Masih ada pilihan dan sikap yang lebih elegan. Beberapa dari antaranya adalah langsung menghadap atasan untuk meminta umpan balik dan menjelaskan situasi yang sedang terjadi secara terus terang.
Tidak sedikit yang secara sepihak memendam kecurigaan dan kekhawatiran berlebihan. Seorang karyawan misalnya terlanjur memelihara prasangka bahwa ia bakal dipecat diam-diam.
Bila tidak, bisa membicarakan hal ini kepada rekan kerja untuk mendapatkan masukan, kekuatan, bahkan sekutu untuk menghadapi atasan.
Selain itu, penting bagi karyawan untuk selalu melihat dan mengukur diri. Terhadap setiap tindakan dan sikap baiklah didasari dan ditopang oleh refleksi.
Apakah saya sudah cukup produktif? Apakah saya sudah menjalankan tugas sebagaimana semestinya? Apakah saya memang pantas untuk mendapat apresiasi lebih? Pantaskah saya menaruh kecurigaan tertentu?
Hal yang sama pun seharusnya berlaku pada atasan, majikan, dan perusahaan. Agar tidak gampang jatuh pada sikap "quiet firing" pihak-pihak tersebut perlu introspeksi. Tidak semua masalah itu bersumber dari karyawan. Bisa jadi distimulus oleh faktor-faktor eksternal.
Apakah apresiasi sudah diberikan secara adil untuk pekerjaan yang dilakukan seorang karyawan?
Apakah penilaian yang diberikan benar-benar berbasis kinerja? Apa yang sudah dilakukan terhadap karyawan yang dianggap bermasalah?
Lebih penting dari itu, apakah sudah ditetapkan ukuran yang relevan dan terukur untuk menilai kualitas suatu pekerjaan?
Kelima, Solcyre Burga dalam tulisannya di time.com (10/9/2022), menegaskan bahwa tindakan "quiet firing" bukan hal baru. Perusahaan dengan sengaja mengkonstruksi kondisi kerja yang membuat seorang karyawan merasa tidak nyaman adalah praktik luas selama bertahun-tahun.
Selain melakukan pendekatan aktif, ada juga pendekatan yang lebih pasif untuk mendorong seorang karyawan hingga mengundurkan diri. Sengaja mengabaikan karyawan, membiarkannya bergulat dengan perkerjaan sendiri tanpa pengawasan dan arahan, adalah beberapa contoh.