Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Raket Artikel Utama

Ginting hingga Lee Zii Jia Terpental, 5 Rahasia "Unbeatable Player" Viktor Axelsen yang Patut Ditiru

20 Juni 2022   09:25 Diperbarui: 20 Juni 2022   12:52 1237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Viktor Axelsen bersama Vega, putrinya, usai merengkuh gelar Indonesia Open 2022, Minggu (19/6/2022): KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO

Bila sebelumnya Kento Momota adalah penguasa tunggal putra, tidak demikian saat ini. Seiring menurunnya penampilan jagoan Jepang itu, takhta sektor tersebut pun berpindah ke Viktor Axelsen.

Axelsen yang sebelumnya terus membuntuti Momota, akhirnya menempati puncak ranking BWF setelah merengkuh gelar Indonesia Open pada edisi 2021 di Nusa Dua, Bali, akhir November tahun lalu.

Pemain yang kini berusia 28 tahun merengkuh titel Indonesia Open pertama dalam kariernya sebagai pemain profesional usai mengalahkan juara dunia asal Singapura, Loh Kean Yew, 21-13, 9-21, dan 21-13

Menilik sepak terjang Axelsen sejak awal tahun lalu, tidak ada kata lain yang patut disematkan kepadanya selain luar biasa.

Bila kita membuka catatan prestasinya dalam dua tahun terakhir, Axelsen sungguh menjadi pemain yang nyaris tak terkalahkan.

Predikat "unbeatable player" mungkin berlebihan. Sebab, ia  beberapa kali pernah kecolongan. Di antaranya saat dikalahkan Lee Zii Jia di final All England 2021. Namun, performanya sejak tahun lalu paling konsisten di banding pebulutangkis lainnya.

Tahun lalu, dari 13 turnamen individual, pemain kelahiran Odense ini 11 kali mencapai final. Ia mulai menunjukkan tajinya dengan merebut dua gelar dari tiga seri Asia yang digelar di Thailand pada awal tahun.

Berbagai gelar prestisius pun berhasil diraih. Pemain yang dinominasikan sebagai BWF Player of The Year 2020/2021 itu menggapai puncak kesuksesan dengan merebut medali emas Olimpiade Tokyo 2020 pada awal Agustus tahun lalu dengan mencatatkan kemenangan mudah atas Chen Long, 21-15-21-12.

Patut dicatat, perjalanan Axelsen menuju podium juara Olimpiade salah satunya dengan menyingkirkan "kuda hitam" asal Guatemala, Kevin Cordon. Sementara di jalur berbeda, langkah Anthony Sinisuka Ginting dihentikan Chen Long. Ginting dan Cordon pun kebagian medali perunggu.

Sejumlah rahasia Axelsen

Konsistensi Axelsen berlanjut terus. Tahun ini, ayah satu anak itu tetap menjaga keperkasaannya di berbagai turnamen.

Sempat mengalami cedera yang membuatnya mundur dari Swiss Open dan Thailand Open. Begitu juga pernah kalah dari Lakshya Sen di Jerman Open 2022 dalam tiga gim, 13-21, 21-12, dan 20-22. Selain itu, Axelsen sungguh menjadi momok bagi para lawannya.

Para pebulutangkis dari berbagai level dan usia nyaris tak berkutik. Hebatnya lagi, ia mampu menyudahi mayoritas pertandingan hanya dalam dua gim.

Lakshya, Ginting dan Lee Zii Jia dari Malaysia adalah dua lawan yang sempat memaksanya bermain tiga set, sebelum pada akhirnya mereka menyerah.

Pemandangan spektakuler ditunjukkan Axelsen saat menjalani dua turnamen beruntun di Istora Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, dalam dua pekan terakhir.

Axelsen tak terkalahkan. Ia sukses menaklukkan Istora dengan menjuarai Indonesia Masters dan Indonesia Open.

Di turnamen pertama yang masuk kategori Super 500, Axelsen nyaris tanpa hambatan saat bertemu Shesar Hiren Rhustavito (Indonesia), Wang Tzu Wei (Taiwan), Ng Ka Long Angus (Hong Kong), Ginting (Indonesia), hingga Chou Tien Chen (Taiwan). Axelsen tak pernah kalah dan selalu menang straight set.

