Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Dari Galon Air sampai Kuitansi, 6 Saran Menyikapi BPA yang Ada di Mana-mana

4 Oktober 2022   14:23 Diperbarui: 7 Oktober 2022   09:05 1023
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisphenol-A (BPA) tidak hanya mencemari air minum kemasan galon sebagaimana yang menjadi kekhawatiran warga Jakarta belakangan ini. BPA ternyata ada di mana-mana.

Sebagai bahan kimia buatan manusia yang dipakai untuk membuat plastik polikarbonat dan resin epoksi mengutip Kompas.com (19/9/2022) dari MayoClinic, kehadiranya tidak terbatas pada segmen kehidupan tertentu.

BPA menampakkan wujudnya dalam berbagai produk yang dipakai manusia sehari-hari. Kaleng makanan dan plastik polikarbonat dengan cirinya yang bening dan keras adalah beberapa contoh.

Masih banyak yang perlu disebut. Tutup botol, wadah makanan dan minuman, elektronik, suku cadang mobil, mainan, produk kertas daur ulang, bahkan hingga kuitansi, tiket, dan boarding pass.

Bila kita memperhatikan produk-produk tersebut, maka produk-produk yang mengandung BPA sebenarnya sudah, sedang, dan akan terus menjadi bagian dari kehidupan setiap orang. Nyaris tak seorang pun bisa menghindarinya. Dialami manusia dari generasi ke generasi.

Kalau demikian, apa yang harus dilakukan? Apakah kita perlu menggelar aksi protes dan mogok bersama? Rasanya mustahil. Apakah kita bisa hidup tanpa produk-produk itu? Tentu tidak.

Mengapa berbahaya?

Ini pertanyaan penting. Tak mungkin kita menghindari tanpa mengetahui alasannya. Begitu juga penting untuk sedikit memahami mengapa BPA berbahaya berikut dampak buruk yang bakal ditimbulkannya.

Menukil www.treehugger.com (5/8/2022), berikut sedikit penjelasan medis. BPA dikenal sebagai pengganggu endokrin karena bisa meniru struktur dan fungsi hormon estrogen yang jelas berdampak pada fungsi semua sistem tubuh. 

Bahan kimia ini bisa mempengaruhi aktivitas hormonal dalam tubuh, maka berisiko pada banyak masalah kesehatan pada manusia. Kegemukan, diabetes, kerusakan sistem kekebalan tubuh, alergi, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, ketidaksuburan pada pria dan wanita, keguguran, berpengaruh pada bayi dalam rahim, kanker payudara, dan sebagainya.

Selain itu, BPA juga bisa memberikan pengaruh buruk pada lingkungan. Polusi dan kerusakan lingkungan, juga berdampak pada satwa liar atau hewan-hewan di sekitar yang bersentuhan dengan sampah-sampah yang mengandung BPA.

Bila demikian, apakah kita benar-benar bisa menghindarinya? Apakah ada alternatif pengganti BPA yang lebih sehat dan ramah lingkungan?

Sebagai antitesis dari BPA tentu muncul "bebas BPA" sebagai label yang ditemukan pada aneka produk. Namun, apakah ada yang menjamin validitas dari label tersebut? Dengan kata lain, pengganti BPA itu apakah benar-benar tidak mengandung bahan kimia beracun lainnya?

Bagaimana menghindari?

Ini penting. Bila kita hampir sulit menghindar, adakah cara agar kita bisa menekan dampak buruk seminimal mungkin?

Masih dari sumber yang sama, berikut beberapa tips yang bisa dipakai.

Pertama, berbahagialah mereka yang bisa menikmati makanan mentah dan segar dengan mudah. Sayangnya, tidak semua orang memiliki akses memadai pada jenis makanan yang langsung didapat dari alam, tanpa melewati tahap pengolahan.

Masyarakat yang hidup di daerah perkotaan akan memenuhi kebutuhan sayur dan makanan segar yang sudah diawetkan dalam kaleng.

Menghindari makanan dan minuman yang disimpan dalam kaleng atau plastik adalah salah satu cara untuk menghindari paparan BPA. Sebagai gantinya, gunakan kaca, silicon, atau baja tahan karat.

Bila berat, batasi makanan kaleng dan kemasan. Seperti kita tahu, peluang kontaminasi BPA paling besar datang dari makanan. Makanan sendiri merupakan kebutuhan primer alias vital bagi setiap orang.

