Pada gilirannya itu sangat membantu saya saat melanjutkan pendidikan dan kehidupan selanjutnya. Saya sudah terbiasa tepat waktu. Bukan hal sulit untuk mengurus diri sendiri dan memberi perhatian pada sesama.
Saya hanya perlu memperdalam dasar-dasar pendidikan yang sudah diterima dan ditanam di masa lalu. Bakat-bakat pun tumbuh dan bersemi di sekolah berasrama itu. Semuanya menjadi bekal penting untuk kehidupanku saat ini.
Sejumlah catatan
Memang sekolah berasrama seperti yang saya jalani tidak tanpa konsekuensi. Meninggalkan kebersamaan dengan orang terdekat seperti ayah, ibu, saudara dan saudari, berikut berbagai kemewahan yang menyertainya untuk selanjutnya menyerahkan diri dalam bimbingan para formator (baik guru maupun pembina asrama) dan rela menjalani kehidupan yang jauh dari berbagai kenikmatan yang bisa didapat dengan mudah di luar asrama.
Terkadang sulit membayangkan seorang anak kecil yang baru tamat SD sudah harus berpisah dengan orang tua, selanjutnya ditempa untuk hidup mandiri dan jauh dari kenyamanan.
Begitu juga hati kerap bergejolak setelah menjalani kehidupan yang monoton selama bertahun tahun dan terkadang terlintas dalam benak keinginan untuk berkata cukup.
Para formator adalah perpanjangan tangan orang tua. Para siswa sesungguhnya tidak hanya dibentuk oleh mereka yang diberi wewenang khusus.Â
Kehidupan kami juga ikut ditempa oleh teman kelas, kakak kelas, adik kelas, para karyawan dan karyawati, hingga orang-orang di sekitar.
Dalam hidup bersama tak bisa luput dari dinamika. Gesekan-gesekan tak terhindarkan. Kekeliruan dalam komunikasi dan relasi, juga kekhilafan memperlakukan milik bersama dan milik orang lain. Rentan tertukar barang pribadi mulai dari sendok makan hingga celana dalam.
Juga persaingan antar sesama teman, tekanan dari kakak kelas, dan kecenderungan untuk menekan balik yang lebih junior. Wujudnya bisa bermacam-macam. Dampaknya pun beragam.
Sekolah berasrama juga ditandai oleh pembagian yang jelas dan pemisahan yang ketat. Saya menjalani kehidupan berasrama yang sangat homogen.