Begitu juga di turnamen Super 100 sepekan berselang. Kanta Tsueyama (Jepang), Lu Guang Zu (China), Ginting, Lee Zii Jia, hingga penakluk Jonatan Christie dari China, Zhao Jun Peng, tak sanggup menjegal Axelsen. Kecuali menghadapi Ginting dan Zii Jia, Axelsen selalu menang mudah.

Jun Peng yang menggapai final turnamen elit pertamanya malah tampil antiklimaks. Ia tak bisa memberi perlawanan berarti sehingga menyerah mudah dalam waktu 38 menit.

Merangkum penampilan fenomenalnya: gelar Indonesia Open adalah gelar ketujuh dari delapan final Super 1000 beruntun. Kemenangan ke-27 secara beruntun tahun ini. Gelar Indonesia Open keduanya dan gelar ke-14 secara keseluruhan. Fantastis, bukan?

Lantas, apa yang membuat Axelsen begitu perkasa?

Pertama, pertengahan Agustus tahun lalu, Axelsen mengambil keputusan penting yang memantik berbagai prediksi. Ia secara tegas memutuskan pindah dari Denmark. Ia bersama keluarganya menetap secara permanen di Dubai.

Axelsen mengambil keputusan itu atas dasar pertimbangan yang masuk akal. Semua demi kepentingan kariernya. Ia tidak ingin waktunya banyak terbuang di perjalanan saat harus melanglang buana dari satu turnamen ke turnamen lain yang terpisah jarak yang begitu jauh.

Berpindah ke tempat yang cukup sentral akan memudahkannya bergerilya dari tempat ke tempat dan dari benua ke benua.

Hasilnya, jelas terlihat. Kebugaran Axelsen tetap terjaga. Ia sanggup memperlihatkan determinasi yang tinggi saat menghadapi lawan-lawannya.

Ia tak gentar beradu dengan para pemain yang jauh lebih mudah. Dengan mudah ia menjinakkan semangat para pemain muda dengan gelora dan tenaga yang menggebu-gebu.

Pada titik ini, Axelsen menjadi salah satu pemain yang bisa menjaga konsistensi berkat dukungan fisik yang prima.

Di usianya yang tidak muda lagi, ia masih sanggup meladeni setiap pemain dengan kualitas permainan yang terjaga. Smes-smes keras, variasi pukulan, pertahanan yang rapat, keuletan dan kecerdikan.

Poinnya adalah Axelsen sangat memahami tubuh dan tahu bagaimana menjaga agar kondisinya tetap terjaga. Pola hidupnya jelas sudah tersistem untuk mendukung kehidupannya sebagai seorang atlet.

Kedua, patut diakui, semakin bertambah usia, Axelsen justru semakin matang. Performanya tidak mengendur walau usia terus bertambah.

Menyaksikan Axelsen belakangan ini, kita melihat paket lengkap dari seorang juara. Kebugaran dan teknik yang luar biasa, didukung oleh keunggulan postur tubuh yang tinggi menjulang.

Patut diakui, tidak semua pemain jangkung bisa memaksimalkan kelebihan tinggi badan. Axelsen bisa memanfaatkannya untuk menopang kualitas permainannya.

Dengan modal fisik demikian, Axelsen bisa mengantisipasi setiap serangan lawan. Ke setiap sudut sulit sanggup ia gapai. Ia bisa membentuk benteng pertahanan yang kuat. Sebaliknya, ia berubah menjadi "monster" mengerikan saat menyerang.

Ketiga, Axelsen memiliki mental yang tangguh. Istora sebenarnya tidak bersahabat padanya dan beberapa pemain Denmark lainnya. Tekanan yang diberikan kepada Axelsen sejak Indonesia Masters itu sungguh terasa.

Ia justru menjadikan antipati dari para penggemar itu sebagai stimulus untuk balik membungkam dengan prestasi. Dan itu terbukti, Axelsen bisa menguasai keadaan. Fokus dan konsentrasinya tak terpengaruh oleh berbagai reaksi dari pinggir lapangan.

Ia malah terkesan balik memprovokasi dengan gestur tubuh tertentu usai meraih poin dan mengunci kemenangan. Berlari ke pinggir lapangan, meletakannya tangannya di salah satu telinganya seakan ingin mendengar lebih jelas reaksi penonton, dan masih banyak lagi.