Untuk itu, perlu membatasi konsumsi makanan kaleng seperti buah-buahan dan sayuran dan produk yang dikemas dalam plastic seperti botol air sekali pakai, kaleng soda, atau minuman lainnya. 

Kedua, bagaimana bila makanan kaleng tak terhindarkan? Membilas setiap makanan terlebih dahulu.

Eksperimen tahun 2020 yang diterbitkan oleh Cambridge University Press menemukan bahwa membilas sayuran kaleng cukup efektif mengurangi BPA. Tindakan tersebut juga bisa menurunkan paparan bahan kimia hampir tiga kali lipat.

Selain itu, membilas makanan juga berfungsi mengurangi berbagai zat tambahan lain seperti natrium atau gula.

Ketiga, jangan panaskan makanan di wadah plastik. BPA bisa terurai di suhu tinggi sehingga jumlah bahan kimia yang larut dalam makanan atau minuman bisa meningkat dalam wadah plastik yang dipanaskan.

Jelas, memanaskan makanan dalam wadah plastik di microwave bisa meningkatkan risiko terkena BPA.

Begitu juga botol air plastik yang bisa mengeluarkan BPA saat digunakan kembali dalam suhu tinggi. Karena itu, dianjurkan untuk mengganti wadah plastik dengan kaca atau baja tahan karat.

Keempat, memilih peralatan makan non-plastik. Tidak sedikit perlatan makan mulai dari mug, senduk, piring, wajan, dan sebagainya yang terbuat dari plastik.

Produk-produk ini paling umum dan selalu terkait langsung dengan aktivitas konsumsi masyarakat dan selalu ditemui sehari-hari.

Mengingat potensi bahan kimia yang keluar dari produk ini akan meningkat saat tergores, rusak, atau dipanaskan, maka menyimpan peralatan semakin lama, dan secara sengaja menggunakannya bukanlah pilihan yang bijak. Baiklah untuk mengkonversi ke material kaca atau keramik.

Kelima, meneliti setiap produk yang dibeli. Tidak hanya jenis dan komposisi bahannya, juga keterangan atau informasi seputar BPA itu.

Tindakan ini tentu gampang-gampang susah. Tidak semua produk menyertakan informasi tersebut secara gamblang.

Bagaimana bila tidak terdapat informasi dimaksud, apakah kita perlu mengurungkan niat? Pilihan tentu ada di tangan Anda.

Keenam, sebagai konsumen, masyarakat tentu tidak mempunyai kekuatan untuk bisa menghindar secara total dari produk-produk mengandung BPA. Yang bisa dilakukan masyarakat kebanyakan hanyalah menghindari sejauh dapat. Namun, peluang untuk terpapar BPA tetap saja terbuka lebar.

Untuk itu butuh campur tangan berbagai pihak, baik itu pemerintah maupun swasta.

Keberpihakan sektor industri terkait pada kesehatan dan keselamatan manusia serta lingkungan dibutuhkan untuk menciptakan produk-produk dengan kandungan BPA seminimal mungkin. Bila memang produk-produk itu tidak bisa menghindar dari BPA maka cukuplah memberi keterangan secara jujur.

Selain itu butuh pengawasan ketat dari pemerintah untuk memastikan setiap produk yang beredar di pasaran terhindar dari zat-zat kimia berbahaya yang secara sengaja dibuat untuk menggenjot keuntungan sebanyak mungkin namun mengorbankan kesehatan manusia dan alam.

Perlu juga inisiatif dan kerja-kerja lembaga non-profit atau orgnasisasi yang peduli pada isu-isu seperti ini sebagai pengawas, sekaligus membantu mengumpulkan informasi dan membuat database terkait makanan dan minuman yang mengandung BPA sehingga bisa mengedukasi dan menyadarkan masyarakat luas.

Akhirnya, pilihan digitalisasi sebenarnya tidak hanya untuk mempermudah aktivitas, tetapi juga ikut menekan dampak buruk BPA, terutama pada pihak-pihak yang bersentuhan langsung dengan kuitansi baik di kasir, restoran, dan sebagainya yang digunakan sebagai bukti transaksi.

Tidak sedikit kertas termal yang melapisi kuitansi itu dilapisi BPA. Mereka yang sehari-hari bersentuhan dengannya juga berpeluang besar terpapar, melalui sentuhan di kulit lalu bermigrasi ke aliran darah.

Maka, menggantikan kuitansi kertas dengan struk digital adalah pilihan yang kontekstual, praktis, dan juga sehat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun