Ketika dua istilah "quiet quitting" dan  "quiet firing" mengemuka, sempat muncul sejumlah pertanyaan dalam benak. Apa maksud kedua istilah itu? Apakah keduanya merupakan fenomena baru?
Setelah ditelusuri, ternyata kedua istilah yang terdengar dan terlihat keren itu membungkus kenyataan yang sudah, sedang, dan akan dialami banyak orang. Jadi, dua hal itu bukan sesuatu yang baru. Sudah ada sejak lama, hanya saja dibungkus dengan nama-nama lain.
Sengaja melambatkan pekerjaan karena bosan, apatis, atau ada gangguan lain, serta merasa hanya cukup bekerja sesuai kompensasi, memang sudah melekat dengan dunia kerja.
Begitu juga berhenti diam-diam agar segera lepas dari tanggung jawab yang terlalu membebani dan sengaja melakukan pekerjaan minimum karena ada hal lain yang juga ikut dikerjakan dan menjadi perhatian.
Aneka modus "quiet quitting" itu kemudian dianggap sebagai pendekatan yang sesungguhnya mempertaruhkan karier dan merusak reputasi seorang karyawan di mata karyawan lain dan perusahaan, alih-alih dianggap keputusan tepat yang menguntungkan diri.
Seorang karyawan yang berpraktik demikian dinilai sedang membuang-buang waktu dengan perusahaan tersebut dan merugikan diri sendiri. Kelompok ini dianggap sebagai sosok minimalis, yang melakukan pekerjaan seminimum yang diperlukan.
Namun, ada kenyataan yang menunjukkan "quiet quitting" memiliki akar yang lebih dalam. Selain soal uang, pekerja menderita kelelahan dan ketidakpuasan karena pintu kesempatan untuk berkembang dan maju sudah tertutup dan hilangnya penghargaan di tempat kerja.
Seorang pekerja hijrah karena mengejar tujuan yang lebih dalam dari pekerjaan dan peluang untuk bertumbuh secara pribadi. Hal-hal fundamental yang tidak bisa tidak dibilang lebih sekunder dibanding gaji yang lebih tinggi.
Sejumlah catatan
Di sisi lain, perusahaan atau majikan memberikan reaksi "quiet firing" pada aksi "quiet quitting" tidak bebas dari kritik.