"Yang paling penting adalah Anda tahu caranya mengontrol tekanan, bukan hanya dari Ginting tapi juga untuk fokus saya pada pertandingan ini. Saya hanya tahu teknik yang benar dan Ginting juga melakukan hal serupa," demikian Axelsen usai menumbangkan Ginting di perempat final Indonesia Open.

Begitu juga fokusnya tak berkurang ketika lawan coba memainkan strategi tertentu. Ginting yang kewalahan mencoba menolak pergantian kok. Harapannya, konsentrasi Axelsen terganggu. Ternyata, taktik tersebut tetap tak berpengaruh.

Kini, Axelsen dengan pencapaiannya yang memukau itu justru mampu mengubah situasi. Sang pemilik mental baja itu berhasil merebut hati penggemar di Tanah Air. Pada akhirnya, para penggemar mahfum. Pemain tersebut dengan segala aksinya di lapangan pertandingan memang layak diberi apresiasi.

Keempat, soal fokus patut digarisbawahi. Banyak pemain memiliki taknik yang bagus. Tetapi pada akhirnya mereka kalah karena tak bisa menjaga fokus.

Lee Zii Jia yang hampir menghentikan Axelsen di semifinal Indonesia Open pada akhirnya mengakui hal tersebut.

"Hampir tak ada satu pun yang mampu mengalahkan dia. Pada laga ini, saya telah mengeluarkan semua yang saya miliki, fokus, dan saya pikir ini pertandingan terbaik," beber Zii Jia. Namun, pada gilirannya, "Secara mental, dia sangat kuat, dia fokus 100 persen selama di lapangan, itu kenapa banyak dari kami tak bisa mengalahkannya."

Bagaimana cara Axelsen menjaga agar fokusnya tetap terjaga? Itulah pekerjaan rumah para pemain lainnya.

Kelima, usai memastikan gelar Indonesia Open jatuh ke tangannya, Axelsen begitu bahagia. Baginya, itu menjadi mimpi terbesarnyar: memenangi Indonesia Open di Istora.

"Saya sangat bangga dengan bagaimana saya tampil di setiap pertandingan dan tampil selama dua minggu terakhir, tidak mudah untuk bermain di level ini dalam dua minggu berturut-turut, jadi saya senang tentang itu," tandas Axelsen melansir situs resmi BWF.

Axelsen senantiasa memelihara rasa lapar akan prestasi. Kemenangan atas Lee Zii Jia meninggalkan kesan tersendiri.

"Saya baru saja mencoba untuk konsisten dengan apa yang saya lakukan dan apa yang saya tahu, apa yang berhasil untuk saya, saya mencoba untuk meningkatkan langkah demi langkah setiap hari dan itu terbayar."

Lee Zii Jia hingga Ginting sudah mengakui. Mereka belum bisa menemukan cara untuk menumbangkan sang raksasa. Mendapatkan celah dan momentum untuk meruntuhkan kedigdayaan Axelsen adalah pekerjaan rumah mereka.

Tentu, Axelsen akan melecut motivasi pebulutangkis lain untuk mengalahkannya. Ia perlu menjaga konsistensi itu. Sementara itu apa yang dipanen hari ini adalah buah dari perjuangan panjang nan melelahkan selama ini.

Ginting, Lee Zii Jia, dan para pemain lainnya dengan usia yang lebih muda masih memiliki banyak kesempatan untuk mengakhiri konsistensi Axelsen. Kapan mereka bisa menuntaskan misi "balas dendam" itu hanyalah soal waktu.

Semoga Jojo, Ginting, dan para pebulutangkis muda Indonesia bisa berkaca dari Axelsen. Mereka perlu berlatih lebih giat dan terus belajar secara serius dari setiap  penampilan. 

Cepat atau lambat, masa keemasan Axelsen akan berakhir. Semoga pada waktunya nanti, posisi Axelsen tidak ditempati pebulutangkis lain dan para pemain kita hanya sebatas menyesali dan mengagumi. 

Sehebat-hebatnya Axelsen dan sebangga-bangganya Denmark, Indonesia pernah memiliki lebih dari satu bintang tunggal putra. Kita berharap, masa keemasan tunggal putra kita segera kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun