Kita pun tak bisa serta merta menilai apalagi langsung memberi stempel buruk pada sekolah berasrama secara keseluruhan hanya karena ada masalah pada sekolah tertentu.
Bagaimanapun juga, pada titik dan aspek tertentu, kita tetap menempatkan kehidupan masa lalu di sekolah (berasrama atau tidak) pada tempat tersendiri.
Hingga hari ini, saya masih menyimpan dengan baik kenangan akan kehidupan di sekolah berasrama dengan rasa syukur dan bangga yang tak pernah pudar.
Pembentukan Diri
Saya menjalani kehidupan berasrama sejak SMP, SMA, hingga enam tahun berselang. Cukup panjang memang. Boleh dikata sebagian dari masa kecil hingga seluruh masa remaja dihabiskan di sekolah seperti itu.
Sekolah itu merupakan salah satu sekolah favorit di daerahku. Orang tua berlomba-lomba mengirim anaknya ke sana. Sudah ratusan bahkan ribuan alumni lahir dari rahim yang sama. Mereka menyebar ke seantero dunia.
Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan sekolah berasrama bukan baru muncul belakangan. Ia sudah ada sejak dahulu kala, bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka. Hingga hari ini masih tetap bertahan setelah melewati musim demi musim dengan tantangan silih berganti.
Sekolah tersebut diincar karena menerapkan sistem pendidikan dan pembentukan yang integral. Pembentukan sejak SMP meliputi lima aspek besar. Istilah beken yang dipakai adalah 5 S: Sanctitas, Sanitas, Scientia, Socialitas, dan Sapientia.
Sanctitas atau kekudusan, tentu terkait dengan aspek spiritualitas atau kehidupan rohani. Sanitas menyangkut kesehatan, baik jasmani (fisik) maupun rohani (mental). Pendidikan yang terkait akal budi dan olah nalar (scientia).Â
Socialitas terkait kehidupan bersama baik dalam asrama maupun dengan lingkungan sekitar (solidaritas atau kesetiakawanan). Mengasah empati dan kepekaan sosial.
Tak kalah penting adalah kebijaksanaan (Sapientia) untuk memilah yang baik dan buruk, benar dan salah, juga pembiasaan melakukan pertimbangan matang sebelum mengambil keputusan.