengan mudah. Meski ada keterbatasan jumlah kata dan durasi, Twitter lebih dari cukup menjadi ruang untuk menjadi diri sendiri yang apa adanya, bukan ada apanya.

Sementara itu, Instagram diperlakukan lebih sebagai "barang berharga" yang perlu dipoles dengan teliti, ditata dengan apik, dan diatur hati-hati agar tampak rapi dan menarik, meski untuk itu kita rela menjadi sesuatu yang berbeda.

Jarang saya mendengar, membaca, atau melakukan aktivitas berlomba-lomba merapikan atau menjaga kerapian postingan di Twitter, sebagaimana "hukum" baru yang berlaku di Instagram.

Dengan tingkat penetrasi pengguna internet yang cepat, yakni sudah menyentuh 73,7 % dari total populasi dan pengguna sosial media yang sudah menyentuh 191,4 juta dari 204,7 juta pengguna internet, maka terobosan yang dilakukan Twitter bisa memberikan pengaruh, baik pada dirinya sendiri maupun ekosistem sosial media umumnya.

Ada peluang pengguna Twitter makin bertambah karena berbagai manfaat menarik yang ditawarkan. Para pelaku bisnis dan konten kreator bisa lebih tersenyum tersenyum.

Sementara pada saat bersamaan, ada kekhawatiran tersendiri. Tahun politik di Indonesia sudah menjelang. Twitter masih menjadi alat ampuh untuk "bertarung" di jagad maya.

Isyarat bahaya yang tidak bisa tidak dipikirkan sang empunya kalau tidak mau perpecahan baik di sosial media maupun di dunia nyata terjadi karena arus informasi yang bergerak leluasa, tidak dimoderasi, disaring, dan dibendung dengan sungguh.

Twitter bakal menjadi sarang ujaran kebencian, fake dan hoax news, juga informasi sesat. Kaum-kaum oportunis bakal berpesta pora.

Membuka ruang lebih luas untuk mendapat centang biru saja sudah menjadi sesuatu yang melawan arus. Sesuatu yang selama ini diraih dengan perjuangan tertentu dan dilakukan dengan begitu hati-hati oleh semua platform.

Akankah eksperimen Twitter ini berhasil? Anda sudah siap mengalokasikan dana bulanan untuk sebuah centang biru?

Mungkinkah pemilik Meta dan ByteDance bakal tergoda melakukan hal yang sama sebagi tanda dimulainya era baru dan disrupsi media sosial?

Kita lihat saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun